Kota yang Terkepung Tiga Banjir
Kontur alam dan konversi lahan konservasi karena tumbuhnya wilayah membuat kota pesisir terkepung tiga jenis banjir, yakni banjir kiriman, banjir lokal, dan rob.
Tiga kota, Jakarta, Semarang dan Surabaya mengalami persoalan sama. Ada banjir kiriman dari hulu, banjir lokal, ataupun banjir rob. Penyebabnya juga sama, karena kondisi alam lahan atau konversi daerah konservasi.
Awalnya, ketiga kota tersebut merupakan pelabuhan dagang dengan pusat keramaiannya ada di sekitar pesisir pantai. Dalam perkembangannya, keriuhan aktivitas dagang menarik pendatang dan membentuk kawasan permukiman yang akhirnya terbentuk menjadi kota. Pengendapan lumpur di tepi pantai (akresi) mengubah garis pantai ketiga kota itu sehingga luasan kota semakin lebar ke arah laut.
Kota Jakarta, Semarang, dan Surabaya berkembang di atas dataran aluvial yang landai sebagai muara beberapa sungai. Dataran rendah ini rawan banjir, baik karena air limpasan dari hulu maupun banjir karena pasang air laut (rob).
Jakarta, 40 persen wilayahnya berada di dataran banjir. Sama halnya dengan Surabaya yang mayoritas wilayahnya bertopografi datar dengan ketinggian 3-6 meter di atas permukaan laut. Semarang tercatat 65 persen wilayahnya merupakan daerah pantai dengan kemiringan 25 derajat. Beruntung Semarang masih mempunyai daerah perbukitan dengan kemiringan 15-40 derajat.
Lahan dikonversi
Bukan hanya kondisi alam yang membuat kota-kota tepi air menjadi rawan banjir. Laju migrasi masuk ke kota besar ini memicu peningkatan aktivitas manusia yang membutuhkan lahan, seperti permukiman, komersial, industri, dan infrastruktur jalan.
Keterbatasan lahan di kota pantai ini menyebabkan perkembangan kota ke arah utara dengan memanfaatkan rawa. Selanjutnya perkembangan kota dilanjutkan ke selatan yang memiliki topografi lebih tinggi. Bahkan, kota tumbuh menjadi urban sprawl atau berkembang ke berbagai arah.
Dinamika kota yang tumbuh ke segala arah mengokupasi daerah konservasi di hulu dan hilir yang seharusnya tidak dipergunakan sebagai lahan terbangun. Kawasan rawa di utara kota menjadi daerah parkir air untuk menampung pasang air laut.
Kawasan selatan yang berupa perbukitan menjadi daerah resapan air yang menahan air di hulu sungai. Aturan tata ruang pun dilanggar demi memenuhi kebutuhan perkembangan kota besar.
Tak hanya itu, pertambahan penduduk yang tidak diimbangi dengan ketersediaan air perpipaan oleh PDAM juga memicu pengambilan air tanah yang berlebihan. Hal ini menjadi salah satu penyebab penurunan muka tanah, selain karena pengaruh pemanasan global.
Tiga banjir
Kontur alam yang kurang menguntungkan dan konversi lahan konservasi karena tumbuhnya wilayah membuat kota pesisir akhirnya terkepung tiga jenis banjir.
Pertama, banjir kiriman yang datang dari hulu. Banjir ini akibat hujan yang terjadi di hulu sehingga menimbulkan aliran banjir yang melebihi kapasitas sungainya.
Kedua, banjir lokal yang disebabkan curah hujan tinggi di wilayah kota. Kapasitas sungai dan saluran drainase yang tidak mencukupi karena sedimentasi, sampah, dan pemanfaatan lahan bantaran sungai membuat air melimpas ke kawasan sekitarnya.
Terakhir, banjir karena pasang air laut. Banjir yang diistilahkan rob ini terjadi saat pasang air laut saja di mana air melimpas masuk ke area rawa. Namun, karena rawa telah berubah menjadi lahan terbangun kedap air di beberapa kota pesisir, air pasang semakin sulit surut kembali.
Penurunan permukaan tanah di kawasan utara kota juga memperparah kondisi genangan. Genangan rob ini akan sulit surut hingga berhari-hari.
Baca juga: Semarang, Sungainya Tak Lagi Banjir
Banjir Jakarta
Banjir di Jakarta lebih banyak disebabkan oleh banjir lokal dan kiriman. Banjir kiriman di Jakarta terjadi karena adanya alih fungsi lahan di wilayah hulu. Daerah hulu bermula dari kawasan konservasi kemudian menjadi perkebunan pada masa kolonial Belanda. Setelah itu pasca-kemerdekaan menjadi kawasan terbangun permukiman dan komersial.
Tak hanya di hulu, beberapa situ dan rawa di hilir DAS malah diuruk, dipadatkan, dan dikonversi menjadi lahan terbangun. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jabodetabek pernah memiliki sekitar 1.500 situ (Kompas, 15/1/2020).
Alih fungsi lahan meningkatkan air limpasan yang masuk ke sungai. Di sisi lain, kondisi sungai di Jakarta juga cukup buruk karena sedimentasi, sampah, dan lebarnya menyempit akibat okupansi hunian di bantaran sungai.
Banjir lokal yang terjadi di Jakarta diakibatkan curah hujan tinggi di wilayah Jakarta. Sungai dan saluran di Jakarta yang kondisinya buruk tidak bisa menampung air hujan yang berlimpah, seperti banjir pada 2020 yang diakibatkan hujan lokal di Jabodetabek.
