Hampir seluruh lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan di negeri ini mengalami kelebihan penghuni. Kondisi ini memicu banyak persoalan yang harus segera diatasi pemerintah.
Oleh
Ida Ayu Grhamtika Saitya
·5 menit baca
Hampir seluruh lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan di negeri ini mengalami kelebihan penghuni. Kondisi ini memicu banyak persoalan yang harus segera diatasi pemerintah. Evaluasi terhadap ancaman pidana juga harus dilakukan agar tak membuat keadaan semakin memburuk.
Hasil jajak pendapat menunjukkan sebanyak 64,9 persen responden menilai saat ini penjara di Indonesia sudah terlalu penuh. Pendapat ini sejalan dengan data di Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM. Per 22 Januari 2020 terdapat 264.762 narapidana dan tahanan yang berada di lapas dan rutan yang tersebar di 33 provinsi di Indonesia.
Jika ditelisik lebih jauh berdasarkan wilayah, Sumatera Utara menjadi provinsi dengan jumlah penghuni terbanyak, yakni 34.336 orang. Di lima besar jumlah penghuni terbanyak disusul oleh Jawa Timur, Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Sumatera Selatan.
Hal yang mengejutkan adalah 29 dari 33 provinsi mengalami kelebihan penghuni. Hanya empat provinsi yang tidak mengalami hal serupa, yakni Papua Barat, Maluku Utara, Sulawesi Barat, dan DI Yogyakarta. Jumlah penghuni dan kapasitas di rutan dan lapas di Papua Barat seimbang. Sementara di tiga provinsi lainnya jumlah penghuni juga sudah hampir penuh.
Jika dibandingkan antara jumlah penghuni dan kapasitas, maka Kalimantan Timur adalah yang tertinggi dengan 348 persen over capacity. Bayangkan saja, terdapat 12.740 penghuni di lapas dan rutan di wilayah tersebut, namun kapasitasnya hanya untuk 3.586 orang.
Kelebihan kapasitas yang sangat tinggi juga terjadi di DKI Jakarta sebanyak 310 persen. Jumlah penghuni tercatat 17.979 orang, sedangkan kapasitasnya untuk 5.791 orang saja. Selanjutnya di lima besar berturut-turut adalah Riau, Kalimantan Selatan, dan Sumatera Utara.
Overcrowded di penjara menimbulkan penyimpangan dan banyak permasalahan. Fakta yang tak terbantahkan ini membuat lapas dan rutan sangat sesak dibarengi dengan lingkungan yang buruk. Kualitas hidup, potensi konflik, pungli, dan belajar mengenai kejahatan baru terjadi di sana.
Tahun 2017 saja terjadi dua kerusuhan. Pertama, di Lapas Kelas II A Jambi. Kapasitas yang hanya untuk 350 napi, namun dihuni 1.442 napi. Layanan lapas menjadi tidak optimal, ketersediaan air yang tidak cukup membuat sanitasi buruk. Hal ini diperparah dengan jumlah petugas yang hanya 105 orang dengan demikian satu petugas harus mengurus 200 narapidana. (Kompas 3/3/2017)
Kedua, kelebihan penghuni juga menjadi akar masalah kerusuhan di Rutan Sialang Bungkuk, Pekanbaru. Penyebabnya adalah ruangan yang melebihi kapasitas dan diperparah kesalahan manajemen. Rutan ini idealnya menampung 316 orang, namun faktanya diisi 1.870 orang. Tidak ada sekat di rutan yang mampu menahan gempuran, sehingga mudah dibobol. Ketika terjadi kerusuhan ratusan tahanan dan napi dapat kabur dengan mudahnya. (Kompas 8/5/2017)
Pidana Penjara
Pidana penjara merupakan salah satu pidana pokok yang ada dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Saat ini pidana penjara diatur sebagai ancaman pidana di berbagai peraturan perundang-undangan.
