Lebih dari Satu Abad Tradisi Kartu Natal Bertahan
Mengirim kartu natal untuk kerabat masih menjadi salah satu kebiasaan Natal yang masih berlangsung di era teknologi digital. Kartu dari bahan daur ulang bisa menambah makna Natal untuk kelestarian lingkungan.
Mengirim kartu natal untuk kerabat dan saudara menjadi salah satu kebiasaan Natal yang masih berlangsung hingga saat ini. Perkembangan teknologi belum sepenuhnya mengubah keistimewaan mengirim kartu natal.
Mengirim kartu ucapan natal merupakan salah satu kebiasaan yang mewarnai momen natal. Kebiasaan ini mulai dikenal setelah kartu natal pertama dibuat pada 1843 di Inggris. Kartu ini didesain Henry Cole dengan ilustrasi oleh John Callcott Horsley.
Bentuknya sederhana, tapi penuh makna. Pada kartu tersebut tergambar sebuah keluarga yang sedang berkumpul dalam satu meja dan meminum anggur. Di kanan kiri gambar utama terlukis kegiatan amal. Warna pada kartu dilukis manual. Tulisan ”Selamat Natal dan Tahun Baru” tersematkan di bawah gambar keluarga.
Kartu natal buatan Cole dicetak sebanyak 1.000 lembar. Satu lembar kartu natal dihargai sekitar 4 dollar AS. Harga yang tergolong mahal menyebabkan kartu-kartu tersebut belum sepenuhnya berhasil menembus pasar.
Edisi-edisi perdana kartu natal yang masih menggunakan lukisan manual membuat jeda waktu pembuatannya. Kartu natal yang dibuat Cole pada edisi berikutnya membutuhkan waktu hingga lima tahun.
Waktu pembuatan banyak tersita untuk segmen membuat desain. Ini karena Cole harus mengeluarkan biaya banyak untuk membayar pelukis-pelukis terkenal untuk melukis kartu natalnya.
Segala bangsa
Baru pada 1877, ide kartu natal dari Cole diterima masyarakat. Sentuhan industri membuat kartu natal cepat populer. Lebih dari 4,5 juta kartu natal dikirimkan di wilayah Inggris.
Pada 1880, produksi dan pengiriman kartu natal kian meningkat. Setidaknya 11,5 juta kartu natal dikirim ke seluruh wilayah di Inggris.
Peningkatan produksi dan konsumsi kartu natal ini juga disebabkan harganya yang semakin terjangkau masyarakat. Industri yang ditopang penggunaan teknologi cetak berwarna yang lebih modern membuat biaya produksi kartu natal lebih rendah dan pengerjaan yang lebih cepat dibanding metode lukis tangan.
Popularitas kartu natal juga merebak di benua Amerika. Di Amerika Serikat, kartu natal pertama kali dikenalkan oleh Louis Prang pada 1874. Karena itu, ia mendapat julukan ”Bapak Kartu Natal Amerika Serikat”.
Sebanyak 72 persen orang yang merayakan Natal lebih suka menerima kartu natal dibandingkan menerima ucapan meriah dari media sosial dan aplikasi chatting.
Awalnya, Prang menjual kartu natal di Inggris. Kemudian ia membawanya ke Roxbury, Amerika Serikat, dan menjualnya di sana.
Dari awalnya hanya menjual, Prang kemudian mengembangkan produksi kartu natal di Amerika Serikat. Ia menggunakan metode litografi kromo dengan proses pencetakan berwarna kualitas tinggi. Ia juga menambahkan aksesori dari kain sutra, tali, jumbai, dan lapisan tinta emas untuk masyarakat yang mau membayar lebih mahal agar kartu natal tampil lebih menarik.
Semakin tinggi pohon menjulang, semakin kencang tiupan anginnya. Larisnya penjualan kartu natal buatan Prang mendorong pesaing membuat duplikasi. Pada 1890, banyak imitasi dari produknya yang memenuhi pasar Amerika Serikat dengan harga lebih murah.
