NU Merawat Moderasi Bernegara
Hari ini, 31 Januari 2020, Nahdlatul Ulama genap berusia 94 tahun. Di tengah gejolak perubahan dan persoalan sosial politik yang kompleks, NU menjadi suar moderasi guna menghadapi tantangan dan perubahan zaman.
Berapakah jumlah warga NU di Indonesia? KH Hasyim Muzadi pernah menyatakan, jumlahnya sebanyak 60 juta orang. Namun, Gus Dur menafsirkannya lebih banyak lagi, tidak kurang dari separuh orang Indonesia atau mencapai 120 juta jiwa adalah bagian dari NU.
Jawaban Gus Dur ini adalah penggalan narasi yang dituliskan oleh profesor sosiologi agama dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, Bambang Pranowo, dalam bunga rampai NU dan Keindonesiaan (2010). Hingga kini memang tak ada yang mengetahui pasti jumlah anggota NU.
Sejak 1926, NU tumbuh dan terus membesar. Lewat nilai-nilai yang dibawanya, organisasi itu masuk pada tiap lini kehidupan hingga ke pelosok negeri.
Dengan ahlussunnah waljamaah (aswaja) yang dianutnya dan mendasarkan pahamnya pada Al Quran, sunah, ijma’, dan qiyas, setiap langkah dan keputusan NU pun tak pernah lepas dari hal-hal tersebut.
Andil besar NU merawat keindonesiaan ditunjukkan dalam komitmen besar pada awal 1980-an. Dalam Munas Alim Ulama di Situbondo tahun 1983, dibentuk Komisi Pemulihan Khittah NU yang dipimpin KH Chamid Widjaya.
Tidak kurang dari separuh orang Indonesia atau mencapai 120 juta jiwa adalah bagian dari NU.
Komisi tersebut menyepakati deklarasi hubungan Islam dan Pancasila, kedudukan ulama di dalamnya, hubungan NU dan politik, serta makna garis perjuangan NU. Selanjutnya, hasil Munas Alim Ulama ini dibawa dan ditetapkan pada Muktamar Ke-27 NU di Situbondo, 1984.
Saat itulah, muktamirin berhasil memformulasikan garis perjuangan NU ke dalam lembaran yang disebut ”Khittah NU”. Hal ini menjadi momentum pengingat dan penegasan NU sebagai jam’iyah diniyah ijtima’iyah atau organisasi keagamaan dan bagian dari Indonesia.
Dalam opininya di Kompas, pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Salahuddin Wahid, menulis, kiprah NU dalam kehidupan politik sudah diatur dalam Khittah NU. Khittah menjadi landasan berpikir, bersikap, dan bertindak warga NU: perseorangan maupun organisasi (Kompas, 27 Januari 2020).
Rumusan Khittah NU di Situbondo tersebut juga menjadi dasar panduan gerakan NU yang di dalamnya memuat dasar keagamaan, sikap dalam masyarakat, kedudukan ulama, hingga hubungan NU dengan bangsa. Tanpa adanya rambu-rambu itu, NU dengan puluhan juta warga nahdliyinnya akan mudah terperosok dalam kubangan kepentingan pragmatisme.
Sikap politik
Sebagai organisasi besar dengan puluhan juta suara dari pengikutnya yang tersebar hingga di desa-desa, NU merupakan basis massa sangat penting untuk sebuah kekuatan politik. Tak heran, dalam kontestasi politik, suara NU selalu diperebutkan.
Tak bisa dimungkiri pula, sikap NU berpengaruh besar pada dinamika pengelolaan negara. Perubahan dalam tubuh internal NU berdampak pada dinamika nasional dan menarik perhatian banyak pihak.
Beragam kritik juga acap kali terlontar terkait dengan langkah politik yang diambil NU. Namun, para ulama dan warga nahdliyin secara umum sudah memahami betul bahwa kritik merupakan bagian dari gerak perjuangan NU.
Organisasi ini sudah sangat berpengalaman dan begitu lentur dalam gelanggang politik. Dalam hal ini, gerakan dan sikap politik NU jelas berdasar pada keteguhan dalam memegang nilai Islam ahlussunnah wal jamaah. Selain itu, NU terus berkomitmen untuk berpijak pada konstitusi dan Pancasila.
