Pariwisata Banyuwangi (3): Bermodalkan Partisipasi Masyarakat
Pemelajaran masyarakat Banyuwangi banyak terangkat lewat festival dengan strategi melibatkan masyarakat secara langsung dalam pembudayaan pariwisata.
Partisipasi masyarakat dalam mengembangkan pariwisata Banyuwangi merupakan kunci yang dibangun dengan kerja keras oleh Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, dengan menerapkan kebijakan yang tepat. Setidaknya, ada dua hal yang membuat partisipasi masyarakat menjadi aset yang dapat dikembangkan, yaitu inovasi dalam pembentukan agenda dan pemberian ruang yang luas kepada masyarakat untuk berkontribusi.
Melalui agenda kegiatan dan festival yang diselenggarakan, pemerintah daerah tidak saja mendapatkan capaian atas target kunjungan wisatawan, tetapi juga ”mendidik” masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Event atau festival menjadi sarana bagi pemerintah untuk mengomunikasikan program sekaligus mengajak masyarakat berperan serta.
”Pemelajaran masyarakat banyak terangkat lewat festival. Strateginya pelibatan masyarakat secara langsung dalam pembudayaan pariwisata. Terutama lewat macam-macam event. Setiap event, misalnya balap sepeda sepanjang 560 km, maka kita minta masyarakat untuk membantu mengawasi agar tidak rusak, tidak becek, tidak ada air. Ini memberi spirit kepada mereka. Oh, ternyata rakyat diperlukan, dilibatkan,” papar Asisten Administrasi Pembangunan dan Kesejahteraan Rakyat Kabupaten Banyuwangi Suyanto Waspo Tondo Wicaksono atau biasa dipanggil Yayan (16/12/2019).
Setiap event, kita minta masyarakat untuk membantu mengawasi agar tidak rusak, tidak becek, tidak ada air. Ini memberi spirit kepada mereka. Oh, ternyata rakyat diperlukan, dilibatkan.
Pada saat pergelaran tari Gandrung Sewu tahun 2019, masyarakat dari semua kampung juga dilibatkan. Pemerintah juga menjadikan masyarakat sebagai basis utama dari pengembangan acara berdimensi pariwisata. Langkah-langkah afirmatif oleh pemerintah dilakukan untuk membangkitkan budaya-budaya lokal. Menurut Kepala Dinas Pariwisata M Yanuar Bramuda, pemerintah memulai dengan kebijakan yang prorakyat.
”Contohnya adalah bagaimana budaya lokal bisa menjadi atraksi di sini. Jadi, kalau ada 99 event, berarti ada 99 panggung dari sanggar-sanggar yang kita jadwalkan. Kalau dulu sanggar-sanggar hidup segan mati tak mau, sekarang menjadi sumber penghidupan karena pemerintah sudah nanggap (mendatangkan dan membiayai pertunjukan). Dananya dari APBD kami,” papar Bramuda.
Selain itu, Bupati Azwar Anas juga membuat kebijakan agar setiap acara, mulai dari tingkat RT sampai tingkat kabupaten, ada pertunjukannya. Sehingga semua kelompok pertunjukan budaya hidup. Dengan seringnya agenda pertunjukan, pelan-pelan tiap sanggar memperbaiki kualitas, penampilan, busana, dan lain-lain.
”Budaya lokal yang dahulu hampir tidak ada yang melirik, sekarang menjadi idola. Contohnya, pertunjukan Kebo-keboan yang tadinya hanya sekadar tradisi menjelang petani mengolah sawah, kini menjadi tarian pertunjukan yang banyak mendatangkan wisatawan. Manusia jadi-jadian menyerupai kerbau itu sekarang menjadi maskot, bahkan bisa tampil di Tour de Ijen, bule-bule juga senang,” papar Bramuda.
Upaya pendampingan
Upaya pendampingan juga dilakukan terhadap industri kreatif agar cepat bertumbuh. Pemerintah menampung orang-orang yang berminat untuk terjun ke dunia kerajinan, misalnya batik. Pada awalnya, mereka menyiapkan instruktur untuk mengajar kelompok-kelompok calon pembatik, berkolaborasi dengan industri batik besar.
”Misalnya, kami mengajar satu kelompok 20 orang. Instrukturnya kita siapkan. Instruktur ini wajib hukumnya membeli produk dari perajin yang dilatih. Jadi, mereka yang dilatih itu semangat sehingga berapa pun hasilnya, dia akan tetap tampung, dibeli. Nanti lama-lama baru mereka bergeser menjadi pembatik dengan modal sendiri. Cepatnya pertumbuhan batik, ya, karena itu,” ungkap Kepala Bidang Perindustrian Kabupaten Banyuwangi I Komang Dedi Budi Setyadi.
Untuk menggerakkan ekonomi rakyat, Bupati juga melarang kehadiran Alfamart dan Indomaret, sebaliknya memperkuat pasar rakyat. Festival pasar tradisional pun diadakan sehingga selain terjadi penataan spontan oleh masyarakat, juga mulai tumbuh pasar-pasar baru seperti Pasar Kemiren, Pasar Wit-witan, Kampung Lukis (pasar lukisan), Pasar Olehsari (pusat oleh-oleh), Pasar Samar Wulu (pasar senja). Pasar-pasar itu terkemas rapi dan bersih karena partisipasi masyarakat.
