Gejolak Tahun Politik Donald Trump
Pencalonan kembali Donald Trump di pemilihan presiden AS November 2020 mendatang, membuat isu pemakzulan terhadap Trump diperkirakan tetap hangat sepanjang tahun ini.
Tahun lalu isu pemakzulan menjadi topik hangat di seputar Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Tahun ini, lanjutan proses pemakzulan diprediksi tetap bergejolak, terlebih menjelang tenggat pemilihan presiden 3 November 2020 mendatang.
Sejak dilantik sebagai Presiden Amerika Serikat pada Januari 2017 hingga mengawali tahun keempat masa pemerintahannya, Donald Trump seakan tidak dapat dilepaskan dari isu pemakzulan. Di awal-awal pemerintahannya, Trump menghadapi polemik kemenangannya di Pemilihan Presiden 2016 terkait dugaan keterlibatan Rusia.
Kali ini isu pemakzulan makin menghangat. Bedanya, bukan lagi tentang skandal campur tangan Rusia. Proses pemakzulan yang berawal dari pembicaraan dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky, sudah disetujui DPR AS pada 18 Desember 2019 lalu. Lalu, sejauh mana isu pemakzulan memengaruhi Trump di ajang pemilihan presiden 2020 nanti?
Menyikapi proses pemakzulan Trump, publik AS terbelah antara mendukung dan menolak. Pengumpulan opini publik ABC News/Washington Post yang dirilis pada 17 Desember 2019, menyebutkan sebanyak 49 persen responden menyetujui bahwa Trump harus dimakzulkan. Lainnya, sebanyak 46 persen menyatakan tidak perlu.
Jajak pendapat lain yang dilakukan Gallup pada 2-15 Desember 2019 mencatat dukungan publik untuk proses pemakzulan Trump mencapai 46 persen. Masih lebih banyak responden yang menyatakan tidak perlu.
Survei opini publik yang dilakukan Gallup juga masih merekam denyut popularitas Trump. Walau diterpa isu pemakzulan, Trump masih memiliki modal popularitas. Setidaknya dukungan tersebut datang dari pemilih Partai Republik, parpol tempatnya bernaung.
Hasil jajak pendapat Gallup mencatat Donald Trump merupakan tokoh yang paling dikagumi tahun 2019. Selain Trump, tokoh yang juga dikagumi adalah Barrack Obama.
Sejak 1948, setiap akhir tahun Gallup melakukan survei opini publik kepada warga Amerika untuk menyebutkan siapa tokoh yang paling mereka kagumi. Di tahun politik kali ini, membuat pilihan masyarakat Amerika untuk tokoh pria yang paling dikagumi juga terbelah menurut garis partai politik. Sebanyak 41 persen pemilih Partai Demokrat menunjuk Obama, sementara 45 persen dari Partai Republik memilih Trump.
Polemik pilpres
Masih terjaganya popularitas Trump di tengah isu pemakzulan menjadi modal politik bagi Trump menjelang pemilihan presiden 2020. Karena jika ditarik mundur ke belakang, bukan kali ini saja Trump menghadapi gejolak pemakzulan.
Sebelumnya, sejak dilantik sebagai presiden, Trump menghadapi polemik kemenangannya di Pemilihan Presiden 2016 terkait dugaan keterlibatan Rusia. Berarti sudah lebih dari tiga tahun Trump menghadapi goncangan kredibilitasnya.
Hingga tahun lalu, kasus skandal Rusia tersebut masih menemani Trump. Harian The New York Times di awal tahun 2019 memberitakan keputusan Biro Investigasi Federal AS (FBI) membuka penyidikan kontra intelijen untuk mengungkap sejauh mana Trump bekerja sama dengan Rusia (11/1/2019).
Mengakhiri triwulan pertama 2019, energi Trump tetap ditarik ke pusaran kasus pemilihan presiden 2016 lalu. Ketua Tim Penyidik Khusus, Robert Mueller menyerahkan laporan penyelidikan yang dilakukan ke Jaksa Agung AS William Barr (22/3/2019).
Tim penyidik menyimpulkan adanya campur tangan Rusia dalam Pilpres AS 2016. Laporan penyidikan yang dikenal dengan Mueller Report ini juga menyatakan, tidak dapat disimpulkan bahwa tim kampanye Trump melakukan koordinasi dengan Rusia.
Selanjutnya, walaupun ditemukan beberapa bukti bahwa Presiden Trump melakukan beberapa tindakan selama investigasi, ujung penyelidikan tidak sampai pada kesimpulan bahwa Presiden Trump menghalangi proses hukum (obstract justice).
Keep America Great
Hingga pertengahan 2019, aktivitas Trump masih dalam pusaran politik pemilihan presiden. Namun, jika pada awal tahun hingga triwulan pertama isunya lebih pada dugaan kecurangan pada Pilpres 2016, mulai pertengahan tahun, fokus politiknya bergeser ke Pilpres 2020.
