Babak Baru Ketidakpastian Ekonomi 2020
Ketidakpastian akan semakin membayangi perekonomian dunia pada tahun 2020. Pola baru perdagangan akan banyak muncul di tengah kemungkinan terwujudnya Brexit.
Mengawali tahun 2019, dunia sudah diguncang dengan ketidakpastian. Guncangan dimulai saat adanya perang dagang antara Amerika Serikat dan China. Bukan hanya kedua raksasa ekonomi ini yang merasakan getahnya. Seluruh dunia turut ”menikmati” ketidakpastian perdagangan.
Merujuk pada penelitian Hites Ahir, Nicholas Bloom, dan Davide Furceri (2018) terkait Indeks Ketidakpastian Perdagangan Dunia yang disampaikan Mari Elka Pangestu dalam sebuah diskusi ekonomi yang diselenggarakan Financial Club Jakarta, indeks ketidakpastian perdagangan dunia memuncak pada triwulan pertama 2019 hingga mencapai angka 110. Angka ini melambung tinggi setelah akhir 2018 hanya berada pada angka 33.
Mantan Menteri Perdagangan sekaligus mantan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dalam dua periode Kabinet Indonesia Bersatu ini mengatakan bahwa perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China merupakan gejala permasalahan dasar bagi dunia.
Belum selesai dengan masalah perang dagang, dunia kembali berhadapan dengan wacana Brexit (Inggris keluar dari Uni Eropa). Sejak tiga tahun silam wacana ini digaungkan, tetapi titik temu yang pasti belum tercapai hingga saat ini. Yang sudah pasti dari Inggris adalah hasil pemilu yang dilaksanakan pertengahan bulan ini.
Pekerjaan besar bagi Inggris dalam mempersiapkan dan menyelenggarakan pemilu telah berlalu. Meraih 365 kursi dari 650 total kursi membuat Partai Konservatif berhasil membawa Boris Johnson kembali menjadi Perdana Menteri Inggris. Kemenangan Johnson membawa angin segar bagi warga Inggris, sebab harapan besar terwujudnya Brexit terbuka lebar, sesuai dengan janji Johnson sepanjang kampanye.
Meski demikian, tugas Johnson dalam menuntaskan proses Brexit masih belum berakhir. Telanjur berjanji, mau tidak mau Johnson harus rela ”tidak tidur” hingga Brexit benar-benar terlaksana. Sebab, bukannya semakin ringan, beban Inggris justru semakin berat ketika Skotlandia kembali mengajukan referendum kemerdekaan. Perjuangan tersebut hampir terwujud pada tahun 2014 setelah beberapa dekade Skotlandia berjuang untuk memisahkan diri dari Inggris. (Kompas, 16/12/2019)
Perundingan lain, yang agaknya menjadi isu utama yang masih terus dilakukan antara Inggris dengan Uni Eropa adalah tentang perdagangan. Perdagangan yang selama ini berjalan baik sudah pasti akan terdampak karena adanya peraturan baru dalam perdagangan antara Inggris dan Uni Eropa pasca-Brexit.
Pro-kontra yang melibatkan Uni Eropa ini mampu menarik perhatian dunia sebab Uni Eropa menjadi salah satu kelompok ekonomi besar di dunia, yang anggotanya adalah negara-negara dengan ekonomi kuat, Jerman dan Inggris ada di antaranya.
Hal ini tidak lain disebabkan antarnegara Uni Eropa bebas melakukan perdagangan, bahkan tanpa tarif, yang membuat kerja sama perdagangan mereka menjadi kuat.
Sebagai hasil dari kerja sama tersebut, Uni Eropa secara keseluruhan mampu berkontribusi 18,76 triliun dollar AS pada PDB dunia, atau sebesar 21,86 persen pada tahun 2018. Nilai tersebut terbesar kedua setelah AS dengan kontribusi 23,88 persen. Disusul oleh China dengan kontribusi 15,86 persen.
