Gugatan banjir terhadap Gubernur DKI menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat. Dari jajak pendapat Litbang Kompas pekan lalu, antara jumlah pendukung dan yang anti nyaris setara.
Oleh
Antonius Purwanto
·4 menit baca
Banjir yang melanda Ibu Kota pada awal 2020 memunculkan gugatan warga kepada Gubernur DKI Jakarta. Persepsi warga pun terbelah menanggapi gugatan perwakilan kelompok warga pascabanjir tersebut.
Banjir membuat roda kehidupan warga Jakarta dan wilayah sekitarnya sempat lumpuh. Akses jalan tergenang, listrik padam, dan kerugian harta benda. Sebagian warga terpaksa mengungsi. Ungkapan kejengkelan yang ditujukan kepada pemerintah pun bermunculan, terutama di media sosial.
Menurut catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 29 Januari, 27.764 warga DKI dan 530.553 warga Bodetabek terdampak banjir. Tercatat 51 orang meninggal akibat banjir di Jabodetabek awal tahun ini.
Banjir juga berdampak pada berbagai sektor usaha dan pariwisata. Kerugian akibat banjir Jabodetabek pada 1-5 Januari 2020 ditaksir mencapai Rp 1,045 triliun (Kompas, 13/01/2020).
Sejumlah 243 warga kemudian menggugat Gubernur DKI atas kelalaian mengantisipasi banjir di Jakarta awal tahun ini. Mereka tergabung dalam Tim Gugatan ”Class Action” Banjir DKI 2020. Gugatan didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (13/1/2020). Kelalaian itu menyebabkan kerugian materiil warga dengan total kerugian sebesar Rp 42,3 miliar.
Setuju
Gugatan banjir terhadap Gubernur DKI Jakarta itu menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat. Menanggapi hal itu, pendapat warga dalam jajak pendapat Kompas minggu lalu terbagi antara yang mendukung dan menolak adanya gugatan tersebut.
Sebanyak 41 persen responden mendukung gugatan warga kepada Gubernur DKI Jakarta. Mereka beranggapan, warga perlu menggugat secara berkelompok (class action) untuk menuntut pertanggungjawaban Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta atas kerugian akibat banjir.
Hal itu merujuk pada Pasal 58 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang menyebutkan, penanggung jawab bencana adalah pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Mereka berpandangan, Pemprov DKI semestinya memahami topografi daerah dan sigap memberikan peringatan dini kepada warga di kawasan rawan banjir.
Namun, upaya pencegahan itu dinilai tidak pernah terjadi. Pemerintah dinilai gagal mencegah terjadinya banjir dalam hal kesiapsiagaan, peringatan dini, dan mitigasi bencana sehingga menimbulkan kerugian materiil bagi korban banjir.
Penanganan banjir
Banjir telah menjadi masalah bagi Jakarta dan wilayah sekitarnya selama bertahun-tahun. Pemerintah Jabodetabek dan pemerintah pusat telah berupaya untuk mengatasi banjir. Namun, nyatanya, tingkat ketidakpuasan warga Jabodetabek terhadap penanganan banjir cukup tinggi.
Tiga dari lima responden menilai kinerja penanggulangan banjir selama ini dinilai belum menampakkan hasil yang memuaskan. Sebanyak 60 persen di antaranya menyebutkan rumahnya kebanjiran awal Januari lalu.
Langkah penanganan banjir masih lambat dan terkesan proyek tambal sulam. Sejumlah program, seperti normalisasi sungai, naturalisasi sungai, drainase vertikal, dan membuat bendungan yang digadang-gadang mampu membebaskan Jakarta dari banjir, ternyata belum mampu mencegah terulangnya bencana banjir.
Ancaman banjir dan genangan masih berpotensi terjadi. Pertambahan populasi penduduk, intensitas pembangunan kota yang masif, perilaku masyarakat, dan faktor perubahan iklim ikut membebani Jakarta.
Apalagi adanya fakta penurunan muka tanah yang signifikan dari tahun ke tahun. Data dari Bappenas menyebutkan, rata-rata penurunan muka tanah DKI Jakarta sekitar 7,5 sentimeter per tahun.
Ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah dalam penanganan banjir juga tampak dari minimnya peringatan dini kepada warga DKI sebelum banjir melanda Jakarta. Sebanyak 61 persen responden menganggap sistem peringatan dini atau early warning system belum berjalan dengan efektif.
Tidak perlu
Di sisi lain, tidak semua responden setuju dengan gugatan tersebut. Sebanyak 52,6 persen responden menganggap tidak perlu adanya gugatan warga terhadap Gubernur DKI tersebut.
Tanggung jawab mengantisipasi dan mengatasi banjir bukan semata di pundak Gubernur DKI, tetapi juga tanggung jawab dari pemerintah pusat dan warga. Selain itu, mereka juga beranggapan, percuma melakukan gugatan class action karena berkaca pada gugatan warga tahun 2002 dan 2007 yang kalah di pengadilan saat itu.
Barangkali penolakan terhadap gugatan warga itu tak lepas dari sikap masyarakat terhadap bencana banjir yang terus berulang. Hanya sekitar 10 persen responden yang akan ambil peran aktif menggugat pemerintah secara hukum.
Sebanyak 65 persen responden justru menyatakan kepasrahannya dan berdiam diri. Adapun 13,1 persen responden memilih menumpahkan kekesalannya lewat media sosial.
Persoalan banjir di Ibu Kota sudah sedemikian kompleks. Penyebabnya tak hanya faktor alam karena curah hujan tinggi atau perubahan iklim. Namun, juga karena aktivitas manusia di hulu hingga hilir daerah aliran sungai, seperti alih fungsi lahan konservasi, membuang sampah ke sungai/saluran air, serta pengambilan air tanah berlebihan.
Penanggulangan banjir semestinya menjadi tanggung jawab bersama, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah di hulu hingga hilir DAS, maupun masyarakat. Banyak pekerjaan rumah yang semestinya dikerjakan bersama agar banjir tak semakin parah di masa mendatang. (LITBANG KOMPAS)