Data dari Institute For Criminal Justice Reform menunjukkan, selain dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sejak tahun 1998 hingga 2016 terdapat 716 perbuatan yang merupakan tindak pidana baru. Dari angka tersebut, mayoritas (91,34 persen) merupakan tindak pidana dengan sanksi pidana penjara. Sementara 6,28 persen adalah sanksi pidana kurungan.
Nampaknya, negara sangat keranjingan menjebloskan orang ke penjara. Padahal penggunaan hukum pidana yang berlebihan melanggar sifat alami dari hukum pidana itu sendiri atau dikenal dengan ultimum remidium. Artinya, hukum pidana adalah sanksi terakhir atau pamungkas dalam penegakan hukum.
Negara memang bertugas untuk memberantas kejahatan untuk melindungi masyarakat. Walakin, pidana penjara bukanlah solusi untuk mengatasi seluruh kejahatan yang terjadi selama ini. Hingga saat ini terbukti, penjara tidak selalu efektif mengurangi jumlah kejahatan maupun mencegah seseorang untuk mengulangi kejahatan tersebut.
Tidak terbantahkan, seringnya mantan narapidana mengalami kesulitan untuk berintegrasi kembali di masyarakat setelah keluar dari penjara. Penggunaan pidana penjara yang berlebihan melahirkan dampak buruk overcrowding atau lapas dan rutan yang kelebihan penghuni.
Kebijakan pidana penjara juga terdapat pada kejahatan tanpa korban, seperti penggunaan dan kepemilikan narkoba, perjudian, dan penyebaran konten kesusilaan. TIdak itu saja, bahkan di RKUHP terdapat hukuman penjara bagi perempuan yang melakukan aborsi. Overkriminalisasi inilah yang menjadi salah satu faktor penyumbang banyaknya penghuni penjara dan rutan.
Solusi
Tahun 1990 Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan UN Standart Minimum Rules for Non-Custodial Measures atau dikenal Tokyo Rules. Dalam dokumen ini dijelaskan, hukuman non penjara yang efektif dapat mengurangi kondisi penjara yang kelebihan penghuni.
Berguru pada negara lain maka Belanda adalah salah satu contoh yang tepat terkait dengan keberhasilan mengurangi jumlah penghuni di lapas maupun rutan. Hal ini terjadi karena hakim lebih sering menjatuhkan hukuman non penjara kepada terdakwa.
Salah satu bentuk hukuman adalah pelayanan masyarakat. Meski terdapat ketentuan pelayanan masyarakat tidak dapat diberikan kepada pelaku kejahatan serius seperti kejahatan seksual pada anak dan penganiayaan berat. Hukuman ini berupa pekerjaan tanpa upah dan sebagian besar dilakukan pada instansi pemerintah atau swasta yang misalnya terkait dengan perawatan kesehatan.
Hasil jajak pendapat menunjukkan, sebanyak 47,1 persen responden menyatakan kerja sosial adalah hukuman yang lebih baik daripada model penjara seperti saat ini. Sampai sekarang, Indonesia belum pernah melaksanakan pidana berupa kerja sosial maupun pelayanan masyarakat.
Pidana penjara bukanlah solusi untuk mengatasi seluruh kejahatan yang terjadi selama ini
Meski demikian, pidana kerja sosial sudah dirumuskan dalam Rancangan KUHP. Bentuknya berupa pelayanan masyarakat dan dapat dikenakan bagi yang terancam pidana kurang dari lima tahun. Sayangnya, tindak pidana dengan ancaman seperti ini masih sangat minim, sehingga penerapan pidana kerja sosial belum tentu dapat sering dikenakan.
Solusi lainnya yang bisa dilakukan pemerintah adalah melakukan seleksi terhadap perkara pidana yang dapat tidak selalu berujung pada pidana penjara. Terlebih terdapat mekanisme untuk penyelesaian di luar persidangan. Hingga akhirnya, jumlah orang yang masuk ke dalam rutan maupun lapas akan berkurang. (Ida Ayu Grhamtika Saity/ Litbang Kompas)