Mengapa Harus Berunjuk Rasa?
Pengungkapan pendapat di muka umum hanyalah salah satu dari berbagai cara lain untuk menyalurkan aspirasi di alam demokrasi. Partai politik dan wakil rakyat di DPR merupakan saluran resmi yang perlu dicoba
“Kita mendengar kok, sangat mendengar. Bukan mendengar, tapi sangat mendengar.” (Presiden Joko Widodo, 30 September 2019)
Pernyataan Presiden Joko Widodo di atas menunjukkan bahwa sebagai presiden, Jokowi sangat memahami esensi dari kegiatan unjuk rasa, yakni pengungkapan pendapat. Pendapat yang diungkapkan menuntut untuk didengarkan, bahkan ditindaklanjuti.
Oleh karena itu, terhadap suatu unjuk rasa, tak ada reaksi yang lebih tepat daripada mendengarkan dan menindaklanjuti. Haruskah melakukan unjuk rasa agar suatu pendapat didengarkan dan ditindaklanjuti?
Di pengujung September 2019, gerakan protes dalam bentuk unjuk rasa yang dimotori oleh mahasiswa terjadi di beberapa kota di Indonesia. Mulai dari di Yogyakarta pada tanggal 23 September 2019 dengan gerakan “Gejayan Memanggil” hingga ke kota-kota lain seperti Jakarta, Riau, Banyuwangi, Malang, Bandung, Semarang, Sidoarjo, Padang, Surabaya, Kendari, Mataram, hingga Aceh.
Ketika unjuk rasa terjadi hampir berbarengan di berbagai kota dengan tuntutan isu yang hampir seragam, muncul pertanyaan, apakah saluran aspirasi terhadap tuntutan yang disuarakan oleh para demonstran selama ini macet?
Jangan-jangan, para demonstran selama ini belum tahu bahwa ada saluran-saluran yang dapat digunakan untuk menyalurkan aspirasi selain unjuk rasa. Bila demikian, persoalan yang perlu diselesaikan adalah sosialiasi terhadap saluran yang telah tersedia.
Akan tetapi, mahasiswa yang terlibat aksi menegaskan, unjuk rasa mereka bertujuan untuk memastikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat terpilih turut memperjuangkan tuntutan mereka atas rancangan undang-undang bermasalah.
Kemungkinannya, banyaknya unjuk rasa yang dimotori oleh mahasiswa di berbagai wilayah di Indonesia dapat menjadi sinyal bahwa saluran aspirasi masyarakat sedang macet. Benarkah?
Baca Juga: Gerakan Mahasiswa Tak Pernah Mati
Saluran aspirasi
Dalam negara demokrasi, partisipasi rakyat dalam kehidupan politik diwakili oleh wakil-wakil rakyat yang duduk di kursi DPR. Wakil rakyat yang duduk di DPR tersebut merupakan anggota partai politik yang merupakan pilar utama dalam pranata sistem politik.
Dalam bukunya, Peran Partai Politik dalam Sebuah Sistem Demokrasi: Sembilan Tesis yang diterbitkan oleh Friedrich Ebert Stiftung tahun 2008, Thomas Meyer menuliskan bahwa salah satu peran utama partai politik adalah menjadi penghubung antara negara dan masyarakat.
Ia menjelaskan bahwa parpol menerjemahkan nilai dan kepentingan suatu masyarakat dalam proses dari bawah ke atas sehingga nilai dan kepentingan dari masyarakat itu menjadi rancangan undang-undang negara, peraturan-peraturan yang mengikat, dan program bagi rakyat.
Peran partai politik juga disebut dalam UU No 2 Tahun 2011, yang menyebutkan tujuan partai politik untuk “memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang”. (Pasal 1).
Tujuan parpol untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota dan masyarakat tersebut mengandaikan bahwa partai politik mengetahui dengan benar kepentingan masyarakat yang diperjuangkan. Dengan peran tersebut, aspirasi masyarakat seharusnya dapat tertampung oleh partai politik dan anggotanya yang duduk di DPR.
