Memahami “Sembilan Garis Putus-putus” dalam Sengketa Laut Natuna
Meski dibayang-bayangi kapal perang RI, kapal-kapal China tampaknya tak berniat menghindar dari kawasan ZEE Indonesia di laut Natuna Utara.
Ketegangan hubungan diplomatik antara Indonesia dan China kembali terasa setelah kapal nelayan milik China kembali beroperasi di Laut Kepulauan Natuna. Sebagaimana diberitakan harian ini, kapal-kapal tersebut masuk ke wilayah ZEE Indonesia di laut Natuna Utara tanpa izin.
Paling tidak sekitar 30 kapal nelayan China dan 3 kapal Penjaga Pantai China memasuki ZEE Indonesia. Koordinat kapal-kapal yang dipantau itu adalah sekitar 5 LU dan 109 BT sekitar 105 mil laut dari Ranai, ibukota Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau. Kapal-kapal tersebut memasuki lagi perairan ZEE Natuna pada 24 Desember 2019 setelah sebelumnya pada 19 Desember 2019 diusir Bakamla.
Yang menjadi persoalan, kapal nelayan China yang dikawal kapal penjaga pantai China (China Coast Guard) itu tampak sengaja menegaskan kehadiran dan aktifitas mencari ikan tanpa hirau peringatan oleh kapal-kapal Indonesia. Kapal perang RI yang mengawasi kapal-kapal China adalah KRI Tjiptadi, KRI Teuku Umar. Sedangkan tiga lainnya, yaitu KRI John Lie, KRI Karel Satsuit Tubun, dan KRI Usman Harun, tengah dalam perjalanan dari dermaga Surabaya.
Meski dibayang-bayangi kapal perang RI, kapal-kapal China tampaknya tak berniat menghindar dari kawasan ZEE Indonesia. Keberadaan kapal-kapal China tak hanya di wilayah ZEE Indonesia, namun beberapa hari kemudian di antara mereka bahkan telah terdeteksi memasuki wilayah landas kontinen yang lebih dekat lagi dari daratan pulau Natuna.
Menyikapi sikap kapal-kapal China tersebut Kemenlu RI telah memanggil Duta Besar China untuk RI, Xiao Qian untuk mengajukan nota protes dan meminta penjelasan. Kepada Xiao, Kemenlu menegaskan soal pelanggaran wilayah kedaulatan laut Indonesia dan meminta China mematuhi ZEE Indonesia sesuai dengan Konvensi PBB tentang Konvensi Hukum Laut PBB (United Nations Conventions on The Law of The Sea -UNCLOS) tahun 1982.
Dalih China
China memakai alasan perairan tersebut terhubung/berhubungan dengan wilayah kedaulatan perairan mereka ( relevant waters) didasarkan pada batas imajiner di laut “Sembilan garis putus-putus” (Nine Dash Line) sehingga absah kehadiran nelayan mereka di perairan Natuna. China mengklaim nelayan-nelayan mereka secara tradisi telah mencari ikan sejak masa lalu di perairan Natuna.
Indonesia menolak istilah relevant waters yang diklaim China karena istilah ini tidak dikenal dan tak sesuai dengan UNCLOS. Ketentuan yang diratifikasi Indonesia juga menegaskan tak pernah mengakui ”Sembilan Garis Putus-putus” yang dipakai China mengklaim sebagian Laut Natuna Utara. Klaim itu dianggap tak berdasarkan hukum dan sudah pernah ditolak oleh Mahkamah Internasional pada tahun 2016.
Isu Sembilan Garis Putus-putus telah dipersoalkan Indonesia sejak 1994. Diplomat senior Hasjim Djalal pernah menjelaskan, Jakarta bertanya ke Beijing kala wacana itu baru terlontar. Kala itu, Beijing menyatakan tidak ada masalah dan garis itu tidak akan terkait dengan Indonesia. (Kompas, 2/2/2020)
Faktanya, kini garis penghubung imajiner itu menjadi dasar operasional nelayan China yang dikawal oleh kekuatan aparat negara dan kapal pengawas mereka. Dalam pernyataan, Rabu (1/1/2020), Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia tegas menolak klaim itu. Sebaliknya, klaim Indonesia pada ZEE di Laut Natuna Utara didasarkan pada UNCLOS.
Bukan kali ini saja Indonesia memprotes China soal pencurian ikan di Laut Natuna. Sepanjang 2014-2019, sejumlah kapal nelayan asal China ditangkap lalu ditenggelamkan karena mencuri ikan di Natuna.
Nine Dash Line
Istilah "garis sembilan garis putus-putus" (nine dash line) di laut Natuna Utara, kini mulai dikenal publik Indonesia sejak dipakai China dalam polemik perairan laut Natuna utara. Merujuk pada artikel artikel Liu Zhen di laman South China Morning Post, 12 Juli 2016, jalur ini membentang lebih 2.000 km dari tepi daratan Cina ke arah selatan di perairan negara-negara Asia Tenggara di wilayah Filipina, Malaysia, dan Vietnam.