Meski demikian, alasan ketidakbebasan saat bergabung dalam kelompok Uni Eropa menjadi salah satu latar belakang diserukannya Brexit. Berbagai harapan baru ingin dicapai oleh Inggris dengan terwujudnya Brexit. Hanya, harus diakui bahwa sebab akibat masih berlaku, termasuk pada kasus Brexit ini. Dampak positif bahkan negatif akan sangat mungkin mengikutinya.
Negara-negara yang sudah pasti akan terdampak pasca-Brexit adalah Inggris sendiri dan negara-negara anggota Uni Eropa lainnya, khususnya dalam hal perdagangan. Tujuh dari sepuluh negara mitra dagang terbesar bagi Inggris, baik ekspor maupun impor, adalah negara tetangga yang tergabung dalam Uni Eropa.
Jika keinginan untuk keluar dari Uni Eropa terwujud, perdagangan Inggris dengan negara anggota Uni Eropa lainnya akan terganggu. Keduanya akan dirugikan jika perdagangan yang selama ini bebas tarif menjadi terhalang oleh tarif.
Mitra baru
Namun, data dan fakta menunjukkan bahwa selain negara-negara anggota Uni Eropa lainnya, AS dan China juga masuk dalam sepuluh besar negara mitra dagang Inggris, baik ekspor maupun impor.
Bahkan, dalam ekspor, AS merupakan mitra dagang terbesar yang berkontribusi 13,41 persen pada total ekspor Inggris. Kemudian China berada di posisi nomor 6 dengan kontribusi yang mencapai hampir 5 persen dari semua ekspor Inggris.
Tidak hanya ekspor, China dan AS menduduki posisi kedua dan ketiga mitra dagang impor Inggris, setelah Jerman. Impor Inggris dari China pada tahun 2017 berkontribusi sebesar 9,33 persen pada seluruh total impor Inggris. Tidak jauh berbeda, AS berkontribusi sebesar 9,17 persen pada total impor Inggris.
Boleh jadi fakta ini menjadi peluang bagi Inggris untuk menjalin kerja sama yang lebih kuat dengan kedua raksasa ekonomi dunia itu. Bagaimanapun, Inggris tetap harus mempertahankan dirinya. Inggris tetap harus memberikan kepastian bagi warganya, terutama dalam hal ekonomi, salah satunya melalui perdagangan internasional.
Lalu, mengapa perdagangan menjadi sangat penting untuk diselamatkan? Selama ini, 62,46 persen perekonomian Inggris ditopang oleh perdagangan internasional. Hanya saja, nilai itu tampak menjadi tak berarti ketika dibandingkan dengan rata-rata rasio perdagangan terhadap PDB (rasio keterbukaan ekonomi) di Uni Eropa secara keseluruhan (Inggris masih masuk di dalamnya).
Data World Integrated Trade Solution (WITS) menunjukkan bahwa rata-rata rasio keterbukaan ekonomi Uni Eropa sebesar 134,98 persen. Bahkan, rasio keterbukaan ekonomi Inggris masih lebih rendah dibandingan rasio keterbukaan ekonomi dunia yang mencapai angka 71,70 persen.
Angka tersebut secara tidak langsung berbicara bahwa Inggris perlu membuka kerja sama perdagangan yang baru. Terwujudnya Brexit akan membawa kebebasan bagi Inggris untuk merencanakan masa depannya, termasuk menentukan mitra dagangnya. Boleh jadi tidak perlu baru, bisa juga dengan menguatkan mitra yang sudah ada saat ini.
Perjanjian perdagangan
Menelusuri sumber data yang sama, WITS, dari 20 besar negara tujuan ekspor Inggris, 11 negara di antaranya bukan anggota Uni Eropa. Untuk 20 besar negara asal impor Inggris, 10 di antaranya bukan negara anggota Uni Eropa.
Kontribusi dari negara-negara non-Uni Eropa yang masuk ke dalam 20 besar tersebut lebih dari sepertiga dari total seluruh ekspor dan impor Inggris, 37,17 persen untuk ekspor, dan 34,01 persen untuk impor.
