Melihat Kembali Ancaman Virus Di Indonesia
Kewaspadaan tinggi terhadap berbagai virus berbahaya dari luar Indonesia patut dilakukan mengingat Indonesia pernah menjadi daerah endemik flu burung, difteri ataupun kolera yang menimbulkan banyak korban jiwa.
Virus Korona sedang mewabah di China. Pemerintah Indonesia menyiapkan sejumlah langkah antisipasi pencegahan. Belajar dari pengalaman sebelumnya, sejumlah virus berbahaya seperti Flu Burung, Zika, Mars dan Sars pernah mengancam Indonesia dengan beberapa diantaranya menimbulkan korban jiwa.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) awal bulan lalu melaporkan 41 kasus infeksi virus korona tipe baru (novel coronavirus) yang ditemukan di kota Wuhan, China. Setelah itu, Kementerian Kesehatan RI mengeluarkan sejumlah langkah antisipasi penularan. Diantaranya, mengaktifkan pemindah suhu tubuh (thermal scanner) di beberapa pintu masuk orang asing seperti bandara.
Meskipun virus Korona ditemukan di Wuhan, China, virus tersebut mungkin saja menginfeksi orang Indonesia yang berkunjung ke China ataupun wisatawan China yang masuk ke Indonesia. Setiap hari ada 4.500 s/d 6.000 penumpang dari China melalui Bandara Soekarno Hatta (Kompas, 22/01/2020).
Pemerintah menghimbau masyarakat yang hendak bepergian ke China untuk tetap mengikuti perkembangan informasi dari otoritas kesehatan setempat mengingat Indonesia beberapa kali pernah terjadi wabah virus berbahaya. Berikut sejumlah kasus serangan virus menonjol yang pernah menyerang Indonesia.
Flu Burung
Wabah Avian Influenza atau lebih dikenal Flu Burung di Indonesia disebabkan oleh virus subtipe H5N1. Virus flu burung di Indonesia awalnya hanya menyerang hewan jenis unggas seperti burung, ayam atau bebek. Namun dalam perkembangannya, saat virus bermutasi, bisa menular ke manusia.
Kemunculan penyakit flu burung ini mengutip laporan Bappenas, pertama kali dilaporkan di beberapa peternakan unggas di Jawa Tengah, Agustus 2003. Pada tahun 2011, virus yang menyerang unggas tersebut telah terdeteksi di semua provinsi.
Kasus pertama fatalitas akibat flu burung pada manusia di Indonesia ditemukan pada Juni 2005 di Kabupaten Tangerang. Sabrina (7) mendapat perawatan di RS Siloam Karawaci. Dua pekan kemudian disusul adiknya Talita (1) yang menderita demam tinggi. Keduanya meninggal setelah enam hari dirawat. Selang beberapa saat kemudian menyusul sang ayah, Iwan Siswara demam tinggi dan menyusul meninggal.
Kasus meninggalnya bapak dan dua anak tersebut tentu mengejutkan masyarakat luas, karena keluarga berasal dari kelas menengah dan tidak berhubungan langsung dengan unggas. Sang bapak yang sempat bepergian ke luar negeri juga tidak mengunjungi peternakan tertentu.
Setelah kematian satu keluarga tersebut, menyusul muncul 17 kasus lainnya di berbagai tempat di Indonesia. Dari 20 kasus tersebut, 13 penderita tercatat meninggal dunia. Penyakit flu burung mencapai puncaknya pada 2006. Saat itu ditemukan 55 kasus dan 45 penderita meninggal dunia.
Hingga September 2017 menurut catatan Kemenkes, penderita Flu burung telah menjadi 200 kasus dan tersebar di 15 provinsi dan 59 kabupaten/kota. Diantaranya, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Lampung, Sumatera Selatan, Riau, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Bali, DI Yogyakarta, Bengkulu, dan NTB.
Terdapat 17 klaster keluarga dengan jumlah penderita 41 dengan 27 diantaranya meninggal. Para pasien tersebut tersebar di 7 provinsi, yakni Sumatera Utara, Sumatera Barat, Lampung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur.
Saat itu, virus ini sangat menghebohkan karena tingkat fatalitas yang diakibatkannya. Masyarakat menjadi waspada dengan gejala seperti demam, menggigil, tubuh sakit, sakit kepala, tenggorokan, batuk kering, diare berair.
Pada awalnya, pola penularan virus sempat menimbulkan kebingungan para ahli kesehatan. Namun pada akhirnya, pola penularannya pun terlihat. Menurut laporan WHO “Emerging Infectious Diseases and Zoones (2014), penularan bisa dari kontak langsung ataupun tak langsung dengan unggas yang sakit ataupun mati. Selain itu, penularan terjadi melalui udara, saat penderita batuk dan menulari orang sekitarnya.
Pemerintah bekerja keras menangani penyebaran virus tersebut hingga akhirnya ditemukan obat Oseltavimir untuk menangkal virus tersebut. Perlahan, jumlah penderita terus menurun hingga tahun 2015 tersisa 2 kasus.