Lama-lama perusahaan Prang kalah bersaing menghadapi sentimen psikologis pasar, harga yang lebih murah. Walaupun akhirnya terkikis dari bisnis kartu, sentuhan inovasi yang dilakukan Louis Prang diakui membuat kartu natal tidak lagi menjadi produk spesial Inggris atau Eropa saja. Prang ikut membuat kartu natal populer di Amerika Serikat.
Bukan hanya di Inggris dan Amerika Serikat, hingga saat ini dunia menjadikan kartu natal sebagai salah satu elemen yang melekat dalam perayaan Natal. Tradisi ini masih dilakukan di negara-negara yang merayakan Natal dengan mempertahankan budaya mengirim kartu natal.
Kehidupan
Dalam perkembangannya, kebiasaan mengirim kartu natal bukan hanya membawa dampak popularitas tradisi tersebut. Ada sisi lain dari kebiasaan ini yang menjadi polemik, yaitu dari isu lingkungan. Beberapa pihak menganggap bahwa jutaan kartu natal yang dikirimkan setiap tahun berdampak terhadap kelestarian lingkungan. Semakin banyak kertas yang digunakan, semakin banyak pula pohon yang dibutuhkan dan jejak karbon yang dihasilkan.
Berbagai usaha dicari agar kartu natal menjadi ramah lingkungan. Kantor berita Inggris BBC memberitakan Sekolah Dasar Belton Lane Inggris mengimbau muridnya untuk mengirim satu kartu natal untuk satu kelas. Kartu natal tidak diberikan untuk seseorang, tetapi sekaligus untuk satu kelas secara komunal. Dengan cara ini, murid-murid dapat mengurangi penggunaan kertas.
Di sektor retail, beberapa perusahaan mulai mengikuti kampanye peduli lingkungan dengan mengurangi hingga melarang penggunaan gliter pada kartu natal. Larangan muncul di tengah kekhawatiran tentang mikroplastik yang mencemari lingkungan.
Salah satu retail itu adalah Marks and Spencer. Perusahaan ini bergabung dalam upaya pelarangan penggunaan gliter untuk kartu natal, kertas kado, dan kalender. Selama setahun ini, perusahaan ini telah menggunakan barang-barang berbahan biodegradable untuk mengurangi penggunaan plastik tidak ramah lingkungan.
Dampak lingkungan
Kampanye untuk mengurangi pengiriman kartu natal sudah dilakukan oleh beberapa lembaga peduli lingkungan. Salah satunya adalah Lembaga Don’t Send Me A Card.
Misi lembaga ini adalah mengajak masyarakat untuk mengurangi pembelian dan pengiriman kartu natal. Tujuannya tidak hanya untuk mengurangi dampak lingkungan dari pembuatan kartu natal, tapi juga untuk kegiatan amal.
Lembaga ini juga menggagas model pengiriman kartu natal secara digital. Selain lebih ramah lingkungan, juga ramah untuk keuangan. Biaya yang biasanya digunakan untuk membeli kartu natal dapat disumbangkan ke panti-panti asuhan.
Lembaga ini bersama University of Exeter juga melakukan penelitian tentang jejak karbon dari pembuatan dan pengiriman kartu natal. Jejak karbon adalah total emisi dari aktivitas yang dilakukan individu maupun perusahaan dan dinyatakan dalam satuan karbon dioksida ekuivalen (CO2e).
Kartu natal perdana dibuat pada 1843 di Inggris dan didesain oleh Henry Cole.
Hasilnya, estimasi jejak karbon dari pengiriman satu kartu natal mencapai 140 gram CO2e. Estimasi tersebut diterapkan pada kartu ucapan berbahan kertas 10 gram, dicetak di kertas daur ulang, dan dikirim di wilayah Inggris.
Dengan estimasi jejak karbon kartu natal tersebut, kita dapat menghitung total emisi kartu natal dalam satu tahun.
