Menyoal Panasnya Monas
Kawasan Monas yang dulunya dikelilingi pepohonan hijau yang mengelilingi tugu, kini akan tampak ”botak” di sisi selatannya.
Monas kembali menjadi perhatian publik. Kali ini persoalan proyek revitalisasi yang mencabut 190 pohon di sisi selatan Monas. Beberapa tahun sebelumnya, sejumlah kebijakan Gubernur DKI juga menimbulkan polemik, seperti pemagaran Monas, rencana pembangunan taman rekreasi dan ruang bawah tanah, hingga pelarangan delman di kawasan Monas.
Pemandangan Monas dari lantai 24 Gedung Perpustakaan Nasional kini tak lagi indah. Kawasan Monas yang dulunya dikelilingi pepohonan hijau yang mengelilingi tugu, kini akan tampak ”botak” di sisi selatannya. Sisi selatan yang berbatasan dengan parkir IRTI terlihat berwarna coklat bercampur abu-abu warna beton. Itulah bagian dari rencana Revitalisasi Monas 2020 yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI.
Pemprov DKI merencanakan membangun plaza untuk upacara atau kegiatan publik lainnya di sisi selatan. Rencana pembangunan tersebut mencabut 190 pohon di sisi selatan, sedangkan 85 pohon dipindahkan ke sisi timur dan barat Monas.
Pencabutan pohon dilakukan demi mengoptimalkan lapangan plaza yang direncanakan seluas 34.841 meter persegi. Mengutip dari Instagram ’DKIJakarta’ yang berjudul ”Revitalisasi Kawasan Medan Merdeka”, sisi barat kelak akan dibangun Stasiun MRT. Sementara di sisi timur, pengunjung dari Stasiun Gambir dapat melewati Ruang Renung Genang. Sementara di sisi utara, penangkaran rusa bakal menjadi daya tarik wisatawan. Di tengah, dibuat kanal retensi air.
Sekilas saat melihat rencana di Instagram tersebut, gambaran kawasan Monas setelah direvitalisasi akan menjadi tempat ideal sebagai ruang publik Jakarta dengan plaza Nusantara, Aspirasi, dan Seni Budaya untuk berbagai aktivitas. Monas dikatakan akan lebih hijau, moda terintegrasi dengan angkutan umum, dan menjadi ruang ekspresi umum publik.
Namun, pencabutan ratusan pohon jelas mengganggu ekosistem yang terbentuk oleh keberadaan pohon tersebut, meski katanya dipindah ke sisi lain Monas. Selama sebuah pohon hidup, sudah terbentuk satu kesatuan rantai makanan di kawasan sekitar pohon tersebut. Ada organisme yang bergantung pada pohon. Hilangnya satu pohon akan membuat rantai makanan terputus.
Baca juga : ”Pengorbanan Pohon Pelindung Ibu Kota”
Ruang terbuka hijau
Taman Monas dibangun tahun 1973, lima tahun setelah tugu Monas selesai dibangun. Taman berupa penanaman pohon di sisi utara dan barat Monas dan sisi lainnya akan dibangun beberapa kolam besar, air mancur, dan tempat rekreasi anak-anak.
Mengutip Kompas 3/1/1973, saat itu pohon kelapa, palem, akasia, spathodea, mahoni dan bungur ditanam di barat dan utara. Selain pohon-pohon tersebut, juga ditanam pohon pengarah jalan dari jenis Salix Babylonica 350 buah dan akasia 200 pohon. Pohon-pohon tersebut berasal dari luar Jakarta.
Setahun kemudian, taman Monas kembali semarak dengan hadirnya air mancur menari di Taman Monas Barat yang beroperasi pada hari kerja dan libur pada jam tertentu. Menyusul pembangunan 11 air mancur besar lainnya di tahun 1975.
Namun, air mancur menari ini berhenti beroperasi pada tahun 2000-an karena kurang perawatan. Pada pemerintahan Gubernur Djarot Syaiful Hidayat (2017), Air Mancur Menari kembali berfungsi dan menjadi hiburan warga setiap Sabtu dan Minggu malam.