Ketika peran partai politik dan para wakil rakyat dianggap tidak lagi mampu menampung dan menyalurkan aspirasi rakyat, konstitusi masih menyediakan saluran langsung, yakni menyatakan pendapat di muka umum.
Dilindungi
Dalam negara demokrasi, kegiatan mengungkapkan pendapat di muka umum, entah lisan maupun tulisan, diakui sebagai hak warga negara, bahkan pelaksanaannya dijamin oleh undang-undang. Pengungkapan pendapat tersebut kemudian disebut sesuai dengan bentuk ekspresinya, yakni unjuk rasa atau demonstrasi, pawai, rapat umum, dan mimbar bebas.
Unjuk rasa atau demonstrasi dicirikan dengan ekspresi demonstratif dalam mengungkapkan pikiran, entah dengan lisan maupun tulisan. Bentuk ekspresi pendapat lain adalah pawai, yakni menyampaikan pendapat dengan arak-arakan di jalan umum.
Sedangkan, bentuk rapat umum merupakan pertemuan terbuka yang dilakukan untuk menyampaikan pendapat dengan satu tema tertentu. Bentuk lain yang dimasukkan dalam kegiatan penyampaian pendapat di muka umum adalah mimbar bebas, yakni menyampaikan pendapat secara bebas dan terbuka tanpa tema tertentu
Kegiatan menyampaikan pendapat di muka umum yang juga dilindungi oleh undang-undang di Indonesia adalah pemogokan (strike). Pemogokan umumnya diasosiasikan dengan kegiatan protes yang dilakukan oleh para pekerja untuk menghentikan atau memperlambat pekerjaan. Tindakan mogok tersebut digambarkan sebagai tindakan yang terencana dan dilaksanakan secara bersama-sama.
Kedua bentuk kegiatan yang dijamin oleh Undang-Undang tersebut memuat unsur-unsur yang sama, yakni merupakan sebuah tindakan yang terencana, yang didasarkan oleh keprihatinan tertentu, serta memiliki pendapat yang ingin disuarakan atau dinyatakan.
Hal yang dijamin dalam kegiatan mogok pun sama, yakni menjamin agar pendapat tiap manusia dapat bebas disampaikan dengan saluran tertentu. Perbedaannya, mogok menjadi kegiatan yang sangat khas pekerja dalam hubungan industrial, yakni hubungan antara pekerja dan pemberi kerja.
Dengan demikian, baik penyampaian pendapat di muka umum maupun mogok sama-sama menunjukkan bahwa pendapat manusia merupakan sesuatu yang penting dan layak untuk dijamin kebebasannya.
Jaminan yang diberikan oleh pemerintah lewat berbagai bentuk ekspresi tersebut adalah kebebasan menyuarakan pendapat. Setiap warga negara di Indonesia boleh memiliki pendapatnya masing-masing, entah sama maupun berbeda.
Penggunaan hak
Jaminan menyuarakan pendapat di muka umum ini mendapatkan pendasaran dalam UUD 1945 Pasal 28E. Dalam UUD 1945 disebutkan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.
Sebagai tindakan yang dijamin oleh undang-undang dasar, di hadapan hukum, kegiatan unjuk rasa setara, misalnya, dengan kegiatan membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Kedua pelaksanaan hak tersebut dijamin oleh undang-undang.
Oleh karena itu, sedikit atau banyaknya unjuk rasa yang terjadi di suatu negara tidak dapat serta-merta digunakan sebagai ukuran untuk menunjukkan baik atau buruknya suatu pemerintahan.
Banyaknya unjuk rasa menunjukkan sedikitnya dua hal. Pertama, banyak atau sedikitnya unjuk rasa merupakan gejala yang menunjukkan banyak sedikitnya perbedaan atau persamaan pendapat antara pemerintah dan masyarakat. Selain itu, banyaknya unjuk rasa juga menunjukkkan adanya aspirasi masyarakat yang tidak tersalurkan lewat saluran resmi yang sudah ada.