Berdasarkan data Greeting Card Association (GCA), kartu natal yang terjual di Inggris mencapai 1 miliar unit dalam setahun. Jika dikalikan dengan estimasi jejak karbon setiap kartu natal, maka total emisinya setiap tahun mencapai 140 kiloton CO2e.
Situs lain, yaitu GWP.co.uk, menuliskan perhitungan jumlah pohon yang digunakan untuk mencetak 1 miliar kartu natal di Inggris. Asumsinya, satu pohon dapat digunakan untuk menghasilkan 3.000 kartu natal. Maka, untuk menghasilkan 1 miliar kartu natal setiap tahunnya dibutuhkan 333.000 pohon.
Perkiraan itu adalah perhitungan di Inggris saja. Dapat dibayangkan berapa jejak karbon dan jumlah pohon yang dibutuhkan apabila seluruh dunia saling membeli dan mengirim kartu natal.
Tidak heran jika penggerak peduli lingkungan mengimbau untuk mengurangi pengiriman kartu natal cetak. Setidaknya dengan mengurangi atau mengganti bahan kartu natal, masyarakat berkontribusi terhadap kelestarian lingkungan.
Istimewa
Kesadaran lingkungan mengingatkan pentingnya selektif dalam penggunaan kartu natal. Kebiasaan pengiriman kartu natal masih bertahan hingga saat ini. Hasil penelitian Asosiasi Kartu Ucapan (Greeting Card Association) menyebutkan sebanyak 1,6 miliar kartu natal habis terbeli di masa Natal di Amerika Serikat tahun lalu.
Harga per kartu berkisar 2 dollar AS hingga 4 dollar AS. Dalam setahun pendapatan dari penjualan kartu natal mencapai 1,85 miliar dollar AS. Sementara di Inggris terjual 1 miliar kartu natal setiap tahunnya. Rata-rata harga per kartu 1,75 pound sterling atau senilai 2,35 dollar AS.
Berdasarkan laporan Greetinng Card Association, penjualan kartu natal di Inggris meningkat pada 2012-2016. Pada 2012, nilai penjualannya mencapai 122,5 juta pound sterling. Angka penjualan naik menjadi 186 juta pound sterling pada 2016, dan mencapai 184,4 juta pound sterling pada 2018.
Peter Doherty Direktur Eksekutif Greeting Card Association mengatakan, bahwa milenial berkontribusi terhadap meningkatnya konsumsi kartu natal dalam lima tahun terakhir. Kelompok ini yang paling banyak membeli kartu ucapan kertas secara daring.
Kelompok milenial yang akrab dengan media sosial masih menganggap bahwa pemberian kartu natal masih lebih istimewa. Demikian pula masyarakat pada umumnya tidak lagi memberikan kartu natal kepada setiap orang yang dikenal.
Pemberian dilakukan lebih pada pertimbangan relasi kedekatan, hanya kepada orang-orang terdekat. Sementara ucapan natal kepada kerabat yang tidak terlalu memiliki hubungan personal cukup diberikan melalui media sosial.
Apresiasi juga diberikan dari sisi penerima kartu natal. Berdasarkan hasil penelitian Royal Mail, sebanyak 72 persen orang yang merayakan Natal lebih suka menerima kartu natal dibandingkan menerima ucapan meriah dari media sosial dan aplikasi chatting.
Media sosial dan teknologi tidak mengimpit tradisi ini. Kartu natal masih lekat dengan perayaan Natal hingga lebih dari satu abad. Memberikan kartu natal sebagai ekspresi dan perhatian seseorang terhadap yang lain masih tertanam di kaum muda. Budaya ini menjadi penting dalam mempertahankan relasi dengan teman, keluarga, dan rekan kerja.
Namun, tanpa mengurangi nilai-nilai tradisi Natal, menjaga kelestarian lingkungan juga dapat diterapkan dalam merayakan Natal. Misalnya menggunakan bahan-bahan ramah lingkungan untuk membuat kartu natal. Bisa juga mendaur ulang kartu natal untuk digunakan kembali tahun depan. (Litbang Kompas)