Filipina yang hanya berjarak beberapa puluh kilometer dari garis itu menentang klaim dan mengajukan kasusnya di Pengadilan Arbitrase Internasional Permanen di Den Haag Belanda. Sama seperti Indonesia, Filipina menggunakan dalil isi perjanjian/kesepakatan dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut (Unclos) sebagai dasarnya. Baik Filipina maupun Malaysia tumpang tindih ZEE nya dengan klaim garis China tersebut.
Namun, sejauh ini putusan Mahkamah Internasional tentang polemik perairan ini selalu menghindari putusan yang bersifat mengatur kewenangan teritorial perairan negara-negara. Artinya, persoalan mendasar soal garis batas mana yang paling sah secara hukum internasional menjadi tidak jelas.
Nine Dash Line pada awalnya muncul di peta Cina sebagai garis 11-garis (sebelas garis) pada tahun 1947 ketika angkatan laut Republik China saat itu menguasai beberapa pulau di Laut Cina Selatan yang sebelumnya diduduki Jepang di perang dunia kedua.
Setelah negara Republik Rakyat Tiongkok berdiri pada tahun 1949 dan lawan politiknya, pasukan Kuomintang melarikan diri ke Taiwan, pemerintah dari partai komunis China menyatakan diri sebagai satu-satunya perwakilan sah Cina dan mewarisi semua klaim maritim di wilayah tersebut.
Dalam perjalanan waktu, dua buah "garis" telah dihapus pada awal 1950-an di kawasan Teluk Tonkin, sehingga tinggal sembilan garis. Garis ini sangat penting bagi China karena berfungsi sebagai dasar klaim China untuk "hak historis" di wilayah tersebut.
Sementara itu Filipina, Malaysia, dan Brunei mengklaim mereka memiliki kedekatan geografis. Bahkan Vietnam, yang menempati jumlah pulau dan terumbu terbesar di Spratlys, secara aktif mengelola daerah tersebut.
Namun Beijing bersikukuh dan berpendapat bahwa garis sembilan garis muncul dalam tatanan dunia baru setelah perang dunia kedua dan terbentuk jauh sebelum Unclos 1982. Beijing beralasan Cina menerima penyerahan Jepang dan merebut kembali kawasan itu dengan dukungan hukum dan otorisasi negara-negara Sekutu. Menurut China, saat itu negara-negara di wilayah tersebut dan AS tidak menyatakan keberatan pada klaim China.
Kedaulatan negara
Menurut hukum laut internasional, suatu negara memiliki kedaulatan atas perairan yang membentang 12 mil laut (22 km) dari tanahnya dan kontrol eksklusif atas kegiatan ekonomi yang berjarak 200 mil laut (370 km). Pada jarak ini (12 mil laut), negara berdaulat penuh atas wilayahnya sebagai perwujudan negara berdaulat. Jarak 12 mil laut dipakai sebagai pengembangan atas jarak sebelumnya, 3 mil laut (5,6 km) mengikuti jarak peluru meriam pada masa lalu.
Sedangkan 200 mil laut sebagai zona ekonomi ekslusif merupakan jarak dari pangkal wilayah laut Indonesia diukur ketika air laut sedang surut. Wilayah ZEE ekslusif dipakai oleh negara pemilik untuk eksplorasi dan penggunaan sumber daya laut termasuk berbagai penelitian ilmiah. Penguasaan kedaulatan negara pada wilayah ini bersifat lebih relatif, yaitu sebagai "hak berdaulat" atas pengelolaan sumber daya laut karena kedudukan sebagai negara kepulauan/negara pantai.
Beijing adalah penandatangan Unclos 1982, tetapi tidak pernah tegas mendefinisikan makna hukum garis sembilan garis putus-putus dan konsekuensi hukumnya. Hal inilah yang menimbulkan ambiguitas (bermakna ganda) apakah garis ini merupakan batas maritim, batas zona ekslusif atau hal lainnya.Di masa lalu China menyatakan tak akan "mengganggu" wilayah perairan negara lain dengan garis putus-putus ini. Namun perkembangan kondisi di laut natuna utara menunjukkan hal berbeda.Hal yang dulu dikhawatirkan kini benar-benar terjadi.
Yang jelas, saat ini batas garis putus-putus berjumlah sembilan itu tumpang tindih dengan zona ekonomi ekslusif Indonesia dan menimbulkan gesekan kedaulatan perairan kedua negara. Apapun motivasi China dengan manuvernya itu, Indonesia harus tetap hadir untuk menegaskan kedaulatannya. Meski demikian, harus dijaga agar polemik ini tidak melebar menjadi ketegangan yang akhirnya merugikan hubungan diplomatik, ekonomi dan kedaulatan kedua negara. (Litbang Kompas)