Sebaliknya, akan menjadi pertanyaan besar apabila dalam negara demokrasi dengan jaminan kebebasan penyampaian pendapat di muka umum, tak ditemukan ekspresi penyampaian pendapat di muka umum. Di tempat perbedaan pendapat dijamin, di situlah demokrasi diwujudkan.
Inilah pembeda sekaligus unsur penting demokrasi dengan bentuk pemerintahan yang lain: kebebasan berekspresi mengungkapkan pendapat di muka umum. Persoalannya, bagaimana apabila pendapat yang disuarakan dengan unjuk rasa tidak ditindaklanjuti, bahkan tidak didengarkan?
Ukuran keberhasilan
Berbeda dengan DPR yang memiliki kekuatan untuk mendesakkan kepentingan rakyat di hadapan pemerintah dalam membentuk undang-undang, tindak lanjut dari aspirasi yang dibawa dalam kegiatan unjuk rasa tak dijamin dengan undang-undang.
Menyatakan pendapat di muka umum dijamin oleh undang-undang, tetapi tidak dijamin apakah kemudian pendapat tersebut didengarkan, ditindaklanjuti, hingga menghasilkan suatu perubahan. Artinya, isi pendapat yang disuarakan dengan unjuk rasa atau demonstrasi, pawai, rapat umum, hingga mimbar bebas bisa menghasilkan perubahan, bisa juga tidak.
Mengingat mengungkapkan pendapat merupakan bagian dari hak asasi manusia, pendapat kemudian juga memiliki sifat yang khas manusia. Manusia yang menyuarakan pendapat ternyata tidak berhenti ketika pendapat tersebut dapat disuarakan. Akan tetapi, manusia juga ingin agar pendapat tersebut didengarkan, ditindaklanjuti, hingga dapat menghasilkan suatu perubahan.
Oleh karena itu, kemudian muncul salah satu ukuran keberhasilan bagi suatu kegiatan penyampaian pendapat di muka umum, yakni menghasilkan perubahan. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa berbagai unjuk rasa maupun pemogokan kemudian dilakukan berkali-kali demi tindak lanjut dari isi pendapat yang disampaikan hingga menghasilkan perubahan sesuai pendapat yang disampaikan oleh pengunjuk rasa.
Tanpa kekerasan
Di sinilah muncul persoalan baru, yakni ketika muncul kekerasan dalam ekspresi menyuarakan pendapat, entah dari pengunjuk rasa maupun dari aparat keamanan. Oleh karena itu, pelaksanaan menyuarakan pendapat di muka umum juga diatur dalam undang-undang. Tujuannya, agar pelaksanaan ekspresi menyuarakan pendapat di muka umum tidak mengganggu kepentingan umum.
Undang-undang dan aturan di bawahnya mengatur pelaksanaan unjuk rasa, antara lain menyangkut perizinan, lama waktu, tempat, penanggung jawab, hingga pelaksanaan yang tertib tanpa kekerasan.
Baca Juga: Unjuk Rasa Tanggung Jawab Bersama
Unjuk rasa tanpa sebagai bentuk perlawanan sipil tanpa kekerasan, selain diatur oleh UU agar dilaksanakan secara tertib, secara statistik lebih berhasil daripada unjuk rasa dengan kekerasan.
Kesimpulan tersebut dihasilkan dari penelitian yang dilakukan oleh seorang mahasiswa doktoral di Universitas Colorado, Erica Chenoweth, pada tahun 2008. Ia mencoba mempertanyakan kondisi-kondisi yang mendukung keberhasilan suatu aksi massa dan kondisi yang membuat gagal.
Tujuan akhir yang ingin dicapainya adalah menentukan strategi yang paling efektif dalam suatu gerakan protes agar menghasilkan suatu perubahan: apakah jalan damai atau dengan kekerasan. Aksi massa dianggap melibatkan kekerasan apabila melibatkan pemboman, penculikan, penghancuran infrastruktur, atau kerusakan fisik lain terhadap orang atau properti.