Tak hanya sebagai ruang terbuka hijau yang dilengkapi air mancur, kawasan Monas juga dilengkapi dengan taman rekreasi yang disebut Taman Ria Monas. Taman Ria ini berisi permainan anak-anak, seperti komidi putar dan kereta api, bowling centre, kolam renang, serta bioskop.
Taman Ria Monas, pada 1987 di bawah pemerintahan Gubernur Wiyogo Atmodarminto harus pindah. Alasannya, taman rekreasi yang dikelola PT IRTI tersebut sudah habis izinnya sejak 1988. Kawasan Monas sesuai rencana kota akan dijadikan daerah hijau (Kompas, 24/8/1987).
Penegasan kawasan Monas sebagai ruang terbuka hijau berulang kembali pada pemerintahan Gubernur Suryadi Sudirjo (1992-1997). Kawasan seluas 80 hektar tersebut akan menjadi ruang terbuka hijau dan menjadi semacam ”alun-alun” bagi Ibu Kota. Jalan beraspal yang semula mengelilingi Monas diganti dengan taman dan pepohonan.
Taman Medan Merdeka
Monas di bawah pemerintahan Gubernur Sutiyoso tidak hanya berfungsi sebagai ruang terbuka hijau, tapi juga sarana rekreasi. Hal tersebut sesuai dengan RTRW DKI Jakarta 2010 yang menetapkan Taman Medan Merdeka sebagai ruang terbuka hijau dan sarana rekreasi yang berfungsi sebagai civic centre dan pusat pemerintahan.
Kawasan Monas akan dijadikan taman rekreasi terpadu dengan nama Taman Medan Merdeka. Di areal sekitar 100 hektar tersebut akan ditanami pepohonan tinggi yang rindang, tempat parkir bawah tanah, gedung pentas seni, dan sarana transportasi kereta bawah tanah. Pepohonan yang menghijaukan Monas adalah jenis tanaman yang punya ketinggian 5 meter ke atas. Bahkan tahun 2002, Sutiyoso menempatkan sejumlah rusa dari Kebun Raya Bogor di Taman Silang Monas.
Namun saat itu, pembangunan Taman Medan Merdeka juga sempat menimbulkan pro kontra. Diberitakan Kompas, 19/10/2000, penataan kembali kawasan Monas belum memberikan hasil nyata. Padahal tercatat sudah mengeluarkan anggaran hingga Rp 70 miliar sejak dianggarkan periode 1994/1995.
Uang sebanyak itu hanya digunakan untuk pemeliharaan yang berupa penataan areal, penanaman pohon, serta membuat kerangka jalan setapak di sisi utara, barat, dan selatan. Namun, penataan itu sia-sia. Setelah menjadi tempat penyelenggaraan Expo Otonomi Indonesia 2001, kawasan Monas menjadi rusak, kotor, terkesan kumuh dan semrawut.
Hingga berakhirnya jabatan Sutiyoso, pembangunan taman rekreasi terpadu Taman Medan Merdeka tidaklah terwujud. Meski demikian, cukup beruntung kawasan Monas tetap ditetapkan sebagai ruang terbuka hijau dalam produk tata ruang selanjutnya.
Terakhir, dalam RTRW Jakarta 2010-2030, kawasan Monas ditetapkan sebagai kawasan hijau budidaya. Artinya, tetap berfungsi sebagai ruang terbuka hijau berupa taman, tapi bisa dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya manusia seperti rekreasi.
Pemagaran
Kontroversi lain adalah memagari sekeliling kawasan Taman Silang Monas yang dilakukan oleh Gubernur Sutiyoso tahun 2002. Pemagaran tersebut dinilai menghambur-hamburkan uang rakyat dengan memakai ABPD 2002 senilai Rp 9 miliar. Selain itu, pemagaran dinilai membatasi ruang publik Monas yang akan menyulitkan masyarakat berinteraksi.