Banjir rob tercatat dalam penelitian ”Tingkat Risiko Banjir Rob di Jakarta Utara (Chintia, 2010)”, sering menggenangi daerah pesisir utara Jakarta yang terbentang mulai dari Kelurahan Marunda hingga Kelurahan Kamal Muara. Banjir rob ini bergantung pada tinggi pasang air laut sehingga kejadiannya tidak bisa diprediksi seperti pada kejadian banjir karena limpasan air hujan.
Bagi warga Jakarta Utara, banjir rob merupakan kejadian yang dirasakan sehari-hari. Ketinggiannya berkisar 0,5-,5 meter tergantung ketinggian wilayah berapa meter di bawah permukaan laut.
Kombinasi tiga jenis banjir tersebut pernah terjadi di Jakarta pada 2002 dan 2007. Saat itu curah hujan di hilir dan Jakarta tinggi, menurut catatan BNPB mencapai 340 mm per hari. Pada saat bersamaan terjadi pasang air laut sehingga air dari sungai dan saluran tidak bisa mengalir ke laut.
Akibatnya, hampir 70 persen wilayah Jakarta, 17 persen wilayah Tangerang, serta 6,5 persen wilayah Bogor, Bekasi, dan Depok terendam banjir. Perekonomian dan transportasi lumpuh selama beberapa hari.
Hingga 2020, BPBD Jakarta mencatat ada 82 titik rawan banjir di Jakarta. Sebanyak 2 titik kelurahan ada di Jakarta Pusat, 15 titik di Jakarta Utara, 17 titik di Jakarta Barat, 25 titik di Jakarta Selatan, dan 23 titik di Jakarta Timur.
Banjir Semarang
Berbeda halnya dengan di Semarang. Banjir rob dan lokal lebih mendominasi dibandingkan dengan banjir kiriman. Banjir lokal dan kiriman dalam skala besar pernah terjadi pada 1978, 1988, 1990, dan 1993.
Banjir tersebut, mengutip dari ”Relokasi Terdampak Banjir Sungai di Kota Semarang (Yunarto, 2017)”, terjadi di Kecamatan Semarang Barat dan Semarang Selatan. Ketinggian genangan banjir lokal atau kiriman bisa 3 meter selama 3-5 jam.
Normalisasi Sungai Kaligarang dan Kanal Barat dilakukan setelah banjir besar beberapa periode tersebut. Hasilnya, tersisa banjir rob di utara Semarang yang masih menjadi pekerjaan Pemkot Semarang.
Banjir rob ini semakin meningkat frekuensinya karena penurunan permukaan tanah dan fenomena naiknya permukaan laut. Berdasarkan RTRW Kota Semarang 2011-2031, sebaran kawasan rawan bencana rob mencakup kawasan Semarang Barat, Tengah, Utara, Semarang Timur.
Selanjutnya rob juga terjadi di kawasan Genuk, Gayamsari, dan kawasan Tugu. Ketinggian genangan air berkisar 0,2-0,7 meter dengan lama genangan 3-6 jam.
Rob menggenangi kawasan permukiman, industri, dan perkantoran di Semarang Utara dan Semarang Barat. Permukiman yang tergenang pasang air laut mulai ditinggalkan penghuninya, seperti Perumahan Tanah Mas. Namun, bagi warga yang tidak memungkinkan pindah, melakukan mitigasi dengan meninggikan bangunan rumah dan jalan, serta membangun tanggul sederhana dari karung pasir.
Jalan pantura Semarang-Demak juga terkena imbas banjir rob. Akibatnya, kemacetan lalu lintas hingga mencapai 5 kilometer selama belasan jam.
Hingga sekarang Pemkot Semarang masih berupaya mengatasi rob di wilayah timur. Wilayah tersebut, menurut laman Pekerjaan Umum, ada di area belakang Masjid Jami Syeh Jumadil Kubro di Terboyo Kulon, arteri Jalan Yos Sudarso, dan area Jalan Kaligawe yang berbatasan dengan Sayung Demak.
Banjir Surabaya
Banjir yang terjadi di Surabaya rata-rata merupakan banjir lokal. Selain karena curah hujan yang tinggi, mayoritas topografi Kota Surabaya berbentuk datar dan cekung yang memudahkan terjadinya genangan air. Kondisi itu diperparah dengan adanya sedimentasi lumpur dan sampah di sungai, saluran primer, sekunder, dan tersier yang ada di Surabaya.
Pada 15 Januari lalu, banjir terjadi di 32 lokasi Kota Surabaya, di antaranya kawasan Jalan Mayjen Sungkono, Sikatan, Ketintang, Villa Bukit Mas, dan Raya Sememi. Ketinggian banjir berkisar 10-100 sentimeter.
Namun, dalam waktu sekitar dua jam, genangan segera surut. Banjir terjadi karena lokasi memang berada di cekungan, saluran tersumbat sampah, dan kapasitas saluran kurang besar (Kompas, 17/1/2020).
Pada Januari dan Februari 2010, terjadi banjir rob di sebagian area Surabaya dengan ketinggian genangan 20-160 cm. Awal tahun ini, BMKG Kelas I Juanda memberi peringatan pada masyarakat untuk waspada akan terjadinya banjir rob di pesisir Surabaya Timur, Sidoarjo, hingga Pasuruan.
Surabaya, seperti halnya Kota Semarang dan Provinsi DKI Jakarta, berhadapan dengan akar persoalan yang sama terkait bencana banjir. Persoalan itu boleh jadi tak akan selesai karena ketiga kota ini berhadapan dengan faktor alam. Atau, bisa juga persoalan banjir tak kunjung selesai karena kurangnya konsistensi dan komitmen penyelesaian persoalan banjir. (M Puteri Rosalina/Litbang Kompas)