Namun pada 2017, kasus flu burung muncul kembali. Seorang anak berusia 4 tahun meninggal karena flu burung. Tiga warga lainnya juga sempat menjadi suspect virus mematikan ini. Tercatat, anak dari desa Nusa Penida, Bali ini menjadi korban ke-200 flu burung di Indonesia.
MERS
Reda penyakit flu burung, pada tahun 2013 muncul penyakit sindrom pernapasan lainnya, yakni Mers. Penyakit singkatan dari Middle East Respiratory Syndrom Corona Virus, ini berasal dari virus jenis baru Novel Corona Virus.
Kasus ini dilaporkan menyerang manusia pertama kali pada Desember 2013. Virus jenis baru ini dilaporkan telah terjadi di 11 negara di Timur Tengah, Afrika Utara, dan Eropa. Untuk kasus-kasus yang dilaporkan di luar Timur Tengah, terkait dengan masyarakat yang melakukan perjalanan ke wilayah tersebut.
Penularan virus ini berasal dari unta dan bisa menular ke manusia. Selain itu, juga bisa menular antar manusia melalui kontak langsung, seperti percikan dahak atau ingus saat batuk atau bersin. Sedangkan penularan tak langsung terjadi saat ada kontak dengan benda yang terkontaminasi virus.
Hingga tahun 2018, WHO menyatakan Sindrom pernapasan Timur Tengah (MERS) ini telah terjadi sebanyak 790 kasus. Meski demikian, belum ada laporan warga Indonesia yang positif terkena virus ini.
Hanya saja, pada Mei 2014, ada lima pasien yang diduga mengidap MERS. Lima pasien di Padang dan Sulawesi Tenggara tersebut menderita gejala flu dan gangguan pernapasan setelah kembali dari ibadah Umroh di Arab Saudi. Hanya saja, dari hasil pemeriksaan, hasilnya negatif.
Virus ini berpotensi untuk masuk ke Indonesia dengan banyaknya masyarakat Indonesia yang melakukan ibadah Umrah dan Haji di Arab Saudi. Kementerian Kesehatan mengeluarkan sejumlah langkah pencegahan bagi para Jemaah haji dan umroh.
Diantaranya, menggunakan masker jika sakit dan saat berada di keramaian. Kemudian menjaga kebersihan tangan, membatasi kontak langsung dengan unta, serta selalu mengonsumsi makanan dan minuman yang dimasak dengan baik.
ZIKA
Penyakit Zika berbeda dengan Flu burung dan MERS. Penyakit ini disebabkan oleh virus dari genus Flavivirus dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes Ageypti. Menurut “Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Zika” yang diterbitkan Kementerian Kesehatan, virus ini diketahui pertama kali menginfeksi manusia pada 1952 di Uganda dan Tanzania.
Selain ditularkan melalui nyamuk, zika juga ditularkan melalui hubungan seksual, hubungan vertikal (dari ibu ke anak), serta tranfusi darah.
Setelah diketahui ada hubungan antara peningkatan infeksi virus zika dengan kejadian mikrosefalus pada bayi baru lahir, maka WHO pada 1 Februari 2016 menetapkan penyakit virus Zika sebagai Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang meresahkan (KKMD). Artinya masalah penyakit zika ini menjadi masalah kesehatan masyarakat global yang memerlukan kerjasamana internasional. Namun status tersebut akhirnya dicabut sejak 18 November 2016.
Saat virus ini menyerang negara Singapura, Indonesia segera berupaya menangkalnya. Mengutip laporan Kementerian Kesehatan, Kantor Kesehatan Pelabuhan baik di Bandara ataupun di pelabuhan Batam memperketat pengawasan melalui pembagian Health Alert Card (HAC) kepada masyarakat yang masuk ke Indonesia.
Meski demikian penyakit Zika yang memiliki gejala mirip dengan demam berdarah ini tidak menyebabkan kematian. Zika adalah penyakit yang bisa sembuh sendiri (self healing disease).
Hingga wabah Zika mereda di Singapura, tidak ada penderita Zika di Indonesia. Adapun 1 kasus yang pernah ditemukan di Jambi didasarkan dari laporan Lembaga Eijkman. Laporan ini dibuat setelah dilakukan penelitian oleh Eijkman ketika terjadi KLB DBD di Jambi pada tahun 2014.
Kewaspadaan tinggi terhadap berbagai virus berbahaya dari luar Indonesia patut dilakukan mengingat Indonesia pernah menjadi daerah endemik flu burung, difteri ataupun kolera yang menimbulkan banyak korban jiwa. Meski demikian tidak perlu terlalu resah menanggapi kewaspadaan pemerintah tersebut. Menjaga kebersihan diri dan lingkungan bisa dilakukan untuk mengurangi resiko penularan berbagai virus yang sekarang telah bermutasi dalam berbagai jenis. (M. Puteri Rosalina/Litbang Kompas)