Kerja sama dengan negara-negara tersebut memang sudah berjalan, tetapi ketika masih bergabung dengan Uni Eropa, aturan Uni Eropa yang berlaku. Sebagai langkah awal mempersiapkan perdagangan pasca-Brexit, Inggris membuat perjanjian perdagangan dengan sejumlah negara.
Merujuk pada laman Pemerintah Britania Raya (GOV.UK), Inggris telah membuat perjanjian perdagangan dengan 20 negara selama Januari hingga Desember 2019. Tiga negara yang masuk dalam 20 besar mitra dagang Inggris dan telah membuat perjanjian perdagangan dengan Inggris adalah Swiss, Norwegia, dan Korea Selatan.
Perjanjian dengan Swiss disepakati pada 11 Februari 2019. Perdagangan antara Inggris dan Swiss yang tercatat dalam perjanjian adalah perdagangan barang. Termasuk di dalamnya adalah ketentuan tentang aturan asal, tarif dan kuota, serta aturan nontarif.
Hal lain yang diatur adalah indikasi geografis, merupakan tanda-tanda yang digunakan untuk mengidentifikasi suatu produk yang kualitasnya, reputasinya, atau karakteristiknya terkait dengan tempat asalnya.
Sama dengan Swiss, perjanjian Inggris dengan Norwegia mencakup tentang perdagangan barang. Secara spesifik, menetapkan tarif nol persen untuk produk industri dan tunjangan kuota dan tarif untuk produk pertanian dan perikanan. Perjanjian tersebut juga berisi ketentuan tentang pemulihan perdagangan, penyelesaian sengketa, kerja sama pabean dan aturan asal.
Dalam perjanjian dipastikan adanya akses pasar yang berkesinambungan bagi para produsen Inggris dan produk-produk Norwegia ke pasar Inggris. Perjanjian ini disepakati pada 2 April 2019.
Yang terbaru adalah perjanjian Inggris dengan Korea (dari 20 besar mitra dagang Inggris), disepakati pada 22 Agustus 2019. Perdagangan yang disepakati adalah perdagangan barang dan jasa, termasuk peraturan tentang tarif dan kuota.
Batasan perdagangan juga menjadi salah satu cakupan dalam perjanjian tersebut. Perjanjian antara Inggris dan ketiga negara itu dapat dilaksanakan setelah Brexit, ketika perjanjian setiap negara dengan Uni Eropa tidak berlaku lagi bagi Inggris.
Selain perjanjian yang sudah disepakati dengan 20 negara, Inggris juga sedang merundingkan perjanjian perdagangan dengan 19 negara lainnya. Kanada, Turki, dan Jepang adalah negara yang masuk 20 besar mitra dagang yang akan mengadakan perjanjian perdagangan dengan Inggris. Di antara 19 negara, ketiga negara tersebut merupakan kontributor terbesar pada perdagangan Inggris, menurut catatan Pemerintah Inggris.
Terdapat juga perjanjian saling mengakui atau yang biasa disebut mutual recognition agreements (MRA) dengan Australia, Selandia Baru, dan AS. MRA adalah perjanjian yang menyatakan negara mengakui penilaian kesesuaian antara satu sama lain. Ketika penilaian kesesuaian diterapkan untuk suatu produk, maka akan diuji dengan standar kinerja yang ditetapkan.
Langkah-langkah tersebut setidaknya menunjukkan bahwa Pemerintah Inggris berusaha mewujudkan janji-janji yang selama ini digaungkan. Secara tidak langsung juga menunjukkan bahwa ada negara-negara yang buntung karena penerapan peraturan baru. Tapi tak sedikit juga yang akan merasakan keuntungan pasca-Brexit.
Bukan tidak mungkin Indonesia juga akan menjadi sasaran berikutnya bagi Inggris karena segala kemungkinan bisa terjadi di tengah ketidakpastian ini. Mengutip pernyataan Mari Elka Pangestu, ”menjaga keterbukaan di tengah ketidakpastian yang besar”.
Siapa yang bisa memastikannya? Biar waktu yang menjawabnya. (Litbang Kompas)