Kehidupan di Jakarta tak lepas dari sampah plastik. Dari 7.500 ton sampah yang dihasilkan warga Jakarta setiap hari, sampah plastik cukup mendominasi, yakni 1.000-2.000 ton.
Oleh
Krishna P Panolih
·4 menit baca
Aturan pemerintah mengenai kewajiban penggunaan kantong belanja ramah lingkungan pada sarana perdagangan di Jakarta mendapat apresiasi warga. Sebagian besar warga mulai membawa kantong belanja sendiri. Gerakan ini didasari kesadaran ”diet” plastik serta ada program plastik berbayar.
Kehidupan di Jakarta tak lepas dari sampah plastik. Dari 7.500 ton sampah yang dihasilkan warga Jakarta setiap hari, sampah plastik cukup mendominasi, yakni 1.000-2.000 ton.
Pemerintah berupaya untuk mengurangi sampah plastik di Jakarta. Dimulai dengan Surat Edaran Kementerian Lingkungan Hidup 2016 mengenai plastik berbayar. Akan tetapi, program ini hanya bertahan empat bulan.
Kemudian, terbit Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta Nomor 142 Tahun 2019 tentang Kewajiban Penggunaan Kantong Belanja Ramah Lingkungan pada Pusat Perbelanjaan, Toko Swalayan, dan Pasar Rakyat. Pergub ini ditandatangani Gubernur Anies Baswedan pada 27 Desember 2019.
Pengelola pusat belanja, toko, dan pasar akan terkena tiga sanksi apabila tidak menjalankannya. Pertama, teguran tertulis; kedua, denda mulai Rp 5 juta-Rp 25 juta; dan ketiga adalah pembekuan izin. Setelah ketiga sanksi itu, terakhir dikenai pencabutan izin usaha.
Akankah pergub tersebut berjalan efektif? Separuh lebih responden jajak pendapat Kompas pada akhir Januari 2020 yakin larangan itu akan berdaya guna. Optimisme tersebut juga terlihat dari sikap warga pada jajak pendapat September 2019.
Sekitar 4 dari 10 responden pada 2019 mengaku sudah membawa tas belanja sendiri. Kemudian, pada jajak pendapat Januari 2020, publik yang sudah membawa kantong belanja nonplastik meningkat menjadi hampir 6 dari 10 warga.
Kebiasaan membawa tas belanja sendiri ini didasari adanya Program Plastik Berbayar pada 2016. Ketika Hari Peduli Sampah Nasional 2016, Direktur Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengeluarkan Surat Edaran Nomor SE/8/PSLB3/PS/PLB.0/5/2016 tentang Pengurangan Sampah Plastik melalui Penerapan Kantong Belanja Plastik Sekali Pakai Tidak Gratis.
Program ini diikuti 17 kota di Indonesia, termasuk Jakarta. Uji coba pun berlangsung pada Februari hingga Mei 2016. Hasilnya, terjadi penurunan penggunaan kantong berkisar 25-30 persen dalam tiga bulan uji coba pertama.
Program tersebut tak berlanjut. Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) memberhentikan program itu sejak 1 Oktober 2016 karena adanya perbedaan penerapan harga kantong plastik oleh setiap pemerintah daerah. Selain itu juga belum ada kepastian hukum.
Meskipun demikian, sejumlah peritel modern melanjutkan program tersebut. Hal ini dibenarkan oleh 67 persen responden yang menyebutkan pasar modern juga mewajibkan konsumen untuk membayar atau membawa kantong plastik sendiri.
Kesadaran untuk melanjutkan program plastik berbayar terlihat di beberapa pelaku usaha. Lion Super Indo, misalnya, sudah sejak 2016 menjalankan program reward bagi pelanggan yang membawa kantong belanja pakai ulang. Begitu pula gerai resmi peralatan olahraga Adidas, toko kosmetik Body Shop, atau restoran Satay House Senayan yang hanya menyediakan kantong kertas.
Tidak efektif
Akan tetapi, masih ada 43 persen responden pesimistis pergub tentang kewajiban penggunaan kantong belanja ramah lingkungan akan berjalan efektif. Hal ini terkait dengan adanya 41 persen responden yang belum mengetahui perihal pergub itu yang akan mulai berlaku Juli.
Selain itu, pedagang pasar ataupun pedagang kaki lima, menurut 91 persen responden, juga masih memberikan plastik gratis kepada konsumen. Padahal, sejak awal tahun lalu, Pemerintah Provinsi DKI mulai gencar menyosialisasikan peraturan itu di beberapa pasar tradisional. Salah satunya adalah Pasar Tebet Barat dan Tebet Timur yang menjadi proyek percontohan pembatasan kantong plastik sekali pakai.
Peraturan pembatasan plastik juga belum menyentuh produsen plastik. Sementara itu, pihak Kementerian Perindustrian meminta pemerintah daerah tidak menerbitkan aturan yang melarang peredaran kantong dan kemasan plastik.
Alasannya, aturan pelarangan tersebut bisa mengganggu perekonomian nasional karena sektor plastik dan karet berkontribusi terhadap produk domestik bruto.
Bukan tidak mungkin proyek percontohan ini akan mengalami kendala. Masalahnya, di DKI Jakarta saja, menurut Direktori Kementerian Perindustrian, sampai sekarang setidaknya ada 22 pabrik kantong plastik yang masih beroperasi.
Eti, pedagang jeruk di Pasar Palmerah, Jakarta Pusat, mengaku pasrah saja kalau pemerintah melarang pedagang memberi kantong plastik.
Di sisi lain, masih ada 40 persen responden yang belum mempunyai kebiasaan membawa kantong belanja sendiri. Hal ini jadi salah satu hambatan pergub tersebut akan berjalan efektif.
Alasan yang banyak disebut responden yang belum membawa kantong belanja sendiri adalah repot (32 persen) dan sering lupa (29 persen). Padahal, telah banyak produsen kantong belanja dari kain yang menghasilkan kantong belanja yang bisa dilipat kecil dan dimasukkan ke tas.
Mewujudkan aturan terkait kewajiban penggunaan kantong belanja ramah lingkungan bukan hanya tugas pemerintah. Langkah ini juga menuntut kesadaran warga untuk membiasakan membawa tas/kantong belanja sendiri serta menolak pemberian tas plastik dari pedagang saat berbelanja. (LITBANG KOMPAS)