Hari ini, 14 Februari, selain dikenal sebagai Hari Valentine, juga diperingati sebagai hari peringatan perlawanan tentara pembela tanah air. Sebuah jejak sejarah yang tak kalah penting untuk disimak para generasi muda.
Oleh
Dedy Afrianto
·6 menit baca
Hari ini, 14 Februari, selain dikenal sebagai Hari Valentine, juga diperingati sebagai hari peringatan perlawanan tentara pembela tanah air. Keberanian para pemuda Indonesia melawan tentara Jepang di Blitar, Jawa Timur, beberapa bulan sebelum Indonesia merdeka, menjadi pesan cinta yang tersemat dalam sejarah perjalanan bangsa.
Blitar, kota kecil di selatan Jawa Timur, memiliki segudang cerita yang mengiringi kelahiran Indonesia sebagai sebuah negara-bangsa. Peristiwa perlawanan tentara Pembela Tanah Air (Peta) adalah salah satunya. Di tengah kecamuk Perang Pasifik, para pemuda Indonesia mencoba mengambil kesempatan untuk kemerdekaan Indonesia dengan melakukan perlawanan terhadap tentara Jepang.
Peta adalah organisasi militer yang dibentuk oleh Jepang pada 3 Oktober 1945. Tujuan dibentuknya Peta adalah untuk memperkuat basis militer pada wilayah-wilayah di sekitar Pulau Jawa, Madura, dan Bali, dalam menghadapi Perang Pasifik.
Proses kelahiran Peta sebagai organisasi militer tak terlepas dari campur tangan Gatot Mangkupradja, seorang tokoh nasionalis asal Sumedang, Jawa Barat. Panglima Tentara ke-16, Letnan Jenderal Kumakichi Harada, saat itu memang berencana untuk melibatkan tokoh nasionalis dalam pembentukan Peta agar memperoleh simpati dari rakyat.
Gatot Mangkupradja berperan dalam proses permohonan pembentukan Peta yang diajukan pada tanggal 7 September 1943 kepada Gunseikan atau kepala pemerintahan militer. Usulan tersebut diterima melalui penerbitan peraturan atau Osamu Seirei nomor 44 pada 3 Oktober 1943. Secara legal, Peta sebagai organisasi militer resmi dibentuk.
Pembentukan Peta memperoleh perhatian yang cukup besar bagi masyarakat. Ketertarikan untuk bergabung salah satunya terlihat dari kelompok pelajar yang tergabung dalam Seinendan, sebuah organisasi semimiliter yang dibentuk sebagai tenaga cadangan untuk memenangkan perang.
Semangat beragam mengiringi para pemuda untuk bergabung sebagai tentara Peta. Dari sisi pragmatis, ada kelompok pemuda yang masuk Peta dengan alasan kebutuhan pekerjaan. Namun, ada pula para pemuda yang masuk ke organisasi militer ini dengan alasan Jepang perlu dibantu untuk memenangkan Perang Pasifik demi memuluskan cita-cita kemerdekaan Indonesia. Selain itu, juga terdapat beberapa kelompok pemuda yang beranggapan, Peta adalah wadah persiapan sebagai tentara jika Indonesia telah merdeka. (Poesponegoro dan Notosusanto, 2008)
Semangat inilah yang melatarbelakangi keberhasilan Jepang merekrut penduduk lokal sebagai tentara Peta. Calon perwira Peta kemudian memperoleh rangkaian pelatihan sebelum disebar ke daidan atau batalion pada sejumlah titik di Pulau Jawa, Bali, dan Madura.
Perlawanan
Usai pelatihan, para tentara Peta disebar pada beberapa batalion. Saat disebar inilah embrio perlawanan mulai tumbuh, salah satunya pada batalion Peta di Blitar, Jawa Timur, yang telah dibentuk sejak 25 Desember 1943.
Nugroho Notosusanto dalam buku Tentara Peta pada Jaman Pendudukan Jepang di Indonesia (1979) menuliskan, batalion ini dipisahkan dari masyarakat sekitar sepanjang pelatihan kemiliteran. Akibatnya, para tentara Peta yang sedang mengikuti pelatihan militer tidak mengetahui secara langsung penderitaan yang dialami oleh rakyat sekitar.
Walakin, usai pelatihan militer, para tentara Peta diperbolehkan untuk menemui anggota keluarga. Saat itulah tentara Peta yang bertugas di Blitar mengetahui sejumlah penderitaan yang dialami oleh masyarakat, salah satunya ketika para petani dipaksa menjual hasil panen kepada Jepang sehingga mereka tidak memiliki beras yang cukup untuk dikonsumsi.
Kekecewaan terhadap Jepang juga tumbuh saat para tentara Peta ditugasi untuk mengawasi para pekerja di sekitar kawasan pantai selatan Jawa. Kerja paksa yang diterapkan oleh Jepang mengiris hati para tentara Peta. Sebab, mereka dipaksa bekerja hingga sakit, bahkan meninggal dunia.
