Kota Pesisir Melawan Banjir
Menghadapi banjir tak cukup hanya dengan upaya teknis, terlebih mengandalkan sistem pengendali banjir warisan Belanda. Pertumbuhan kota pesisir telah mengambil alih daerah konservasi, membuat kegagalan sistem tersebut.
Penanganan banjir dan rob di kota pesisir pantura Jawa tak cukup hanya mengandalkan infrastruktur fisik seperti pembangunan kanal, tanggul, polder, ataupun pompa untuk mengatasi air limpasan banjir.
Jakarta, Semarang, dan Surabaya mengadopsi sistem pengendalian banjir pemerintahan kolonial Belanda, yakni mengalirkan air secepat-cepatnya ke laut. Pembangunan kanal menjadi pilihan utama saat itu. Terbangunlah Kanal Banjir Barat di Jakarta pada 1922, kemudian Kanal Banjir Barat (1879) dan Kanal Banjir Timur (1896) di Semarang.
Adapun di Surabaya, Belanda meluruskan Kali Surabaya menjadi kanal Kali Mas, menuju laut pada 1743. Di Ujung Kalimas, Belanda membangun Pintu Air Jagir untuk mengatur air yang masuk ke kota. Pembangunan kanal tersebut bertujuan untuk melindungi daerah kota dari banjir.
Saat itu Belanda membuat floodway untuk melindungi pusat kota dari kerugian besar karena banjir. Alur pengendali banjir tersebut menurut Kodoatie dalam buku “Banjir, Beberapa Penyebab dan Metode Pengendaliannya” untuk mengurangi debit banjir pada alur sungai lama dan mengalirkan sebagian debit tersebut banjir melalui kanal.
Namun, sistem pengendalian banjir versi Belanda, tidak bisa diterapkan lagi di masa sekarang. Pertumbuhan kota pesisir ke segala arah (urban sprawl) telah mengambil alih daerah konservasi, membuat sistem penanggulangan banjir tersebut tidak efektif.
Di Jakarta, sistem kanal menurut Restu Gunawan dalam Buku “Gagalnya Sistem Kanal (2010)”, tidak berhasil karena topografi Jakarta yang datar sehingga air tidak bisa mengalir secara gravitasi. Selain itu, sedimentasi lumpur dan sampah, menyebabkan aliran air tidak lancar.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air (2012) mengembangkan teknologi pengendalian banjir dan rob, yakni menahan banjir di hulu, menjaga di tengah dan menarik ke hilir serta menjaga agar air dari laut tidak naik ke darat.
Hal yang sama juga diungkapkan Kodoatie (2001), yang mengelompokkan pengendalian banjir menjadi dua bagian. Pertama, di bagian atas, dengan membangun dam pengendali banjir yang dapat memperlambat waktu tiba banjir dan menurunkan besarnya debit banjir serta penghijauan di daerah aliran sungai (DAS). Bagian hilir, dengan melakukan normalisasi sungai dan tanggul, sodetan sungai, pembuatan floodway, dan pembuatan kolam penampungan (retarding basin).
Bendungan
Pembangunan dam pengendali banjir di hulu sebagai prasarana untuk mengurangi limpasan air permukaan. Paparan “Penanganan Pola Drainase Perkotaan (Ditjen Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, 2013)”, menambahkan point untuk melakukan konservasi air dengan meresapkan air di salam waduk/kolam retensi. Selanjutnya, kelebihan limpasan airnya dialirkan ke badan air terdekat.
Pemerintah Kota Semarang pada 2015 telah selesai membangun Waduk Jatibarang, hulu daerah aliran Sungai Garang. Selain sebagai pengendali banjir, bendungan di Kecamatan Gunungpati ini juga mengembangkan potensi sumber air, penyedia air baku, pariwisata, dan potensi pembangkit listrik. Keberadaan bendungan ini sedikit banyak mengurangi risiko banjir kiriman di Semarang.
Adapun Jakarta melalui pemerintah pusat sedang membangun Bendungan Ciawi dan Sukamahi. Bendungan di hulu Ciliwung tersebut merupakan bendungan kering, saat hujan datang, bendungan akan menampung air dan memerlambat aliran air hujan ke Jakarta.
Normalisasi
Pengendalian banjir di DAS bagian tengah dengan pembuatan tanggul, mengatur drainase dan memerbaiki sungai. Tujuannya untuk memperlancar pembuangan air ke laut serta mencegah air agar tidak masuk ke sistem drainase kota.
Sebenarnya Jakarta, Surabaya, dan Semarang telah menggunakan konsep ‘menjaga di tengah’ ini. Pembangunan kanal peninggalan Kolonial, meski tidak sepenuhnya efektif, tetap berfungsi sebagai saluran pembuangan ke laut.
Normalisasi yang berfungsi untuk mengembalikan lebar dan kapasitas sungai wajib dilakukan oleh pemerintah setempat. Aktivitas normalisasi menurut Agus Maryono dalam buku “Restorasi Sungai (2018)”diantaranya, pelurusan, sodetan, penyempitan alur, dan penyederhanaan penampang sungai.
Normalisasi di Jakarta telah dilakukan di sungai Pesanggrahan, Angke, Sunter, dan Ciliwung. Selain melebarkan sungai dan membangun tanggul (sheet pile), juga memindah beberapa penduduk ke Rusunawa. Namun sejak 2017, normalisasi dihentikan karena tidak adanya anggaran untuk pembebasan lahan.