Partisipasi masyarakat juga digerakkan lewat kebijakan pemda yang melarang pembangunan hotel di destinasi wisata. Pantai-pantai di sini dikelola oleh Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis), yaitu lembaga yang didirikan warga desa yang anggotanya terdiri dari para pelaku kepariwisataan yang berperan sebagai penggerak menciptakan iklim kondusif bagi berkembangnya kepariwisataan.
Dampak dari kebijakan ini, homestay tumbuh. Warga sekitar pun langsung mendapatkan manfaat dari perkembangan pariwisata di destinasi dan masyarakat luas dapat langsung menikmati tempat wisata tanpa terhalang oleh privasi hotel.
Pantai-pantai dikelola oleh Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis), yang didirikan warga desa yang anggotanya terdiri dari para pelaku kepariwisataan.
”Jadi pantai-pantai masih bisa diakses. Dan, itu uangnya masuk ke mereka, ini menjadi pemberdayaan. Homestay-nya bagus-bagus, mulai dari 250.000 rupiah sampai 1 juta rupiah. Akhirnya ekonomi menjadi berkeseimbangan. Investor dapat, rakyat dapat,” kata Bramuda.
Memberi ruang
Upaya pemerintah dalam pengembangan pariwisata budaya juga dilaksanakan dengan memberi ruang secara proporsional kepada semua komponen masyarakat. Di Banyuwangi terdapat tiga kultur dominan, yaitu Jawa, Madura, dan Osing. Di luar itu juga terdapat kultur Bali, Mandar, dan sebagainya.
Kultur orang Jawa Mataraman terdapat di Banyuwangi bagian selatan. Kultur Madura di utara atau dikenal sebagai kultur Pandalungan. Kultur Osing di bagian tengah. Sementara kultur lainnya seperti Bali dan Mandar lebih banyak berada di Kota Banyuwangi.
”Ini kalau tidak kita akomodasi semua pasti menjadi polemik. Maka, Dewan Kesenian Banyuwangi menjadi wadahnya. Itu isinya dari berbagai macam budaya yang berkumpul menjadi satu. Mereka menerjemahkan Banyuwangi mau dibawa ke mana. Di sisi lain, budaya kita tumbuhkan mulai dari sekolah.
Ada panggung Culture Everyday tiap malam di Taman Blambangan, itu khusus anak-anak sekolah, memberi panggung mereka agar terus mengembangkan budaya,” kata Yayan. Pengembangan kultur lokal juga diterapkan dalam program ekstrakurikuler sekolah sehingga sekarang tari tradisional menjadi salah satu yang dianggap ”keren” untuk diikuti.
Sejumlah strategi dilakukan untuk memberi ruang pada pemangku budaya yang berbeda-beda, dengan prinsip menumbuhkan keunggulan budaya tiap etnis, namun tidak memangkas yang sudah berkembang. Untuk memberi ruang kepada kultur Islam, misalnya, pemerintah menyelenggarakan Festival Muharam, Ramadhan, Sholawat, Maulid, Musik Islami, dan Hadrah.
Senada dengan itu, tradisi Osing juga diangkat lewat berbagai festival, seperti Gendhing Osing, Gandrung Sewu, Ngopi Sepuluh Ewu, Tumpeng Sewu, dan Kebo-keboan. Gambaran tentang suku Osing yang dahulu mendapat stigma sebagai masyarakat yang lekat dengan santet kemudian diubah dengan memberi mereka panggung yang cukup banyak.
Persepsi tentang santet pun kini perlahan menghilang, bahkan kata Osing menjadi maskot yang cukup ampuh mengangkat keunikan pariwisata Banyuwangi.
”Untuk menjaga keharmonisan antarbudaya, semua kultur diberi ruang yang sama, kesempatan yang sama, tidak dibeda-bedakan, dan terlibat bersama-sama. Kalau ada keluhan mengapa Gandrung melulu, dilakukan kolaborasi acara, bisa sholawatan dulu baru Gandrung atau sebaliknya. Dalam festival Gandrung Sewu (yang kontroversial), penarinya pakai manset untuk menutup aurat atau kulit tangan dan kaki yang terbuka,” pungkas Yayan. (LITBANG KOMPAS)
Metode Penelitian
Daya Saing Pariwisata (DSP) 2019 untuk 508 kota/kabupaten di Indonesia oleh Litbang Kompas mengadopsi The Travel & Tourism Competitiveness Index (TTCI) yang diterbitkan World Economic Forum. Setelah disesuaikan dengan kondisi Indonesia, DSP disusun dari empat aspek, 14 pilar, dan 40 indikator. Aspek tersebut antara lain sarana pendukung, tata kelola, infrastruktur, serta sumber daya alam dan budaya. Aneka data yang berasal dari BPS dan instansi resmi lainnya yang mendukung empat aspek kemudian diolah dan dinormalisasi dari skala 1 (terendah) hingga 5 (tertinggi). Selanjutnya, setelah angka per pilar didapatkan disusul dengan skor per aspek dihasilkan, nilai DSP untuk setiap kabupaten dan kota di Indonesia pun diperoleh.