Untuk menjawab pertanyaanya, selama dua tahun, Choneweth bekerja sama dengan peneliti dari ICNC, Maria J. Stephan, memetakan keberhasilan dan kegagalan gerakan protes di seluruh dunia dari tahun 1900 hingga 2006. Mereka membangun pangkalan data yang disebut data Nonviolent and Violent Conflict Outcomes (NAVCO).
Data peristiwa tersebut disaring dengan berbagai kriteria, seperti memiliki tujuan politik utama, merupakan gerakan yang terencana (bukan spontan), serta memiliki awal dan akhir. Saringan kedua adalah menentukan derajat keberhasilan, dari tingkat berhasil, berhasil dengan batasan, hingga gagal.
Tak ada satu gerakan protes pun yang gagal setelah mencapai 3,5 persen partisipan dari populasi.
Akhirnya, dari ribuan data yang ditemukan, dihasilkan 323 data gerakan protes yang melibatkan konflik langsung antara aktor negara dan non-negara dengan kekerasan maupun tanpa kekerasan.
Mereka menerbitkan hasil penelitiannya pada 2011. Hasilnya, kedua peneliti menyimpulkan bahwa suatu perlawanan sipil tanpa kekerasan dua kali lebih mungkin mencapai tujuannya dibandingkan dengan kekerasan.
Chenoweth dan Stephan menemukan bahwa 53 persen gerakan protes di seluruh dunia yang dilakukan tanpa kekerasan mampu menghasilkan perubahan. Sedangkan, keberhasilan gerakan protes dengan kekerasan hanya berada di angka 26 persen.
Jumlah yang menentukan
Selain itu, mereka juga menemukan bahwa salah satu faktor yang menentukan keberhasilan atau kegagalan unjuk rasa untuk mencapai perubahan adalah jumlah partisipan. Dibutuhkan sekitar 3,5 persen penduduk dari populasi yang berpartisipasi aktif dalam gerakan protes untuk memastikan perubahan politik yang serius.
Menurut Chenoweth, tak ada satu gerakan protes pun yang gagal setelah mencapai 3,5 persen partisipan dari populasi. Ia kemudian menyebutnya aturan 3,5 persen. Ia memberikan contoh berbagai gerakan yang melibatkan lebih dari 3,5 populasi, mulai dari People Power di Filipina pada pertengahan tahun 80-an, gerakan Singing Revolution di Estonia akhir tahun 80-an, Velvet Revolution di Czechoslovakia pada 1989, hingga Rose Revolution di Georgia pada awal 2003.
Misalkan, dengan 329 juta populasi di AS pada 2019, dibutuhkan minimal 11,5 juta orang berpartisipasi dalam sebuah aksi massa sehingga dapat menghasilkan suatu perubahan.
Kesimpulan ini hanya menunjukkan jumlah, akan tetapi, Chenoweth memberi makna bagi temuannya. Menurut peneliti, ada dua hal yang membuat perlawanan non kekerasan lebih berhasil.
Pertama, komitmen pada metode-metode nonkekerasan meningkatkan legitimasi domestik dan internasional sehingga mendorong partisipasi yang lebih luas dalam perlawanan. Dukungan tersebut diterjemahkan dalam peningkatan tekanan terhadap target sasaran.
Kedua, gerakan protes tanpa kekerasan lebih sukses karena mereka dapat merekrut lebih banyak partisipan dari demografi yang lebih luas sehingga dapat mengganggu bahkan melumpuhkan aktivitas kota dan fungsi sebuah masyarakat.
Sebaliknya, gerakan dengan kekerasan akan memberikan pembenaran bagi pemerintah untuk segera memukul mundur. Bila pemerintah melakukan kekerasan terhadap gerakan tanpa kekerasan, hal itu malah akan menambah simpati bagi gerakan untuk melawan pemerintah.
