Banjir dan Gaya Hidup Minimalis
Preferensi gaya hidup masih jarang diulas dalam konteks bencana. Banjir di Jakarta awal tahun ini bisa menjadi momentum untuk kembali mempertanyakan, apakah gaya hidupku sudah sesuai dengan wilayah di mana aku tinggal?
Preferensi gaya hidup masih jarang diulas dalam konteks bencana. Banjir di Jakarta, awal tahun ini, bisa menjadi momentum untuk kembali mempertanyakan, apakah gaya hidupku sudah sesuai dengan wilayah di mana aku tinggal?
Seni dalam memilih barang menjadi satu gaya hidup tersendiri. Sebagian orang cenderung membeli banyak barang, asal memenuhi satu fungsi dan murah. Sementara sebagian lain memilih membeli sedikit barang, asal multifungsi dan berkualitas. Saat banjir datang, barang-barang yang kita miliki di dalam rumah mulai menunjukkan jati dirinya. Antara tetap berguna atau justru menjadi beban.
Sejarah mencatat, banjir bukan hal yang asing bagi Jakarta. Kisah penggalian sungai Candrabhaga dan sungai Gomati untuk mengatasi persoalan banjir pada abab ke-5 tercantum dalam Prasasti Tugu Kerajaan Tarumanegara yang ditemukan di Kecamatan Koja, Jakarta Utara.
Pada masa kolonial, Jakarta yang saat itu disebut Batavia pernah dirundung banjir pada 1621, 1654, 1872, 1876, 1893, dan 1918. Banjir pada 1918 disebut terjadi selama dua bulan dan merendam hampir seluruh wilayah Batavia. (Kompas, 11 Januari 2020)
Sementara pada masa kemerdekaan, banjir besar beberapa kali terjadi pada tahun 1976, 1984, 1994, 1996, 1997, dan 1999. Memasuki milenium baru, banjir juga masih menjadi bencana langganan di ibu kota. Banjir tercatat terjadi pada 2007, 2008, 2014, dan terakhir pada akhir 2019 lalu tepat di malam pergantian tahun.
Berdasarkan hasil pantauan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), curah hujan di Jakarta dan sekitarnya terukur ekstrem dengan intensitas tertinggi 377 milimeter per hari sejak 31 Januari 2019. Banjir menyebabkan perumahan, perkantoran, dan akses jalan terendam banjir. Banjir bahkan melanda daerah-daerah yang tidak terbiasa terkena dampak curah hujan tinggi. Hingga Rabu (08/01) dilaporkan banjir masih menggenangi sebagian wilayah di Kalideres, Jakarta Barat. (Kompas, 9 Januari 2020)
Tidak hanya di Jakarta, banjir juga menjadi bencana laten di seluruh wilayah Indonesia. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menghitung telah terjadi 343 kejadian pada tahun 2019 di seluruh Indonesia. Jumlah ini lebih sedikit dari dua tahun sebelumnya yang mencapai 978 kejadian.
Banjir telah menjadi bencana purba yang datang berkali-kali, namun selalu mengejutkan bagi warga ibu kota. Salah satu yang paling menyedihkan setelah banjir surut adalah rusaknya perabotan rumah tangga, kendaraan bermotor, dan barang berharga lainnya yang terlanjur terendam banjir.
Banjir telah menjadi bencana purba yang datang berkali-kali, namun selalu mengejutkan bagi warga ibu kota.
Pemerhati ekonomi, Joice Tauris Santi, dalam kolom opini berjudul “Banjir, Tengok Lagi Asuransi Kerugian” dalam Kompas edisi 6 Januari 2020 menyebutkan, asuransi rumah standar yang mencakup bangunan dan isinya biasanya tidak memproteksi kerugian karena banjir.
Perlindungan terhadap banjir merupakan perlindungan tambahan (perluasan) dengan premi yang lebih mahal. Hal ini juga berlaku pada kendaraan bermotor. Dua jenis perlindungan besar seperti all risk dan total lost only dianggap tidak cukup untuk melindungi mobil atau motor dari bencana. Pada akhirnya memiliki asuransi pun tidak cukup membebaskan diri dari rasa khawatir pada barang yang kita miliki.
Melirik Minimalisme
Memiliki barang di daerah dengan potensi bencana banjir yang tinggi seperti di Jakarta dan sekitarnya menjadi perlu dipertimbangkan lagi. Bagaimana baiknya memiliki barang di daerah bencana?
