Dari lima temuan analisis isi pada rapat dengar pendapat, bisa ditarik kesimpulan, betapa sulit membangun Lembaga Penyiaran Publik. Buruknya komunikasi ditandai dengan tidak sejalannya program Dirut TVRI
Oleh
Topan Yuniarto
·4 menit baca
Di tengah kemelut organisasi yang melanda TVRI, ternyata isi siarannya dalam setahun terakhir mendapat apresiasi publik. Sebagai televisi publik, isi siaran TVRI diharapkan semakin menarik, cerdas, dan berbobot.
Hasil pengumpulan pendapat yang dilakukan Litbang Kompas periode 29-30 Januari 2020 terhadap 532 responden di 17 kota besar memberikan gambaran, publik masih membutuhkan TVRI. Nyaris semua responden (95 persen) menyatakan setuju jika TVRI sebagai Lembaga Penyiaran Publik (LPP) menayangkan program acara yang berbobot, menarik, dan diminati banyak penonton.
Hal ini tak lepas dari pembenahan konten dan tampilan layar program berita di TVRI selama dua tahun terakhir. Upaya pembenahan tampilan layar tersebut selaras dengan hasil pengumpulan pendapat, yakni 60,9 persen responden menyatakan, dalam setahun terakhir kualitas program TVRI semakin baik dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Kini, upaya menayangkan program yang menghibur dan menarik terus dilakukan TVRI. Program sepak bola Liga Inggris, misalnya, sangat disukai pemirsa. Hal ini mengingatkan pada era kejayaan TVRI saat menayangkan ajang sepak bola Piala Dunia tahun 1970 hingga era 1990-an, sebelum kehadiran televisi swasta dan televisi lokal.
Pada saat yang sama, TVRI menjadi referensi bagi penonton untuk menyaksikan kejuaraan dunia bulu tangkis yang diselenggarakan oleh Federasi Badminton Dunia (BWF). Tayangan Liga Inggris dan Kejuaraan Dunia Bulu Tangkis mendapat respons positif dari publik. Lebih dari separuh responden menyatakan menyaksikan tayangan Liga Inggris dan kejuaraan bulu tangkis di TVRI. Tak mengherankan, hampir semua responden (92,1 persen) menyatakan setuju jika TVRI menayangkan dua kejuaraan olahraga berkelas itu.
Langkah TVRI menayangkan final kejuaraan bulu tangkis Indonesia Masters Januari 2020 yang berlangsung di Istora Senayan, Jakarta, kembali mengangkat pangsa pasar pemirsa stasiun televisi itu. Share penonton TVRI tercatat 5,94 dan berada di peringkat ke-8 dari 15 televisi nasional.
Sebelumnya, pada September 2019, saat TVRI menayangkan pertandingan sepak bola kualifikasi Piala Dunia antara Indonesia dan Thailand, untuk pertama kalinya share penonton TVRI berada di peringkat pertama dengan raihan angka 16,85. Hasil ini mengalahkan berbagai tayangan sinetron yang kerap merajai rating dan share televisi swasta nasional berdasarkan data Nielsen.
Temuan menarik dari pengumpulan pendapat ini adalah program berita, informasi, dan dialog ternyata merupakan program yang rutin disaksikan oleh responden. Sebanyak 38 persen responden menegaskan hal tersebut.
Duduk perkara
Litbang Kompas menganalisis isi rekaman video Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi I DPR dan Dewan Pengawas (Dewas) TVRI pada 21 Januari 2020. Isi rekaman RDP Komisi I DPR dengan para anggota direksi TVRI pada 27 Januari 2020, dan RDP Komisi I DPR dengan Helmy Yahya, Dirut TVRI yang diberhentikan Dewas TVRI pada Januari 2020 juga dianalisis.
Terdapat beberapa temuan menarik dari hasil analisis tiga rapat dengar pendapat tersebut. Pertama, konflik TVRI terjadi karena komunikasi yang buruk antara Dewan Pengawas TVRI dan Dirut TVRI dalam kurun waktu 2018-2019.
Buruknya komunikasi ditandai dengan tidak sejalannya program Dirut TVRI yang ingin mengakselerasi kemajuan program dan konten LPP TVRI dengan apa yang diinginkan Dewas TVRI. Hal itu juga ditandai dengan kurangnya upaya komunikasi ”duduk bersama” dalam menyelesaikan persoalan. Hubungan keduanya lebih banyak melalui surat-menyurat, padahal ruang kerja mereka sama-sama di Gedung TVRI.
Kedua, anggota Komisi I DPR menyatakan terdapat kejanggalan yang dilakukan Dewas TVRI terkait pemecatan Helmy Yahya. Dasar hukum dan pasal pemberhentian terhadap Helmy Yahya dipertanyakan anggota Komisi I DPR karena dianggap kurang kuat, kurang beralasan, serta tidak disertai bukti-bukti konkret. Satu anggota Dewas bahkan berbeda pendapat dengan empat anggota Dewas lainnya.
Ketiga, DPR memiliki pekerjaan rumah untuk segera menuntaskan dan mengesahkan revisi UU Penyiaran dan meninjau lagi peraturan tentang LPP TVRI. Dalam RDP bersama direksi TVRI, terungkap salah satu penyebab utama kekisruhan TVRI ialah payung hukum dunia penyiaran yang tak sesuai dengan kondisi zaman, selain hubungan tata laksana Dewas dan direksi TVRI.
Sementara itu, revisi UU Penyiaran tidak segera selesai diduga karena para pemilik stasiun televisi swasta gencar melobi agar kepentingan bisnis mereka terakomodasi dalam pasal-pasal yang dibahas. Keempat, pada RDP Komisi I DPR dengan Helmy Yahya terungkap, mayoritas anggota Komisi I DPR pada intinya setuju dengan langkah Helmy Yahya beserta direksi TVRI yang melakukan perubahan konten TVRI supaya lebih baik.
Kelima, Komisi I DPR sepakat dilakukan audit penggunaan anggaran TVRI dan kinerja TVRI oleh BPK atau lembaga lainnya untuk mengetahui keselarasan alokasi anggaran dan upaya meningkatkan konten serta penonton TVRI. Komisi I DPR juga akan mendengarkan suara karyawan TVRI dan pengelola televisi swasta untuk memutuskan sikap pada kasus kisruh TVRI.
Dari lima temuan analisis isi pada rapat dengar pendapat tersebut, bisa ditarik kesimpulan, betapa sulit membangun Lembaga Penyiaran Publik. Status aparat sipil negara yang melekat pada 4.800 karyawan TVRI, disertai mekanisme anggaran yang berbasis APBN, membuat TVRI kurang dapat bergerak cepat.
Padahal, pada era digital yang serba cepat seperti sekarang, dunia penyiaran harus berubah baik dari sisi kultur lembaga maupun produk konten yang dihasilkan. TVRI akan mampu menjadi lembaga penyiaran kelas dunia, seperti BBC dan NHK, jika disertai pendanaan kuat dari negara, pengelolaan sumber daya berorientasi penonton, dan dukungan politik memadai. (LITBANG KOMPAS)