Ironi Pajak dan Dana Penanggulangan Banjir
Peran pajak sektor properti dari masyarakat Ibukota, sangat besar andilnya bagi pembangunan DKI Jakarta. Ironisnya, hampir setiap tahun warga Ibukota merasakan banjir yang merendam rumah dan tempat usaha mereka.
Kerugian akibat banjir selalu menjadi momok bagi warga Jakarta dari tahun ke tahun. Warga Ibukota yang telah berkontribusi mengisi mayoritas pendapatan asli daerah DKI Jakarta melalui pajak, justru mengalami kerugian terbesar akibat banjir.
Mengenakan kaos biru bergaris putih, celana pendek jin, dan sepatu bot, figur publik Yuni Shara berpose di kediamannya yang tengah dilanda banjir. Foto yang diunggah Yuni melalui akun media sosialnya ini lantas membuat ramai dunia maya.
Banjir Jakarta di awal tahun kali ini memang berdampak hampir ke semua lapisan masyarakat. Tak terkecuali rumah mewah Yuni yang terletak di kawasan Ragunan, Jakarta Selatan ini. Pelantun lagu “50 Tahun Lagi” ini termasuk dari 31.232 warga Jakarta catatan BPBD yang terpaksa mengungsi.
Kondisi ini mengindikasikan tingkat kenyamanan warga tinggal di ibukota belum sepenuhnya terjamin. Ancaman banjir beserta dampak kerugiannya terus menghantui warga. Sebelumnya banjir besar serupa juga pernah terjadi di Jakarta tahun 2013, 2007, dan 2002.
Selain menimbulkan kerusakan di sektor perumahan, banjir juga berdampak di sektor infrastruktur, sosial, dan produktif. Kerusakan di sejumlah sektor ini turut menggangu aktivitas sehari-hari warga. Contohnya kerusakan armada-armada busway yang mempengaruhi mobilitas transportasi publik. Juga kerusakan sekolah, puskesmas, rumah sakit, hingga pasar.
Pendapatan Daerah
Jika menengok besarnya andil warga dalam menyokong pendapatan daerah, sudah sepatutnya mereka juga mendapatkan pengembalian manfaat atas aset-aset yang telah dikenakan pajak. Bentuk pengembalian manfaat itu tentu saja tidak harus bersifat langsung, namun bermanfaat bagi kesejahteraan warga.
Salah satu wujud pengembalian pajak itu adalah pemeliharaan berbagai sarana, termasuk pencegahan banjir. Terlepas dari faktor lain di luar kendali pemerintah DKI Jakarta seperti kondisi cuaca ekstrem atau banjir kiriman, kondisi sungai dan bantarannya, serta kawasan resapan maupun selokan idealnya selalu terpelihara optimal.
Dalam konteks ini, idealnya pemerintah, khususnya Pemprov DKI Jakarta, mempunyai tanggung jawab lebih untuk mewujudkannya. Apalagi, mayoritas pendapatan asli daerah (PAD) DKI Jakarta berasal dari sektor pajak ini.
Kementerian Keuangan mencatat PAD Jakarta tahun 2018 mencapai Rp 43,33 triliun dan 86,64 persen diantaranya sebesar Rp 37,54 triliun berasal dari pajak. Angka inipun meningkat dari tahun sebelumnya. Dari total PAD tahun 2017 sebesar Rp 43,9 triliun, porsi penerimaan pajaknya baru 83,14 persen.
Penerimaan pajak di DKI Jakarta ini didominasi Pajak bumi dan bangunan (PBB). Tahun 2018 lalu Pemprov DKI berhasil mengumpulkan pajak di sektor ini hingga Rp 8,89 triliun atau setara 23,7 persen dari total pajak. Selanjutnya disusul pajak kendaraan bermotor (22,8%), bea balik nama kendaraan bermotor (14,3%), serta bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) (12,5%).
Tingginya penerimaan PBB tidak lepas dari penetapan nilai jual objek pajak bumi dan bangunan (NJOP) di Jakarta yang juga terbilang tinggi. Contohnya NJOP tanah di kawasan Ragunan tahun 2017 berkisar antara Rp 2,8 juta hingga Rp 17,5 juta per m². Tanpa pembebasan PBB, jika ditarik nilai tertinggi untuk tanah 200 m² saja, pajak yang harus dibayarkan berkisar Rp 3,5 juta per tahun.