Pada Juni 2019, Trump mulai berkampanye untuk pencalonan kembali sebagai presiden AS dari Partai Republik periode 2020-2024. Dalam kampanye perdana di Florida tersebut, Trump berpidato meyakinkan keberhasilan kepemimpinannya kepada pendukungnya,
Jajak pendapat Gallup mencatat Donald Trump merupakan tokoh yang paling dikagumi tahun 2019.
Di tengah ancaman resesi ekonomi dunia, kinerja ekonomi AS di bawah Trump memiliki pondasi cukup kuat hingga triwulan III-2019. Pertumbuhan ekonomi pada 2019 tersebut di atas prediksi pasar yang memperkirakan ekonomi AS hanya tumbuh 2,2 persen.
Demikian juga dengan tingkat pengangguran dan inflasi. Angka pengangguran turun dari 4 persen pada Januari 2019 ke 3,8 persen pada Maret 2019 (Kompas, 10/5/2019).
Trump menjual gagasannya di pilpres tahun depan bertajuk “Keep America Great” melanjutkan idenya 2016 silam, Membuat Amerika Berjaya Lagi. Pada pemilihan presiden November 2020 mendatang, Trump akan bersaing dengan sejumlah kandidat. Dari kubu Partai Demokrat, setidaknya muncul 28 nama calon kandidat termasuk mantan Wakil Presiden AS Joe Bidden, Senator Elizabeth Warren, dan senator Bernie Sanders.
Ukraina
Salah satu kandidat yang diperhitungkan Trump adalah Joe Biden, politisi senior berusia 76 tahun. Biden, yang mengumumkan pencalonan dirinya pada 25 April 2019, merupakan wakil presiden dua periode pada era Presiden Barack Obama.
Radar Trump menjelang tahun politik mengarah ke sosok Joe Biden. Laporan seorang pengungkap aib membeberkan perbincangan antara Trump dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky. Isinya, Trump meminta Zelensky untuk mengusut dugaan korupsi yang melibatkan Hunter Biden, putra Joe Biden.
Permintaan Trump kepada Presiden Ukraina menjadi bola panas di gedung parlemen. Ketua DPR AS Nancy Pelosi mengumumkan upaya resmi pemakzulan yang digalang Partai Demokrat terhadap Presiden Donald Trump, Selasa (24/9/2019). Trump disebut ”mengkhianati sumpah jabatan, mengkhianati keamanan nasional, dan mengkhianati integritas pemilu”.
Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat memulai pembahasan untuk menyusun naskah tentang pemakzulan terhadap Presiden Donald Trump.
DPR menyatakan telah menemukan bukti dugaan pelanggaran yang dilakukan Trump. Bukti itu didapat dalam penyelidikan oleh komite intelijen. Dalam pemungutan suara (3/12/2019), komite memutuskan menerima risalah itu. Selanjutnya, Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat mendakwa Trump menyalahgunakan kewenangan (18/12/2019).
Isu hangat
Sepanjang 2019 hingga awal 2020, atribut Trump tidak lepas dari isu pemilihan presiden. Padahal di luar itu, beberapa peristiwa terjadi di seputar Trump. Selain perang dagang AS-China, Trump tercatat juga menerapkan tarif impor pada Perancis, Brasil, dan Argentina.
Trump juga menjatuhkan sanksi tarif impor atas produk ekspor Uni Eropa senilai 7,5 miliar dollar AS. Kebijakan ini merespon sengketa subsidi empat negara Eropa anggota konsorsium produsen pesawat Airbus (Perancis, Inggris, Jerman, dan Spanyol) terhadap Airbus.
Kebijakan lain, Trump mulai menarik militer AS dari Suriah pada Oktober 2019. Alasannya, perang dengan kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) di Suriah sudah berakhir.
Trump juga menandatangani undang-undang yang mendukung hak asasi manusia di Hong Kong. Undang-undang AS tersebut memberikan mandat pengenaan sanksi terhadap pejabat China dan Hong Kong yang melakukan pelanggaran hak asasi manusia di Hong Kong.
Awal tahun ini, relasi ketegangan Amerika Serikat dengan Iran juga meningkat setelah meninggalnya tokoh militer Iran, Qassem Soleimani, oleh serangan rudal AS. Kejadian tersebut berpotensi memicu konflik terbuka dengan Iran.
Walaupun banyak peristiwa di dalam dan luar negeri, mengawali hari-hari baru di 2020, pemakzulan merupakan isu besar yang harus dihadapi Trump. Dakwaan pemakzulan terhadap Presiden Trump yang sudah disetujui DPR AS tinggal menunggu proses di Senat AS. Trump dituduh menyalahgunakan kekuasaan dan upaya menghalangi Kongres dalam penyelidikan terkait pemakzulan ini.
Pemilihan presiden Amerika Serikat akan berlangsung kurang dari 10 bulan lagi. Ada atau tidak adanya pemakzulan, sesungguhnya tidak terlalu berpengaruh bagi pemerintahan Trump yang juga akan berakhir. Namun, keinginan Trump mencalonkan kembali sebagai kandidat presiden mendatang, menjadikan isu pemakzulan akan terus hangat hingga menjelang pemilihan November 2020 mendatang. (Litbang Kompas)