Dari sisi internal, perlawanan ini juga dilatarbelakangi oleh perlakuan tentara Jepang yang mengharuskan perwira asal Indonesia untuk memberikan hormat terlebih dahulu kepada tamtama asal Jepang. Kondisi ini menambah keyakinan tentara Peta bahwa Jepang bukanlah “saudara tua” seperti yang didengungkan saat awal kedatangan mereka ke Indonesia tahun 1942.
Upaya perlawanan pun mulai dirancang oleh Supriyadi, pemuda berusia 22 tahun asal Trenggalek yang menjabat sebagai Komandan Peleton atau Shodancho tentara Peta di Blitar. Salah satu peran penting Supriyadi adalah melakukan rapat rahasia untuk merencanakan perlawanan yang dilakukan sejak pertengahan September 1944.
Kondisi ini menambah keyakinan tentara Peta bahwa Jepang bukanlah “saudara tua” seperti yang didengungkan saat awal kedatangan mereka ke Indonesia tahun 1942.
Dalam rangkaian rapat rahasia inilah Supriyadi menegaskan misi yang dibawa dalam perlawanan, yakni untuk mencapai kemerdekaan Indonesia dan untuk menghentikan penindasan kepada masyarakat luas.
Setelah serangkaian persiapan dilakukan, pada 14 Februari 1945, sekitar pukul 03.00 dini hari, Supriyadi memberikan aba-aba untuk memulai serangan. Tak lama setelah aba-aba diberikan, tembakan mulai diarahkan ke target yang telah ditetapkan seperti rumah tentara Jepang dan bangunan lainnya yang dihuni oleh tentara Jepang.
Upaya perlawanan lainnya juga dilakukan seperti pengibaran bendera merah putih oleh Partohardjono yang juga menjabat sebagai komandan peleton, hingga mengubah kata “Indonesia akan merdeka” pada sebuah spanduk menjadi “Indonesia merdeka” yang dilakukan atas perintah Sunanto selaku komandan regu.
Namun, upaya perlawanan ini belum berhasil mencapai tujuan utama untuk memerdekakan Indonesia dan menghentikan kekerasan yang dilakukan oleh Jepang. Tentara Peta yang melakukan perlawanan segera dikepung oleh Jepang dengan memanfaatkan tenaga warga sekitar yang tidak ikut melakukan perlawanan. Beberapa pasukan tambahan dari sejumlah daerah seperti Malang juga digerakkan untuk mempersempit ruang gerak para tentara yang melakukan perlawanan.
Jepang yang saat itu tidak memiliki banyak pasukan memutuskan untuk melakukan perundingan guna menghentikan upaya perlawanan. Perundingan dilakukan dengan Muradi, salah seorang kepala batalion yang juga ikut serta dalam perlawanan.
Opsi perundingan yang disepakati adalah janji pengampunan kepada para tentara yang melakukan perlawanan. Namun, janji itu tidak ditepati. Para pemimpin perlawanan akhirnya di bawa ke Jakarta untuk diadili.
Dalam pengadilan di Mahkamah Militer Jepang, enam orang tokoh perlawanan diberikan hukuman mati, yakni Ismangil, Muradi, Suparjono, Sunanto, Halir Mangkudidjaja, dan Sudarmo. Supriyadi tidak termasuk ke dalam daftar nama yang dihukum mati. Sejak perlawanan tentara Peta di Blitar dilakukan hingga saat ini, keberadaan Supriyadi masih belum diketahui secara pasti.
Pesan
Secara fisik, upaya perlawanan yang dilakukan oleh tentara Peta memang belum mencapai tujuan yang dikehendaki. Namun, aksi heroisme dalam waktu singkat ini menjadi gaung bagi aktivitas pergerakan militer pada tingkat daerah.
Salah satu pelajaran penting dalam perlawanan ini adalah pentingnya persatuan untuk menghindari perpecahan. Sebab, Jepang memanfaatkan celah dengan menggunakan tenaga penduduk lokal yang tidak terlibat perlawanan dalam upaya penumpasan pergerakan tentara Peta.
Pesan lainnya dalam perlawanan ini adalah besarnya rasa cinta para tentara Peta kepada rakyat yang mengalami penindasan. Meskipun minim persiapan dan berisiko besar, perlawanan secara diam-diam tetap dilakukan agar rakyat terbebas dari penderitaan.
Ini tentu menjadi refleksi bagi kondisi bangsa saat ini, tepat tiga perempat abad setelah perlawanan tentara Peta dilakukan. Jika dahulu perlawanan dilakukan dengan bertaruh nyawa demi kepentingan rakyat, masihkah kepentingan rakyat menjadi panglima saat ini? (Dedy Afrianto/ LITBANG KOMPAS)