Bantuan Pangan Nontunai (BPNT) oleh pemerintah sudah dimulai sejak masa krisis moneter. Kini, bantuan tersebut disalurkan melalui sistem yang kemudian dinamakan E-warong. Tujuannya, untuk menyalurkan secara efisien.
Oleh
YOHANES MEGA HENDARTO
·3 menit baca
Penyaluran BPNT melalui E-warong sudah dimulai sejak Februari 2017. Dengan sistem ini, bantuan tidak lagi dalam bentuk beras, tetapi dana yang ditransfer ke rekening penerima. Sasaran awalnya mencakup 6 juta keluarga dan kemudian naik di 2019 menjadi 15,5 juta keluarga.
Jauh sebelumnya, bantuan pangan di era awal reformasi (Juli 1998) dijalankan dengan memberi bantuan beras kepada masyarakat miskin. Kala itu, lonjakan harga bahan pangan akibat krisis moneter menjadi latar belakang kebijakan ini. Program tersebut dinamakan Operasi Pasar Khusus (OPK).
Selang empat tahun kemudian, di bawah pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, kebijakan tersebut berubah nama menjadi Beras Miskin (Raskin). Skemanya sama dengan sebelumnya, hanya saja diakui lebih tepat sasaran kepada penerima bantuan.
Di 2016, pemerintah mengubah skema Raskin menjadi Beras Sejahtera (Restra). Di tahun tersebut, sasarannya mencapai 15,52 juta rumah tangga. Tahun berikutnya, sasaran berkurang menjadi 14,3 juta rumah tangga seiring dimulainya program BPNT.
Skema bantuan pangan tersebut tak lepas dari sejumlah masalah. Mulai dari impor beras hingga naiknya anggaran subsidi beras yang membebankan negara. Belum lagi, adanya penyelewengan di distribusi bantuan seperti munculnya monopoli ataupun kartel beras yang dilakukan oleh sejumlah pihak.
Solusi penyaluran
Program E-warong (Elektronik Warung Gotong Royong) menjadi strategi pemerintah agar terhindar dari bentuk-bentuk penyelewengan tersebut. Konsepnya sederhana, yakni BPNT diberikan kepada Keluarga Penerima Manfaat (KPM) melalui Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) secara langsung.
Para KPM dapat menggunakan KKS untuk membeli sejumlah bahan pangan, seperti beras, minyak, dan telur, di E-warong yang disediakan Kementerian Sosial.
E-warong dapat dijumpai di pasar tradisional, warung, toko kelontong, warung desa, Rumah Pangan Kita (RPK), agen bank yang menjual bahan pangan, atau usaha eceran lainnya. Tentu saja, lokasi-lokasi tersebut memiliki tanda sebagai penyaluran bantuan sosial nontunai. Penerima bantuan melakukan transaksi secara nontunai karena bergantung pada jumlah saldo yang tersimpan pada chip KKS.
Sekalipun E-warong turut berperan dalam penyaluran BPNT, fungsinya tidak sebatas itu saja. Masih mengacu pada peraturan Mensos, E-warong juga berfungsi untuk melayani pembayaran telepon, listrik, dan air, memasarkan hasil produksi Kelompok Usaha Bersama (KUBE), menjadi agen bank dalam penyaluran bantuan sosial, serta melakukan usaha pengemasan ulang bahan pangan pokok dari bentuk curah menjadi kemasan tertentu.
Keberadaan E-warong ditargetkan akan tersebar di 98 kota dan 200 kabupaten di Indonesia. Misalnya di Malang, setidaknya terdapat 7.733 E-warong yang dibentuk oleh KPM dan bekerja sama dengan sejumlah bank dalam penyaluran bantuan sosial. Sementara di Jakarta Barat, per 2018 jumlah E-warong baru ada 59 buah yang tersebar di 8 kecamatan.
Dilihat secara luas, program E-warong terletak dalam salah satu strategi besar yang digagas oleh Kementerian Sosial demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Harry Hikmat selaku Direktur Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial merilis strategi Kemensos ini pada November 2017.
Program E-warong setara dengan Kredit Usaha Rakyat (KUR), KUBE, Program Nasional Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), dan sebagainya. Dalam bagan strategi tersebut, semua program ini masuk dalam kategori Transfer Aset dan memiliki batasan waktu. Artinya, bentuk bantuan sosial ini sifatnya sementara sambil diimbangi dengan beragam program lainnya.
Program lain yang harus dijalankan, selain pemberian bantuan, ialah program yang sifatnya mendampingi masyarakat agar mampu meningkatkan kesejahteraan secara mandiri ke depannya. Ada empat program pendampingan lainnya, yakni Pendampingan, Pelatihan Keterampilan, Tabungan (literasi dan inklusi keuangan), dan Bantuan Konsumsi atau Pendapatan (sifatnya sementara).
Pengawasan
Kendati skema BPNT melalui E-warong dilihat sebagai salah satu solusi, pengawalan dalam pelaksanaan di lapangan tetap perlu diterapkan. Pasalnya, Perum Bulog melaporkan ada sekitar 300 E-warong yang diduga ”siluman” yang digunakan sebagai wadah penyaluran bantuan pangan nontunai.
Pengelola atau agen E-warong ilegal itu diduga bekerja sama dengan oknum penyalur untuk mengintimidasi masyarakat penerima BPNT. Modusnya, agen tersebut memiliki penyuplai tersendiri dan bekerja sama untuk bagi hasil. Kemudian, para penerima bantuan diancam namanya akan dicoret apabila tidak membeli di sana.
Selain itu, juga ditemukan dugaan adanya kasus penggelapan bantuan. Caranya adalah dengan menukar beras kualitas premium dengan beras medium dalam kemasan beras Bulog palsu.
Apa pun bentuk penyelewengan yang diduga terjadi, pemerintah perlu serius dalam mengawal berjalannya program kesejahteraan masyarakat ini. Masyarakat pun diminta turut aktif mengawal dan berani melaporkan apabila melihat ada kejanggalan. Semua ini diperlukan agar kesejahteraan menjadi tujuan dan miliki bersama. (LITBANG KOMPAS)