Pemagaran ini dilakukan Pemprov DKI karena saat itu penuh dengan pedagang kaki lima yang liar berjualan di dalam taman. Monas juga terlihat kumuh karena digunakan sebagai hunian liar para gelandangan.
Meski ditentang banyak pihak, pemagaran tetap dilakukan. Bahkan pada 10-15 Desember 2002, kawasan Monas sempat ditutup untuk kunjungan warga. Penutupan berkaitan dengan penyelesaian akhir pembangunan pagar dan pembersihan puing-puing sisa pembangunan.
Pelarangan delman
Delman juga sempat dilarang beroperasi di Monas. Langkah tersebut diawali oleh Gubernur Fauzi Bowo yang mengeluarkan SK Pemkot Jakarta Pusat Nomor 911/1574/2007 mengenai larangan pengoperasian delman di kawasan wisata Monas.
Larangan keberadaan delman ini terkait dengan kotoran atau feses kuda yang mencemari kawasan Monas. Selain itu, feses kuda yang mengandung bakteri Strongyloides sp dan Clostridum Tetanim juga berpotensi menyebarkan penyakit cacingan dan tetanus pada pengunjung Monas.
Larangan delman beroperasi di dalam Monas kembali dilakukan oleh Gubernur Joko Widodo yang dilanjutkan oleh Ahok. Gubernur Ahok mempunyai kebijakan, delman hanya boleh mengangkut penumpang di depan pintu masuk parkir IRTI. Tak sekadar melarang, Ahok juga mengobati kuda-kuda penarik delman yang sakit untuk sesudahnya direlokasi ke Taman Margasatwa Ragunan.
Pada awal pemerintahan Gubernur Anies-Sandi, delman bisa kembali beroperasi di sekitar Monas, hanya saja ada larangan memasuki kawasan Monas. Saat perhelatan Asian Games 2018, delman di Monas dipindah sementara ke Kawasan Kota Tua dan Ragunan. Setelah itu, delman bisa beroperasi kembali di luar kawasan Monas.
Ruang publik
Di luar berbagai kebijakan gubernur DKI yang menimbulkan polemik, kawasan Monas berhasil menjadi ruang publik masyarakat. Dari awal dibangun hingga sekarang, Monas telah menjadi saksi berbagai peristiwa lokal, nasional, hingga internasional yang mengumpulkan banyak orang dari berbagai kalangan.
Sebut saja di masa Ali Sadikin, area di sekitar Monas menjadi tempat penyelenggaraan Pekan Raya Djakarta. Aktivitas ini berlangsung di Monas hingga 1992. Kemudian pada era Gubernur Soeprapto dan Wiyogo Atmodarminto, ada sejumlah turnamen olahraga seperti Turnamen Tennis Terbuka V dan Piala Monas Tenis Veteran 81.
Berbagai pesta rakyat juga kerap diadakan di Monas, di antaranya perayaan malam Tahun Baru dan hari ulang tahun Jakarta.
Monas juga kerap menjadi ajang penyampaian aspirasi rakyat. Salah satunya adalah Demo 212 yang beberapa kali dilakukan di kawasan Monas.
Ruang publik Monas tak melulu hanya untuk peristiwa besar seperti pesta rakyat, ajang demo, tempat pameran, ataupun kegiatan agama dan budaya. Monas dan taman hijau dengan kerindangan pohon yang usianya puluhan tahun telah menjadi wahana rekreasi bagi seluruh warga.
Namun sekarang, kondisi taman Monas yang ”pitak” sebagian membuat Monas tak lagi indah dan rindang. Apalagi saat revitalisasinya dibiarkan ”mengambang”. Pohon-pohon kadung tercerabut, berganti dengan lapisan tanah dan beton yang semakin membuat panas dan tanah Jakarta kedap air.
Semua warga pasti akan merindukan kawasan Monas yang dulu. Hijaunya kawasan ini menjadi satu-satunya harapan ruang terbuka hijau besar di Jakarta. Kalau sudah begini, Central Park’nya Jakarta akan rusak. Polemik harus segera diakhiri. (LITBANG KOMPAS)