Dalam kondisi siap siaga bencana, memilih barang yang tepat guna untuk hunian menjadi keniscayaan. Dua penulis Jepang, Mai Yururi dan Fumio Sasaki sama-sama meyakini, minimalisme adalah gaya hidup yang tepat diterapkan di daerah bencana. Jepang yang memiliki risiko tinggi diterjang tsunami dan gempa, turut mengilhami gaya minimalisme keduanya.
Mai Yururi (2016) dalam esai komiknya Watashi No Uchi Niwa Nanimo Nai menggambarkan kesedihan keluarga di Jepang yang nelangsa karena tidak sempat menyelamatkan barang-barang berharganya saat terjadi gempa. Kesedihan atas kehilangan barang menjadi bencana kedua setelah bencana gempa itu sendiri.
Sementara itu, Fumio Sasaki (2018) dalam buku Goodbye, Things: Hidup Minimalis ala Orang Jepang menyarankan untuk memiliki barang-barang yang benar-benar dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Jika tidak terlalu dibutuhkan, maka lebih baik menyewa atau meminjam. Sedikit barang akan memperluas ruang gerak, sehingga meningkatkan mobilitas yang akan berguna saat keadaan gawat.
Gayung bersambut, semangat untuk mengurangi kepemilikan barang ini tidak hanya terjadi di Jepang. Di London, sebuah kolektif membangun perpustakaan di mana orang bisa meminjam barang-barang yang jarang digunakan.
Pada 2016, tiga sekawan dari West Norwood, London Selatan, Inggris menginisiasi sebuah perpustakaan yang inovatif. Alih-alih meminjamkan buku, perpustakaan ini justru meminjamkan perkakas rumah tangga. Peralatan kebersihan, perabotan rumah tangga, peralatan pertukangan, dan lainnya disewakan dengan harga yang murah. Motto dari perpustakaan bernama Library of Things ini adalah “lebih baik meminjam daripada membeli.”
Salah satu pendirinya, Rebecca Trevalyan, menyampaikan tujuan dari konsep ini adalah agar setiap orang dapat menggunakan manfaat dari sebuah barang dengan ongkos yang murah. Konsep ini berbasis komunitas yang mengusung semangat untuk mengurangi sampah akibat konsumerisme, menyiasati ruang hunian yang sempit di perkotaan, hingga menurunkan tingkat stres. Pada 2017, Library of Things mendapatkan dukungan dana dari 300 warga lokal di London dan Wali Kota London untuk memperluas jangkauan.
Baca juga: Minimalisme Sedang Populer, Tepatkah untuk Kita?
Sayangnya, inovasi semacam ini belum digagas di Indonesia. Model jasa peminjaman yang muncul baru seputar dunia mode, seperti jasa peminjaman baju untuk sehari-hari. Salah satu usaha rintisan asal Singapura, Style Theory, mulai hadir di Indonesia pada 2017 yang disambut dengan usaha-usaha di bidang yang sama.
Model pinjam-meminjam barang di sisi lain juga dapat menekan produksi sampah perabotan rumah tangga. Apalagi, saat ini kapasitas tempat pembuangan akhir (TPA) yang ada sudah tidak mampu lagi menampung sampah harian warga Jakarta.
Model pinjam-meminjam barang di sisi lain juga dapat menekan produksi sampah perabotan rumah tangga.
Misalnya saja, menurut data dari dokumen Kinerja Lingkungan Hidup Daerah DKI Jakarta 2018, masyarakat menghasilkan sampah padat sebanyak hampir 15.000 ton per hari. Sementara TPA Bantargebang sebagai hilir sampah warga Jakarta hanya mampu mengumpulkan separuh produksi sampah harian penduduk, yaitu sekitar 7.500 ton sampah per hari.
Kondisi geografis di Jakarta dan sekitarnya yang rawan banjir harus dimasukkan dalam poin pertimbangan dalam menata dan mengisi hunian. Setidaknya, barang-barang harus dipilih berdasarkan fungsi, kualitas, dan kegunaan dalam kehidupan sehari-hari. Gerakan saling meminjam barang mungkin layak untuk dicoba di daerah perkotaan seperti Jakarta. Jadi, mau mencoba ? (Arita Nugraheni/Litbang Kompas)