Menelaah Transformasi Digital UMKM
Usaha mikro, kecil, dan menengah harus naik kelas. Pemasaran produk UMKM perlu memanfaatkan teknologi digital dalam mendukung visi ekonomi menuju pertumbuhan berkualitas, inklusif, berkelanjutan, dan berdaya saing.
Usaha mikro, kecil, dan menengah berperan dominan dalam perekonomian Indonesia. Kontribusi UMKM dalam produk domestik bruto (PDB) Indonesia mencapai lebih dari separuhnya. Besarnya kontribusi tersebut berdampak pada penyerapan tenaga kerja dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, bahkan dapat menurunkan angka kemiskinan.
Peranan dominan lain dari UMKM tak lain mencerminkan kekuatan ekonomi. Sektor riil yang digerakkan UMKM dapat menjadi bantalan krisis ekonomi. Sektor ini mampu bertahan dalam krisis sehingga menyelamatkan negara dari keterpurukan ekonomi yang lebih dalam.
Ketahanan tersebut dapat terjadi karena tiga faktor. Pertama, pada umumnya UMKM menghasilkan barang konsumsi dan jasa yang dekat dengan masyarakat. Kedua, pelaku usaha memanfaatkan sumber daya lokal sebagai faktor produksi. Ketiga, sebagian besar pembiayaan bisnis UMKM tidak ditopang dana pinjaman.
Perkembangan UMKM perlu didorong guna mewujudkan dampak berganda (multiplier effect) dari ”kue” UMKM.
Faktor-faktor itu yang membuat UMKM tidak mengandalkan bahan baku impor dan tidak rapuh dengan kondisi instabilitas lembaga keuangan. Ketika krisis terjadi, justru skala usaha besar yang terpuruk (collapse).
Besarnya peranan UMKM menjadikan UMKM sebagai tulang punggung perekonomian negara. Kontribusinya terhadap PDB mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Sumbangan UMKM pada PDB adalah 51,5 persen pada 2014 dan naik menjadi 57,8 persen pada 2018.
Sumbangan ini berasal dari 62,1 juta unit usaha mikro, 757.100 unit usaha kecil, dan 58.600 unit usaha menengah. Dengan demikian, perkembangan UMKM perlu didorong guna mewujudkan dampak berganda (multiplier effect) dari ”kue” UMKM.
Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, kegiatan usaha dibedakan berdasarkan aset dan omzet. Namun, jika dicermati, struktur skala usaha UMKM di Indonesia tidak banyak mengalami perubahan. Skala UMKM perlu didorong agar semakin banyak usaha mikro yang naik kelas menjadi usaha kecil, menengah, dan usaha besar.
Pada 2019, pangsa usaha mikro Indonesia sebesar 98,70 persen dari seluruh populasi unit usaha. Sementara pangsa usaha kecil hanya 1,20 persen dan usaha menengah hanya 0,09 persen dari seluruh populasi unit usaha.
Kondisi di Indonesia berbeda dengan pangsa UMKM di Inggris dan Malaysia. Di Inggris, pangsa usaha mikronya sebesar 89,43 persen dari seluruh populasi unit usaha. Adapun pangsa usaha kecilnya sudah mencapai 8,68 persen, dengan usaha menengah mencapai 1,52 persen.
Sementara pangsa usaha di Malaysia untuk usaha mikro sudah mencapai 75,35 persen. Usaha kecilnya mencapai 20,94 persen dan usaha menengah sebesar 2,24 persen dari seluruh populasi unit.
Data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah juga menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan per unit usaha di Indonesia masih jauh dari batas atas setiap kelas usaha pada UU Nomor 20/2008. Pada level usaha mikro, rata-rata pendapatan per unit usaha sebesar Rp 83,7 juta per tahun.
Sementara rata-rata pendapatan per unit usaha kecil Rp 1,7 miliar dan usaha menengah Rp 31,7 miliar. Karena itu, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dituntaskan agar skala usaha dapat naik pada level di atasnya.
Pemanfaatan media digital
Pemanfaatan media digital dapat menjadi salah satu solusi menaikkan pasar bisnis dan melahirkan UMKM baru. Melalui pendekatan ini, pengembangan usaha yang lebih besar dapat dicapai karena kenaikan omzet. Berdasarkan survei McKinsey, pertumbuhan bisnis UMKM yang melakukan penjualan secara daring minimum dua kali lipat setahun.
