Jawa-Bali Mendominasi Daya Saing Pariwisata
Sudah satu dekade sejak Undang-Undang No 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan disahkan, perkembangan pariwisata Pulau Jawa dan Bali dengan daerah lainnya di Indonesia masih timpang. Ketimpangan itu terlihat dari hasil pengukuran Daya Saing Pariwisata (DSP) di Indonesia yang didominasi keunggulan Jawa dan Bali. Perlu kerja keras dan komitmen teguh bagi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif untuk mengurangi kesenjangan tersebut.
Pengukuran DSP yang dilakukan Litbang Harian Kompas terhadap 508 kabupaten/kota di Indonesia mengacu pada konsep Travel and Tourism Competitive Index (TTCI) yang digagas World Economic Forum (WEF). Jika TTCI untuk memetakan daya saing pariwisata suatu negara, DSP disusun untuk memetakan daya saing setiap kabupaten/kota di bidang pariwisata.
Mengacu pada TTCI, pembangunan pariwisata tidak bisa dilepaskan dari empat aspek utama penopang industri tersebut, yaitu sarana pendukung, tata kelola, infrastruktur, serta sumber daya alam dan budaya. Keempat aspek itu kemudian dijabarkan menjadi 14 pilar dan 40 indikator utama. Data-data yang digunakan merupakan data sekunder yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan beberapa institusi resmi lainnya.
Hasil pengukuran DSP merekam kelebihan dan kekurangan daerah berdasarkan empat aspek pembangunan pariwisata. Rangkuman penilaian dari keempat aspek tersebut menunjukkan posisi sektor pariwisata suatu daerah.
Secara singkat, sebuah daerah dikatakan unggul di bidang pariwisata dan memiliki daya saing tinggi di bidang tersebut jika empat dimensi penopang industri pariwisata itu skornya tinggi. Sebaliknya, daerah dikatakan kurang memiliki daya saing di bidang pariwisata jika skor gabungan empat aspek itu rendah.
Denpasar Unggul
Dengan menggunakan empat aspek sebagai alat ukur daya saing pariwisata daerah, Kota Denpasar, Bali, meraih skor tertinggi yakni 3,92. Dalam skala pengukuran 1 sampai 5, semakin mendekati skor 5 maka daya saing semakin kuat. Dengan angka ini, Denpasar boleh dikatakan memiliki daya saing tertinggi dalam industri pariwisata di negeri ini dimana skor rata-rata nasional ada di angka 2,58.
Peringkat kedua diraih Kota Surabaya, Jawa Timur dengan skor 3,79. Sebagai kota bisnis, aktivitas wisata konvensi atau Meetings, Incentives, Conference, and Exhibitions (MICE) berkontribusi paling penting dalam industri pariwisata kota ini. Adapun Kota Yogyakarta di peringkat ketiga dengan skor 3,59. Kota pendidikan yang menjadi pusat budaya Jawa ini unggul dalam aspek tata kelola dan sarana pendukung.
Apabila dilihat dari masing-masing aspek, keunggulan tiap aspeknya ditemukan pada empat daerah yang berbeda. Skor tertinggi aspek sarana pendukung diraih oleh Kota Denpasar (4,49), aspek tata kelola oleh Kota Yogyakarta (4,08), aspek infrastruktur diraih oleh Kota Surabaya (4,67), dan terakhir aspek sumber daya alam dan budaya skor tertinggi di Kabupaten Gianyar (3,10).
Keunggulan Denpasar tak bisa dilepaskan dari Provinsi Bali yang menjadi ikon pariwisata nasional. Denpasar sebagai ibukota provinsi itu menjadi bagian tak terpisahkan dalam promosi pariwisata nasional. Tak heran bila Denpasar juga terunggul dalam aspek sarana pendukung pariwisata dibandingkan daerah lainnya.
Keunggulan aspek itu terlihat dari beragam fasilitas yang bisa mendukung kelancaran usaha pariwisata di kota itu, seperti kemudahan perizinan melalui pelayanan satu pintu, ketersediaan infrastruktur teknologi informasi dan teknologi perbankan. Selain itu, Denpasar dikenal sebagai pusat pendidikan tenaga kerja pariwisata nasional, sehingga ketersediaan tenaga kerja di sektor pariwisata pun terjamin.
