Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi wilayah dengan prevalensi penderita kanker tertinggi di Indonesia. Pola hidup sehat menjadi problem tersendiri yang turut memicu risiko kanker.
Oleh
Dedy Afrianto
·5 menit baca
Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi wilayah dengan prevalensi penderita kanker tertinggi di Indonesia. Kondisi ini menjadi anomali mengingat DIY adalah salah satu provinsi dengan indeks pembangunan kesehatan masyarakat terbaik dibandingkan daerah lainnya pada 2018.
Dalam kurun waktu lima tahun, prevalensi penderita kanker di Indonesia mengalami kenaikan. Jika pada 2013 jumlah penderita kanker mencapai 1,4 per 1.000 penduduk, pada 2018 meningkat menjadi 1,79. Artinya, sekitar dua dari 1.000 penduduk di Indonesia menderita kanker.
Berdasarkan catatan Kementerian Kesehatan, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menjadi provinsi dengan prevalensi penderita kanker tertinggi di Indonesia. Pada 2018, sekitar lima orang dalam setiap 1.000 penduduk di DIY menderita kanker. Jumlah ini meningkat dibandingkan pada 2013 dengan prevalensi sebesar 4,1.
Prevalensi kanker di DIY jauh lebih tinggi dibandingkan dengan provinsi lainnya. Bahkan, prevalensi penderita kanker di DIY hampir dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan Sumatera Barat yang merupakan provinsi kedua dengan prevalensi kanker tertinggi di Indonesia.
Tingginya prevalensi kanker di DIY berbanding terbalik dengan status daerah ini sebagai salah satu wilayah dengan indeks pembangunan kesehatan masyarakat tertinggi di Indonesia
Menilik berdasarkan klasifikasi usia, prevalensi penderita kanker tertinggi di DIY adalah pada kelompok usia 45-54 tahun dan penduduk berusia di atas 75 tahun. Pada kedua kelompok usia ini, sekitar sembilan dari 1.000 penduduk terkena kanker. Jumlah ini hampir delapan kali lebih tinggi dibandingkan dengan prevalensi kanker secara nasional.
Prevalensi penderita kanker pada usia 75 tahun ke atas memang cukup tinggi dibandingkan kategori usia lainnya di Indonesia. Pada 2018 terdapat sekitar empat dari 1.000 penduduk di Indonesia berusia di atas 75 tahun yang menderita kanker. Kondisi ini menggambarkan cukup banyaknya penduduk di Indonesia berusia lanjut yang terkena kanker.
Tingginya prevalensi kanker berusia lanjut di DIY juga berbanding lurus dengan persentase penduduk berusia lanjut di wilayah ini. Jumlah penduduk di DIY memang cukup banyak pada rentan usia 45 tahun ke atas. Pada 2018 terdapat 1,2 juta penduduk atau sekitar 33 persen dari total penduduk DIY yang masuk dalam kategori ini.
Khususnya pada kelompok usia di atas 75 tahun ke atas, terdapat 139.599 penduduk atau sekitar 4 persen dari total penduduk DIY. Persentase penduduk pada kategori usia ini lebih tinggi dibandingkan dengan persentase secara nasional (1,8 persen) atau daerah lainnya, seperti Jawa Barat (1,7 persen) dan Gorontalo (1,3 persen).
Perempuan
Selain usia, tingginya penderita kanker di DIY juga dapat dilihat berdasarkan jenis kelamin. Penderita kanker pada kaum perempuan jauh lebih tinggi daripada kaum laki-laki dengan perbandingan delapan berbanding dua. Artinya, terdapat sekitar delapan kaum perempuan dari 1.000 penduduk di DIY yang terkena kanker. Prevalensi kanker kaum perempuan di daerah ini tiga kali lebih tinggi dibandingkan dengan angka nasional sebesar 2,85.
Menurut catatan Dinas Kesehatan DIY, kanker serviks dan payudara cukup banyak diderita oleh perempuan. Pada 2018 terdapat 725 penderita kanker serviks yang harus rawat jalan dan 619 penderita yang harus menjalani rawat inap. Sementara pada kanker payudara, terdapat 3.406 penderita kanker yang menjalani rawat jalan dan 984 pasien yang menjalani rawat inap.