McKinsey juga memprediksi bahwa ekonomi Indonesia pada 2025 akan terdongkrak sebesar 10 persen melalui aktivitas digital. Peluang lain berasal dari adanya penciptaan lapangan kerja baru dari skema daring.
Badan Pusat Statistik mencatat, nilai transaksi e-dagang di Indonesia pada 2019 mencapai Rp 17,2 triliun. Potensi ekonomi digital yang sangat besar ini tidak boleh disia-siakan. Bonus demografi dan penetrasi pengguna internet di Indonesia sebagai ukuran pasar (market size) mendorong tumbuhnya UMKM yang melek digital.
Namun, data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah pada 2016 menunjukkan bahwa hanya 9 persen UMKM di Indonesia yang sudah memanfaatkan pasar digital. Sisanya belum mengenal bisnis daring atau gagap teknologi. Kondisi ini mengartikan bahwa peluang untuk terjun dalam bisnis perdagangan digital (e-dagang) terbuka lebar.
Untuk itu, dalam mendukung visi ekonomi Indonesia di era Industri 4.0, Kementerian Komunikasi dan Informatika berkolaborasi dengan kementerian lain melakukan upaya program gerakan nasional digitalisasi UMKM (Go Online).
Gerakan ini untuk mendorong 8 juta UMKM melakukan transaksi penjualan secara daring hingga 2020.
Kolaborasi juga dilakukan bersama pasar digital (marketplace) untuk mewujudkan ekosistem gerakan tersebut. Pasar digital yang turut berpartisipasi antara lain Tokopedia, Lazada, Shopee, Blibi.com, Bukalapak, Blanja.com, dan Mataharimall.com.
Keberadaan pasar digital berdampak pada kelahiran UMKM baru dan pengembangan bisnis. Dampak itu terlihat pada marketplace Tokopedia. Selama satu dekade, Tokopedia telah melahirkan 86,5 persen pelaku usaha baru dan 10,3 persen lapangan pekerjaan baru. Sebanyak 94 persen penjualnya merupakan kategori skala ultramikro.
Selain itu, Tokopedia telah menggerakkan 1,5 persen ekonomi Indonesia pada 2019 dengan meningkatkan penjualan 22 persen. Peningkatan tersebut karena daya saing harga yang lebih murah serta penjualannya tak terbatas jarak dan waktu.
Data ini menunjukkan bahwa kehadiran marketplace telah berpartisipasi dalam mewujudkan pemerataan dan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Peluang ini harus segera dimanfaatkan oleh pelaku UMKM untuk menaikkan level skala usahanya dan berkontribusi pada pertumbuhan yang berkualitas, inklusif, berkelanjutan, dan berdaya saing.
Tantangan lain
Tingginya peluang pada pasar digital muncul seiring dengan tantangan yang semakin berat. Meskipun digitalisasi memudahkan skala UMKM untuk bergeser, masih banyak tantangan yang harus ditempuh untuk menaikkan daya saing usaha.
Tantangan tersebut antara lain gagap digital, keterbatasan modal, peralatan manual, kekuatan merek (brand), inovasi dan nilai tambah produk (value added), legalitas kualitas produk, manajemen sumber daya manusia, dan pembukuan laporan keuangan. Pemerintah perlu turun tangan melakukan pendampingan dan pelatihan kepada UMKM untuk mengatasi tantangan tersebut.
Pendampingan semacam ini akan menjadi bekal UMKM untuk dapat bersaing di pasar. Bahkan, standar atau spesifikasi produk perlu ditetapkan pemerintah dan diterapkan pada UMKM. Kemudian, dalam perkembangannya, tentu UMKM juga harus selalu dimonitor dan dievaluasi.
Keberadaan pemerintah di tengah UMKM ini sebagai upaya mengangkat UMKM agar meningkatkan daya saing nasional dalam pertarungan ekonomi global. Posisi UMKM sebagai akselerator atau motor penggerak pertumbuhan perlu dilindungi dan diperhatikan. Dengan adanya hal tersebut, bukan tidak mungkin peta pasar digital yang tumbuh dengan cepat selama beberapa tahun akan dikuasai pelaku UMKM. (Litbang Kompas)