Tingginya daya saing Denpasar juga disumbang oleh aspek infrastruktur yang menduduki peringkat tertinggi kedua. Pencapaian ini tak lepas dari keberadaan Bandara Ngurah Rai yang hanya berjarak 15 kilometer dan Pelabuhan Benoa di ujung timur kota tersebut.
Kebijakan penataan infrastruktur oleh Pemkot Denpasar juga memberikan dampak langsung bagi daya saing pembangunan pariwisata. Beberapa kebijakan itu antara lain penataan Pelabuhan Benoa, penataan jalan dan jalur pedestrian, serta penataan sungai-sungai yang mengalir di kota tersebut sehingga menjadi destinasi wisata.
Keunggulan Denpasar tak bisa dilepaskan dari Provinsi Bali yang menjadi ikon pariwisata nasional.
Hal serupa dilakukan Kota Surabaya sebagai daerah dengan daya saing pariwisata tertinggi kedua. Kota yang mengandalkan aktivitas wisata konvensi atau MICE ini paling unggul dalam aspek infrastruktur dibanding daerah lainnya.
Sama seperti Denpasar, keandalan infrastruktur kota ini terlihat dari penataan kotanya. Aspek infrastruktur yang menjadi modal kuat pengembangan wisata kota ini terutama disumbang oleh keberadaan Bandara Djuanda yang hanya berjarak 20 kilometer dari Surabaya dan Pelabuhan Tanjung Perak yang melayani angkutan penumpang, peti kemas, dan ekspor impor.
Tidak hanya itu, APBD Kota Surabaya tiap tahun difokuskan pada infrastruktur selain bidang kesehatan dan pendidikan. Alhasil, kondisi jalan-jalan yang tampak mulus serta penataan jalur pedestrian dan taman membuat kota terlihat rapi dan cantik, sehingga banyak wisatawan domestik dan asing berkunjung untuk menikmatinya.
Selain itu, posisi Kota Surabaya yang strategis memudahkan wilayah ini diakses dengan berbagai jenis alat transportasi, baik itu laut, darat, maupun udara. Surabaya juga bisa dibilang sebagai pusat transportasi darat di Jawa Timur. Kota ini menjadi pertemuan sejumlah jalan raya nasional yang menghubungkan Surabaya dengan kota-kota lainnya di Jawa.
Adapun Kota Yogyakarta memiliki skor tertinggi pada aspek tata kelola. Tingginya skor tata kelola terkait kebijakan daerah yang memang memfokuskan pariwisata sebagai penggerak utama perekonomian daerah. Kota ini tercatat sebagai salah satu daerah di Indonesia yang memiliki Dinas Pariwisata yang berdiri sendiri tanpa bergabung dengan bidang lainnya. Dalam rencana strategisnya, dinas tersebut memfokuskan pada peningkatan kunjungan wisatawan dengan promosi dan kerja sama antardaerah.
Dengan kebijakan itu, jumlah kunjungan wisatawan pun meningkat 5-10 persen per tahun. Pada 2016, jumlah wisatawan asing tercatat sebanyak 396.518 orang dan meningkat menjadi 496.293 orang di Tahun 2018. Adapun wisatawan domestik tiap tahun tak kurang dari 3,5 juta orang.
Kesenjangan
Selain menampilkan daerah yang menjadi pemenang, hasil pengukuran daya saing pariwisata ini juga menunjukkan masih adanya kesenjangan antardaerah yang cukup tajam. Dari 508 kabupaten/kota di Indonesia yang diukur, hanya 22 kabupaten/kota yang memiliki daya saing tinggi dan 331 daerah dengan daya saing pariwisata kategori menengah.
Sementara itu, masih terdapat 155 kabupaten yang semuanya berlokasi di luar Jawa dan Bali dengan daya saing rendah. Kesenjangan antardaerah itu terjadi terutama pada aspek infrastruktur, tata kelola, dan sarana pendukung pariwisata.
Pengukuran aspek infrastruktur memperlihatkan kondisi infrastruktur pendukung pariwisata di lebih dari separuh daerah di Indonesia (55 persen) masih di bawah rata-rata nasional. Aspek ini menunjukkan kesenjangan antardaerah yang cukup tajam. Daerah dengan peringkat lima besar pada dimensi infrastruktur adalah Kota Surabaya, Kota Denpasar, Kota Batam, Kota Makasar, dan Kota Palembang.