Di balik tingginya penerimaan PBB dan BPHTB, aset dari pajak ini justru tercatat masih banyak tergenang banjir. Terlihat dari 158 kelurahan di Jakarta yang terdampak di banjir awal tahun ini. Belum lagi kendaraan bermotor warga yang juga ikut tergenang dan mengalami kerusakan. Selain tanah dan bangunan, aset ini juga menyumbang pajak tertinggi untuk pemprov DKI.
Dalam kondisi ini selain membayar pajak, warga kembali harus menanggung dana ekstra untuk perbaikan aset-asetnya. Menengok banjir tahun 2007 silam, terdapat 89.770 unit rumah di Jakarta yang terendam dengan kisaran kerugian Rp 695,7 miliar. Artinya jika dirata-rata, setiap unit rumah yang terdampak mengalami kerugian hingga Rp 7,8 juta.
Baca juga: Dilema Anggaran Berujung Kerugian Besar
Anggaran Intensif Banjir
Pendapatan pajak yang tinggi di DKI Jakarta justru tidak dibarengi alokasi anggaran banjir yang memadai. Contohnya ketika banjir tahun 2013. APBD tahun itu, Pemprov DKI Jakarta menganggarkan Rp 1,5 triliun untuk penganggulangan banjir. Angka ini hanya setara 6,4 persen dari total penerimaan pajak daerah sebesar Rp 23,4 triliun di tahun yang sama.
Sementara ketika banjir besar tahun 2007, kondisinya sedikit lebih baik. Tahun itu anggaran antisipasi banjir yang ditetapkan Pemprov DKI mencapai Rp 1,2 triliun. Meski besarannya lebih kecil dibanding tahun 2007, angka ini memiliki porsi lebih besar. Angka ini setara dengan 16,7 persen dari total penerimaan pajak kala itu sebesar Rp 7,2 triliun.
Kondisi ini tidak selaras dengan tugas utama pemerintah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Diketahui pajak sebagai salah satu sumber dana yang diterima pemerintah sudah selayaknya dikembalikan kepada masyarakat. Dan semakin banyak pemasukan atas pajak, maka seharusnya semakin banyak pula pembangunan untuk masyarakat yang diupayakan pemerintah.
Upaya peningkatan kesejahteraan ini dapat diimplementasikan dalam berbagai macam program. Salah satunya program penganggulangan bencana seperti banjir yang tercatat rutin terjadi di DKI Jakarta. Ketika program ini tidak dimaksimalkan pemerintah, penurunan kesejahteraan masyarakat menjadi tumbalnya.
Seperti halnya ketika banjir Jakarta yang turut berdampak serius pada sektor produktif. Sektor yang identik dengan DKI Jakarta. Hingga tahun 2018, struktur kegiatan ekonomi terbesar DKI Jakarta berasal dari perdagangan besar dan eceran senilai Rp 276,06 triliun (15,9 %). Kemudian disusul industri pengolahan (12,7 %), konstruksi (12,4 %), dan informasi dan komunikasi (10,9 %).
Baca juga: Tantangan Meningkatkan Kualitas Keuangan Daerah
Kembali menengok dampak kerugian banjir Jakarta tahun 2007. Sektor usaha dan perdagangan yang mendominasi kegiatan ekonomi Jakarta juga terdampak besar. Total kerusakan dan kerugiannya mencapai Rp 2,8 triliun. Angka ini mencakup semua kawasan Jabodetabek. Meski tidak spesifik DKI Jakarta, angka ini tetap menggambarkan betapa besarnya dampak banjir terhadap kegiatan ekonomi yang terpusat di Jakarta.
Bagaimana tidak, kerugian ini setara dengan 13,5 persen dari total APBD DKI 2013 sebesar Rp 20,68 triliun. Angkanya bahkan dua kali lebih dari anggaran penanggulangan banjir yang ditetapkan pemerintah tahun itu. Kondisi inipun mengganggu kesejahteraan warga DKI melalui pengeluaran dana perbaikan demi tetap mengepulkan usahanya.
Kewajiban membayar pajak memang kerap kali menjadi beban warga. Namun sebaliknya ketika kewajiban itu dipenuhi, sudah seharusnya hak warga juga dijamin. Dan ini merupakan tugas pemerintah untuk mengupayakannya. Sebab semakin banyak pajak yang diterima, sudah selayaknya kian banyak juga program pemerintah demi peningkatan kesejahteraan masyarakat. (Litbang Kompas)