Jumlah ini lebih tinggi dibandingkan penderita kanker lainnya, seperti hati dan saluran empedu intrahepatik dengan 290 pasien rawat jalan dan 230 pasien rawat inap, ataupun penderita kanker bronkus dan paru sebanyak 427 pasien rawat jalan dan 308 rawat inap.
Kanker serviks memang menjadi salah satu perhatian dari Pemerintah Provinsi DIY. Sejumlah upaya telah dilakukan untuk mencegah bertambahnya jumlah penderita kanker. Kabupaten Gunung Kidul dan Kulon Progo, misalnya, pada 2017 telah melakukan demonstrasi program imunisasi HPV untuk mencegah infeksi virus yang berdampak pada kanker serviks.
Anomali
Tingginya prevalensi kanker di DIY berbanding terbalik dengan status daerah ini sebagai salah satu wilayah dengan indeks pembangunan kesehatan masyarakat (IPKM) tertinggi di Indonesia. IPKM adalah indikator yang digunakan untuk melihat capaian pembangunan kesehatan pada daerah-daerah di Indonesia.
Pada 2018, DIY menjadi provinsi kedua setelah Bali dengan indeks pembangunan kesehatan masyarakat tertinggi di Indonesia. Indeks ini diukur dari beberapa hal, seperti pelayanan kesehatan, kesehatan anak balita, kesehatan lingkungan, penyakit menular, dan penyakit tidak menular di suatu daerah.
Pada beberapa kategori indeks, DIY berhasil mencatatkan kenaikan pada 2018 dibandingkan pada 2013. Artinya, dari sisi pelayanan kesehatan ataupun kualitas kesehatan, masyarakat mengalami perbaikan dalam kurun waktu lima tahun.
Pada indeks pelayanan kesehatan, misalnya, mengalami kenaikan dari 0,5930 menjadi 0,6032. Pelayanan kesehatan ini diukur dari beberapa hal, seperti kecukupan dokter, bidan, dan kepemilikan jaminan kesehatan. Semakin tinggi indeks menunjukkan semakin baik pelayanan kesehatan.
Namun, indeks penyakit tidak menular menjadi satu-satunya yang mengalami penurunan di DIY dari 0,5286 pada 2013 menjadi 0,3728 pada 2018. Kanker memang tidak menjadi kategori yang diperhitungkan dalam indeks penyakit tidak menular. Namun, penurunan indeks ini menunjukkan bahwa terdapat persoalan tersendiri bagi DIY pada sektor pengendalian penyakit tidak menular.
Faktor risiko
Tingginya prevalensi kanker di DIY di tengah membaiknya sejumlah pembangunan kesehatan masyarakat dapat disebabkan oleh beberapa hal, salah satunya ialah kesadaran masyarakat untuk melakukan deteksi dini kanker. Kondisi ini bisa berdampak pada tingginya angka penyakit kanker yang diketahui.
Jika dikaitkan dengan membaiknya indeks pelayanan kesehatan dan terlaksananya beberapa program Pemprov DIY terkait sosialisasi kanker, wajar apabila terdapat kesadaran masyarakat untuk melakukan deteksi kanker.
Selain itu, juga terdapat faktor lainnya dari sisi gaya hidup. Dokter spesialis gizi klinik dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Fiastuti Witjaksono, mengatakan, memang tidak ada penyebab pasti dari penyakit kanker. Namun, terdapat beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan kanker.
Beberapa faktor risiko ialah mengonsumsi makanan yang dibakar, memakan makanan yang dihangatkan, dan minimnya mengonsumsi sayur dan buah. Selain itu, pola hidup tidak sehat, seperti merokok, kurang aktivitas fisik, dan obesitas juga menjadi faktor risiko kanker. Pola hidup ini juga dapat menjadi penyebab tingginya prevalensi kanker di DIY.
Apa pun faktor risikonya, tingginya prevalensi di DIY dibandingkan provinsi lainnya di Indonesia tentu menjadi lampu kuning bagi pemerintah dan masyarakat untuk menjaga pola hidup sehat. Tak hanya DIY, daerah lainnya, seperti Sumatera Barat, Gorontalo, DKI Jakarta, dan Bali, juga perlu memperoleh perhatian khusus karena termasuk lima daerah dengan prevalensi kanker tertinggi di Indonesia. (Dedy Afrianto/Litbang Kompas)