Kesenjangan antardaerah juga tergambar pada aspek sarana pendukung yang terangkum dalam lingkungan bisnis, keselamatan dan keamanan, sarana kesehatan dan kebersihan, sumber daya manusia dan pasar tenaga kerja, serta kesiapan infrastruktur teknologi informasi. Pada aspek tersebut, sebanyak 253 kabupaten/kota memiliki skor di bawah rata-rata nasional. Daerah yang memiliki skor tertinggi yakni Denpasar, Surabaya, Tangerang, Bekasi dan Yogyakarta.
Adapun dari sisi tata kelola, kesenjangan terlihat dari belum memadainya kebijakan daerah yang mendukung perkembangan pariwisata. Dari pengukuran daya saing terlihat masih ada separuh daerah di Indonesia yang berada di bawah angka rata-rata nasional. Skor tertinggi pada aspek ini diraih Kota Yogyakarta, Kota Surakarta, Kota Semarang, Kabupaten Banyuwangi, dan Kota Denpasar.
Jika dicermati lebih jauh, kesenjangan daya saing juga tergambar dari Jawa dan luar Jawa. Provinsi yang unggul dalam daya saing pariwisata didominasi provinsi di Jawa. Lima besar provinsi yang memiliki skor tertinggi yakni DIY, Bali, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Adapun provinsi dengan daya saing terendah yaitu Papua, Papua Barat, dan Kalimantan Tengah.
Keunggulan Jawa dan Bali itu tak bisa lepas dari kabupaten/kota di wilayah tersebut yang memprioritaskan aspek tata kelola dan infrastruktur. Selain itu, mereka juga mengembangkan destinasi-destinasi baru, dan memunculkan budaya dan tradisi lokal dalam menarik wisatawan asing maupun domestik.
Pemerintah sebenarnya sudah menggagas program pariwisata untuk mengurangi kesenjangan itu dengan program 10 destinasi prioritas yang biasa disebut Bali Baru.
Kesepuluh destinasi Bali Baru yaitu Danau Toba di Sumatera Utara, Tanjung Kelayang di Kepulauan Bangka Belitung, Tanjung Lesung di Banten, Kepulauan Seribu di Jakarta, Borobudur di Jawa Tengah, Bromo Tengger Semeru di Jawa Timur, Mandalika di Nusa Tenggara Barat, Labuan Bajo di Nusa Tenggara Timur, Wakatobi di Sulawesi Tenggara, dan Morotai di Maluku Utara.
Meski demikian, program itu tak serta merta mampu mengurangi kesenjangan di sektor pariwisata. Meski aspek wisata alam dan budaya terbilang tinggi, tiga aspek lainnya yakni sarana pendukung, infrastruktur, dan tata kelola di sebagian wilayah 10 destinasi unggulan itu terbilang menengah dan rendah.
Labuan Bajo di Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, misalnya, daerah yang terkenal dengan komodonya ini hanya menduduki peringkat 62 daya saing secara keseluruhan. Hal serupa terjadi pada Tanjung Lesung di Pandeglang (Banten) yang jaraknya hanya 160 km dari Jakarta di peringkat 91, dan Morotai di Maluku Utara hanya di peringkat 372.
Pembenahan pariwisata harusnya dilakukan pada empat aspek untuk mengurangi kesenjangan daya saing. Jika itu terwujud, bukan tidak mungkin Indonesia bakal melesat sebagai destinasi favorit dunia mengingat negeri ini kaya akan potensi alam dan budayanya.
Tentunya hal itu juga ditunjang oleh pembangunan industri pariwisata yang dilakukan secara berkesinambungan dengan penuh komitmen. Di banyak negara yang berhasil mengembangan pariwisatanya, sektor itu terbukti efektif memacu peningkatan pendapatan, pekerjaan, dan menciptakan kesejahteraan masyarakat. Sebut saja misalnya, Malaysia, Singapura, Korea Selatan, dan Jepang. (Dwi Erianto dan Susy Sartika R./Litbang Kompas)