Rekam Jejak Gus Sholah
Salahuddin Wahid mewariskan pemikiran tidak hanya seputar Islam, namun juga tentang kebangsaan dan keberagaman.
KH Salahuddin Wahid atau dikenal dengan Gus Sholah meninggal pada Minggu (2/2/2020) di usia 77 tahun. Ia mewariskan pemikiran tidak hanya seputar Islam, tetapi juga tentang kebangsaan dan keberagaman.
Lahir di Jombang, Jawa Timur, pada 11 September 1942, Gus Sholah adalah adik kandung Presiden ke-4 RI, Abdurrahman Wahid atau kerap disapa Gus Dur. Gus Sholah tumbuh dalam keluarga ulama.
Ayahnya, Wahid Hasyim, adalah ulama terkenal sekaligus menteri agama pertama di masa pemerintahan Soekarno. Selain itu, kakeknya juga pendiri Nahdatul Ulama (NU), KH Hasyim Asy’ari.
Walakin, Gus Sholah justru lulusan arsitek Institut Teknologi Bandung tahun 1962 bahkan sempat memiliki usaha konsultan arsitektur hingga akhirnya tahun 2005 kembali ke Jombang mengurus pesantren.
Gus Sholah merupakan pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng di Jombang. Selain itu, ia juga Rektor Universitas Hasyim Asy’ari.
Gus Sholah meninggal setelah menjalani bedah jantung dan dirawat di RS Jantung Harapan Kita, Jakarta, sejak 31 Januari 2020. Jenazah dimakamkan di kawasan pemakaman Pondok Pesantren Tebuireng di Jombang, Jawa Timur.
Kepergian Gus Sholah menyisakan duka mendalam, tidak hanya bagi keluarga dan masyarakat santri, tetapi juga bangsa Indonesia. Almarhum juga dikenal sebagai salah satu cendekiawan terbaik bangsa ini karena dikenal oleh berbagai lapisan masyarakat, mulai dari kaum nahdliyin hingga kalangan lintas agama.
Perjalanan organisasi
Ketika mengenyam pendidikan di ITB, Gus Sholah memimpin Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat ITB (1964-1966). Setelah itu, ia mendirikan yayasan Baitussalam (1982) dan Wahid Hasyim (1985).
Gus Sholah kembali berkecimpung di organisasi Islam ketika menjadi Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Kebangkitan Umat (PKU) pada 1998-1999. Lalu menjadi Ketua Pengurus Besar NU 1999-2004. Di antara masa tersebut, Gus Sholah juga menjabat sebagai Ketua Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia tahun 2002-2003.
Tidak hanya itu, ia juga pernah menjadi Wakil Ketua II Komnas HAM periode 2002-2007. Menyandang nama besar dan pengalaman yang mumpuni membuatnya dipinang Golkar untuk maju sebagai calon wakil presiden mendampingi Wiranto pada Pemilihan Presiden 2004.
Hingga akhirnya ia menjadi pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng di Jombang yang didirikan kakeknya, KH Hasyim Asy’ari, tahun 1899. Tebuireng merupakan salah satu pesantren terbesar dan berpengaruh teehadap pendidikan agama Islam di Indonesia.
Gagasan kebangsaan
Gus Sholah dikenang sebagai sosok yang senantiasa memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan dan kebangsaan. Gagasan kebangsaannya senantiasa berpengaruh untuk pembangunan bangsa ini. Sebagai seorang negarawan, sikap-sikapnya sebagai seorang ulama tetap membela keberagaman.
Ketika negara kita terkotak-kotak setelah Pilkada DKI Jakarta tahun 2017, Gus Sholah melalui tulisan-tulisannya gencar menyuarakan semangat kebinekaan, bahkan keberagaman yang awalnya menjadi faktor utama persatuan bangsa justru menjadi potensi perpecahan bangsa Indonesia.
Gus Sholah pun menyarankan kedua pihak di Pilkada DKI 2017 harus bertemu dan bermusyawarah saling terbuka, bahkan pertemuan tersebut harus dilakukan berkali-kali agar menemukan jalan keluar. Konflik akibat politisasi agama dan bernuansa SARA tidak bisa dibiarkan terpendam lama agar tidak semakin sulit diselesaikan.
Pemikiran Gus Sholah juga banyak seputar pendidikan agama. Beliau pernah mengkritik tidak adanya mata pelajaran Budi Pekerti, tetapi ada mata pelajaran agama. Sayangnya, pendidikan agama tersebut lebih condong ke transfer ilmu, bukan sebagai pendidikan sehingga mata pelajaran agama kurang berhasil dalam membentuk akhlak murid.
Menurut Gus Sholah, inti dari akhlak adalah kejujuran.
Padahal, menurut Gus Sholah, inti dari akhlak adalah kejujuran. Meski pada faktanya, pendidikan saat ini kurang berhasil dalam menanamkan kejujuran ke dalam diri murid. Maka, guru utama bagi anak-anak adalah orangtua yang mengemban tanggung jawab utama ini karena dampak negatif dari masyarakat bisa saja menghapus secara bertahap akhlak yang telah baik.
94 Tahun NU
Sebelum wafat, Gus Sholah menuangkan pemikirannya di Kompas terkait Refleksi 94 Tahun NU edisi 27 Januari 2020. Beliau menyikapi secara kritis adanya dua matahari di jajaran kepemimpinan NU, yakni antara rais aam dan ketua umum. Tidak hanya itu, Gus Sholah juga mengkritik sikap PBNU yang ngambek ketika tidak ada menteri yang dianggap mewakili PBNU. Padahal, ini tentu tidak masalah karena NU bukanlah partai politik.
Di akhir tulisannya, almarhum menyatakan, NU sebaiknya tidak terlibat dalam politik praktis dan tetap berada di wilayah masyarakat madani. Sikap istikamah dan konsisten bergiat membuat NU bermartabat dan efektif menjadi bangsa Indonesia.
Kini meski Gus Sholah telah tiada, tetapi pemikirannya masih senantiasa kita kenang. Rasanya, sampai kapan pun warisan gagasan kebinekaan beliau masih relevan untuk perjalanan bangsa Indonesia ke depan. Selamat Jalan Kiai. (Ida Ayu Grhamtika Saitya/Litbang Kompas)