Dalam pandangan Gus Dur, hubungan antara agama dan negara memiliki tiga paradigma. Pertama, integralistrik, yang menjadikan agama dan negara sebagai satu entitas. Kedua, sekularistik, yakni agama dan negara berdiri terpisah.
Ketiga, simbiotis, yaitu agama serta negara diletakkan pada posisi yang memiliki hubungan saling terkait dan mengisi satu sama lain. Paradigma simbiotis ini menjadi pegangan NU dalam bernegara.
Nilai-nilai agama yang menjadi dasar perjuangan NU juga melebur dalam konstitusi negara. Dengan begitu, melalui politik, NU tetap berdiri pada kepentingan umat secara luas dan menjadi penyeimbang dalam kehidupan bermasyarakat.
Jalan tengah
Kehadiran NU dapat diterima masyarakat karena keluwesannya dalam memperjuangkan kemaslahatan secara luas. Ada empat prinsip yang dipegang oleh NU dalam ruang kemasyarakatan, yaitu tawasut (sikap tengah) dan i’tidal (adil), tasamuh (toleran terhadap perbedaan), tawazun (seimbang dalam berkhidmat kepada Tuhan dan sesama umat manusia), serta amar ma’ruf nahi munkar (mengajak dalam kebaikan dan mencegah keburukan).
Tanggung jawab sosial NU menjadi berat jika melihat realitas di tengah masyarakat yang saat ini rentan digulung perpecahan dengan mencuatnya ego antarkelompok hingga SARA. Krisis di tubuh masyarakat tak akan reda jika semua kalangan terus berdiri pada kepentingan kelompoknya.
Sedari awal berdiri, NU memilih sikap di tengah. Sikap ini menegaskan, NU bukan bagian dan memihak satu kelompok tertentu. NU juga tak berhenti menggaungkan toleransi antarumat di Indonesia yang beragam.
Bagi nahdliyin, menjunjung tinggi kemanusiaan menjadi keharusan. Sikap toleransi sering kali diwujudkan NU dalam kegiatan yang melibatkan warga lintas suku, ras, dan agama. Inilah yang menjadi kekuatan besar NU sehingga dapat diterima dan memayungi semua kelompok masyarakat.
NU memiliki 18 sayap lembaga yang bergerak di berbagai bidang kemasyarakatan, mulai dari pendidikan, budaya, ekonomi, hingga kemanusiaan. Program yang dilaksanakan oleh lembaga NU tersebut diperuntukkan bukan hanya bagi Muslim atau pengikut NU, melainkan juga masyarakat Indonesia secara luas.
Persatuan dan kesatuan dalam kehidupan berbangsa bukan hal yang bisa ditawar. Nilai-nilai Islam yang dipegang NU telah terfusi dalam Pancasila dan amanat konstitusi negara yang juga harus ditegakkan.
Menangkal radikalisme
Radikalisme dan terorisme yang mengancam keselamatan bangsa turut menjadi perhatian besar NU. Sejak awal berdiri, NU menolak paham radikal dan kemunculan kelompok separatis. Tengok saja ketika di awal masa kemerdekaan, NU tegas menolak gerakan yang digaungkan oleh kelompok yang mencoba mengganti ideologi Pancasila.
Komitmen tersebut terus dipegang oleh NU. Selama beberapa tahun terakhir, sendi-sendi organisasi NU yang tersebar di Indonesia tegas menolak radikalisme serta terorisme. Beberapa kegiatan sosialisasi dan pengajaran untuk mencegah pengaruh paham tersebut dilakukan bersama pihak berwenang lain, seperti lembaga sekolah dan kepolisian.
Isu radikalisme juga terus dibahas secara internal dan menjadi agenda utama pergerakan NU. Pada muktamar ke-33 tahun 2015 di Jombang, Jawa Timur, NU mengangkat tema ”Mengukuhkan Islam Nusantara untuk Indonesia dan Peradaban Dunia”. Bahasan besar tersebut disusun dengan tujuan kembali membumikan nilai Islam yang selaras dengan jati diri dan keragaman kebudayaan bangsa.
Bagaimanapun, berbagai peranan besar NU dalam sosial kemasyarakatan, politik, dan ekonomi pasti didasari garis perjuangan yang mementingkan kemaslahatan umat. Harapan tersemat agar NU terus hadir sebagai jalan tengah dan merawat moderasi dalam kemajemukan bernegara. Selamat Harlah Ke-94 NU. (LITBANG KOMPAS)