Normalisasi sungai di Semarang dilakukan di Kanal Banjir Barat, Kanal Banjir Timur, Babon, Dombo-Sayung, dan Dolok. Proses normalisasi kanal barat telah selesai. Tak hanya sebagai kanal pengendali banjir tapi juga sebagai sarana wisata dan olahraga.
Selain normalisasi, Kementerian PU juga membangun Bendung Gerak di Kanal Banjir Barat (KBB) yang telah selesai pembangunannya akhir 2019. Bendung tersebut berfungsi sebagai penahan intrusi air laut dan menjaga debit air, serta penggelontoran sedimen sungai.
Normalisasi sungai dan saluran di Surabaya dilakukan oleh Satgas Pematusan yang berkerjasama dengan warga setempat. Satgas yang terdiri atas ± 1.200 personel tersebut, rutin mengeruk sedimentasi lumpur dari sungai dan saluran di Surabaya, baik secara manual ataupun dengan bantuan alat-alat berat.
Bagi Surabaya yang berlokasi di dataran rendah, peran drainase yang panjangnya 298,37 km penting untuk mengurangi air limpasan agar permukaan jalan tidak terjadi genangan. Saluran ini juga berfungsi sebagai long storage untuk menampung debit air dari Kawasan sekitarnya. Di atasnya berfungsi sebagai trotoar atau tempat yang aman bagi pejalan kaki.
Merujuk pada Youtube “Pengelolaan Air Hujan ala Bu Risma”, Air limpasan akan ditampung oleh saluran tepi jalan/tersier yang ada di sekitar permukiman. Selanjutnya mengalir ke saluran sekunder dengan lebar 1-2 meter, berlanjut ke saluran primer (5-8 meter). Dari Saluran primer ini dialirkan ke pintu air dan pompa untuk selanjutnya dibuang ke laut.
Kolam Penampungan
Sama halnya dengan bendungan, kolam penampungan juga berfungsi untuk menyimpan sementara untuk membantu menahan dan menyimpan air. Akhirnya nanti akan dialirkan ke sungai terdekat atau laut setelah kondisi memungkinkan.
Menurut penelitian “Pemodelan Banjir Kota Semarang (James dkk, 2011), Retarding Pond dibuat di alur sungai. Adapun Retarding Basin dibuat di sisi kiri kanan sungai di bagian hilir. Bangunan kolam penampungan terdiri atas tanggul yang mengeliling kawasan, kolam retensi, sistem pompa, dan pintu air.
Pemkot Surabaya juga membuat polder yang sering disebut boezem dan waduk. Catatan Dinas PU Bina Marga dan Pematusan, Surabaya memiliki sekitar 70 Bozem dan 5 Bozem besar, seperti Morokrembangan, Wonorejo, dan Bratang. Ada juga beberapa waduk mini yang juga berfungsi menahan air, antara lain Waduk Sambikerep, Bangkingan dan Sumur Welut.
Selain waduk penampungan, Surabaya juga mengandalkan rumah pompa dan pintu air untuk mengelola air limpasan dari saluran air. Jika terjadi banjir, pompa akan menyedot genangan air kemudian mengalirkannya ke sungai terdekat.
Jakarta juga membangun sistem penampungan air di daerah rendah yang sering mengalami penggenangan air, disebut polder. Polder dan waduk akan menampung air hujan, kemudian dipompa ke saluran-saluran pengendali, dan selanjutnya dialirkan ke sungai yang mengalir ke laut.
Hingga 2019, Jakarta sudah memiliki 19 sistem polder dan 76 waduk yang tersebar di seluruh wilayah Jakarta. Selain itu, Jakarta juga mempunyai pompa stationer sebanyak 433 unit di 158 lokasi dan 126 unit pompa mobile juga digunakan untuk memompa di daerah rawan genangan.
Pembangunan polder di Semarang lebih difokuskan di kawasan utara (hilir) yang menjadi daerah rawan banjir rob. Polder akan mengurangi genangan dari air pasang. Polder di Semarang berjumlah 28 unit dan 111 unit pompa telah berhasil mengurangi genangan banjir di Semarang hingga 82,6 persen.
Daerah Konservasi
Sistem non teknis untuk mengatur dan mengendalikan banjir, tak kalah penting dilakukan. Salah satunya, memperbaiki kondisi lingkungan konservasi di hulu dan di hilir.
Daerah konservasi, berguna mengendalikan erosi dan mengurangi air limpasan. Upaya non teknis pengendalian banjir ini melibatkan koordinasi beberapa wilayah administrasi di sepanjang daerah aliran sungai.
Namun yang lebih penting adalah penegakan aturan tata ruang, daerah konservasi di hulu ataupun di hilir tidak boleh digunakan sebagai lahan terbangun. Pengelolaan DAS dalam satu manajemen lintas wilayah administrasi perlu dilakukan tidak terjadi saling menyalahkan antara wilayah administratif di hilir dan hulu.
Wilayah hulu pun harus berkomitmen untuk menjaga area konservasi meski hal ini berisiko menurunkan pendapatan asli daerah. Selain itu, banjir rob juga rentan terus mengancam kota-kota pesisir pantai. Meskipun banjir ini sulit dihilangkan seratus persen, risikonya bisa dikurangi.
Caranya dengan dengan pemeliharaan rutin sungai, saluran,waduk, ataupun bendungan yang telah dibangun. Terpenting, membutuhkan peran masyarakat untuk turut menjaga lingkungan kota yang rentan bencana ini. Pada akhirnya, semua pihak, dihadapkan pada keharusan untuk menjaga daerah aliran sungai, menimbang ulang tata guna lahan, serta menegakkan aturan tata ruang. (Litbang Kompas)