Perlu digarisbawahi bahwa kesimpulan dari penelitian Chenoweth merupakan kesimpulan pengaruh yang mendukung, bukan sebab akibat. Artinya, unsur damai dan ukuran 3,5 persen populasi merupakan unsur yang mendukung keberhasilan suatu gerakan protes, bukan sebab langsung yang mengakibatkan perubahan. Masih dimungkinkan adanya variabel lain, misalnya kesatuan massa, dan lain-lain.
Menguji kesimpulan
Kesimpulan menyangkut gerakan protes damai dan aturan 3,5 persen dapat digunakan untuk melihat gerakan protes damai yang hingga saat ini masih terjadi di Hong Kong.
Gerakan protes di Hong Kong semakin memanas sejak Juni 2019 hingga sekarang dan melibatkan hampir dua juta peserta saat titik puncaknya. Padahal, populasi di Hong Kong pada pertengahan 2019 berjumlah sekitar 7,5 juta orang. Artinya, jumlah dua juta peserta sudah lebih dari seperempat populasi, jauh melebihi angka minimal 3,5 persen yang ditemukan oleh Chenoweth dalam penelitiannya.
Menggunakan kesimpulan dari kedua peneliti Chenoweth tersebut, di atas kertas, protes di Hong Kong akan menghasilkan perubahan karena melibatkan lebih dari 3,5 persen populasi. Akan tetapi, protes di Hong Kong telah berjalan lebih dari 4 bulan, tetapi masih belum selesai hingga saat ini.
Kemungkinannya, ada variabel lain yang belum dilihat. Mengingat tuntutan protes demonstran Hong Kong melibatkan China, populasi China sejumlah 1,4 miliar penduduk juga perlu diperhitungkan terutama karena Hong Kong merupakan bagian dari China.
Bedarsarkan kesimpulan Chenoweth di atas, protes di Hong Kong, walaupun telah melibatkan lebih dari 3,5 persen populasi, belum akan menghasilkan perubahan bila tidak didukung keterlibatan dari warga di China. Tanpa melibatkan warga China, seakan-akan persoalan di Hong Kong tidak menjadi persoalan bagi warga China.
Selain itu, gerakan protes yang dilakukan di Hong Kong, walaupun awalnya dilakukan tanpa kekerasan, lama-kelamaan juga melibatkan kekerasan dengan merusak berbagai fasilitas publik. Bukan hanya jumlah, tetapi bentuk protes tanpa melibatkan kekerasan pun perlu digarisbawahi dalam menilai keberhasilan gerakan protes yang sedang berlangsung.
Baca Juga: Berapa Nyawa Lagi Harus Melayang Harus Melayang di Hong Kong
Cara terakhir
Pencarian pendasaran tentang gerakan protes di Indonesia menunjukkan bahwa unjuk rasa bukanlah suatu tindakan kriminal karena pelaksanannya dijamin dengan undang-undang. Namun, perlu dipastikan bahwa gerakan tersebut berjalan dengan damai.
Hal itu didukung dengan penelitian tentang gerakan protes di seluruh dunia yang menunjukkan, agar berhasil, suatu gerakan protes perlu dilakukan dengan damai dan melibatkan minimal 3,5 populasi. Dua hal itu adalah unsur yang saling melengkapi, bukan hanya satu saja.
Apresiasi perlu disampaikan terhadap mahasiwa sebagai motor unjuk rasa di akhir September 2019 yang menegaskan, mereka menolak aksi anarkistis sejak awal. Gerakan damai juga kemudian terjadi saat protes buruh pada 2 Oktober 2019.
Yang tak boleh dilupakan, pengungkapan pendapat di muka umum hanyalah salah satu dari berbagai cara lain untuk menyalurkan aspirasi di alam demokrasi. Partai politik dan wakil rakyat di DPR merupakan saluran resmi yang perlu dicoba untuk mengungkapkan aspirasi.
Mari kita dorong partai politik dan wakil rakyat mewujudkan salah satu fungsi mereka sebagai penyalur aspirasi rakyat! (Litbang Kompas)