Jalan Terjal SMK Era Digital
Berhadapan dengan revolusi industri keempat, SMK masih berkutat dengan tiga persoalan mendasar. Satu persoalan tak mudah dituntaskan karena menyangkut dua sisi mutu manusia.
SMK, pendidikan menengah vokasi yang digadang-gadang sebagai pencipta sumber daya manusia terampil dan bermutu, masih harus menghadapi rentetan panjang persoalan.
Idealnya, sekolah menengah kejuruan (SMK) didesain untuk menciptakan lulusan yang siap masuk dunia kerja dengan kemampuan teknis yang mereka miliki. Sementara SMK justru tercatat sebagai salah satu penyumbang pengangguran tertinggi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2019, tingkat pengangguran terbuka (TPT) selama lima tahun terakhir mengalami penurunan 0,90 persen. Namun, jika dilihat dari pendidikan yang ditamatkan, tenaga kerja yang tidak terserap pasar kerja paling tinggi justru dari lulusan SMK.
Pada Agustus 2019, TPT lulusan SMK sebesar 10,42 persen turun 0,82 persen dari tahun sebelumnya (11,24 persen). Persentase itu cukup berjarak dengan TPT SMA (7,92 persen). Sementara secara kuantitas, jumlah lulusan siswa SMK tahun ajaran 2018/2019 sekitar 1,4 juta, berada di bawah lulusan SMA yang sekitar 1,5 juta.
Pengangguran lulusan SMK ini menjadi pekerjaan rumah dunia pendidikan mengingat saat ini ekonomi Indonesia di topang oleh sektor industri dengan kontribusi terhadap perekonomian nasional hampir 20 persen.
Semestinya, lulusan SMK banyak diserap di sektor industri manufaktur ini. Lalu, apa yang salah dengan kebijakan pengembangan SMK selama ini?
Problem SMK
Sementara itu, pemerintah kini kian gencar menambah jumlah SMK untuk menjawab kebutuhan era industri keempat.
Beberapa strategi digunakan pemerintah untuk memenuhi tantangan itu. Pemerintah membekukan penambahan SMA, membuka SMK baru, dan bahkan mengonversi SMA menjadi SMK. Strategi tersebut membuahkan hasil jumlah SMK dan siswa SMK semakin meningkat.
Tahun ajaran 2018/2019, jumlah SMK mencapai 14.064 unit, sedikit lebih tinggi dari jumlah sekolah menengah atas (SMA) sebanyak 13.692 sekolah dengan proporsinya 50,7 persen berbanding 49,3 persen.
Jumlah siswa SMK sudah mencapai 5 juta orang. Sayangnya, peningkatan kuantitas SMK tidak seiring dengan peningkatan kualitasnya. Dalam perkembangannya, SMK masih berhadapan dengan setidaknya tiga persoalan krusial. Persoalan pertama ialah mutu sumber daya manusianya, kemudian persoalan kurikulum serta sarana dan prasarana.
Hingga kini, SMK masih terkungkung oleh stigma ”pilihan kedua”. Dampaknya, mereka yang masuk ke SMK adalah siswa-siswa yang tidak lolos di SMA karena nilai prestasi akademiknya rendah.
Nilai standar minimal untuk masuk SMK lebih rendah dari SMA. Bisa dikatakan, SMK akhirnya mendapat input siswa dengan kualitas lebih rendah daripada SMA.
Selain itu, SMK juga menghadapi problem mutu tenaga pengajar kendati secara kuantitas tenaga pengajar SMK memiliki rasio perbandingan yang cukup baik.
Berdasarkan data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun ajaran 2018/2019, dari 5.009.265 siswa SMK di Indonesia, guru yang mengajar mencapai 312.668 tenaga pengajar atau 1 guru mengajar 16 siswa.
Jika dibandingkan dengan rasio guru per siswa vokasi dengan negara lain, posisi Indonesia relatif cukup baik. Masih lebih tinggi dari India yang rasionya mencapai 34 siswa per guru, tetapi masih di bawah Jerman (1:12) dan China (1:9).
Walaupun secara kuantitas sudah memenuhi syarat, dari sisi kualitas guru vokasi di Indonesia masih memiliki beberapa kekurangan dan kendala dalam mengajar. Data tahun 2016/2017 menunjukkan komposisi guru produktif (guru pelajaran kejuruan) jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan guru normatif-adaptif (guru mata pelajaran dasar). Rasio antara guru produktif dan guru normatif-adaptif adalah 22 persen berbanding 78 persen.
Hal ini salah satunya disebabkan ketika terjadi pergeseran dari SMU menjadi SMK, tenaga pengajar lebih banyak yang normatif. Proporsi ini tentu berkorelasi dengan kualitas dan ancaman rendahnya daya saing lulusan SMK.
Masalah berikutnya adalah kurikulum siswa SMK yang masih belajar mata pelajaran wajib, seperti Pendidikan Agama, PPKN, dan Bahasa Indonesia. Kurikulum SMK di Indonesia juga masih menitikberatkan pada teori dibandingkan dengan praktik.
Pada tahun terakhir, komposisi teori masih mencapai 50 persen, praktik 50 persen. Dengan demikian, lulusan SMK di Indonesia hanya memiliki satu paket keterampilan setelah lulus.
Sementara lulusan SMK di Jerman memiliki empat paket keterampilan karena menitikberatkan praktik daripada teori. Kembali hal ini akan berpengaruh terhadap daya saing.
Masalah lainnya adalah dalam hal sarana dan prasarana yang masih kurang memadai. Hal ini terlihat dari jenis SMK yang berkembang di Indonesia.
Dari 144 kompetensi yang ada, 10 kompetensi terbesar (59,69 persen) merupakan SMK dengan jumlah investasi, seperti laboratorium dan peralatan pendukung yang relatif lebih rendah dari SMK lainnya. Sepuluh kompetensi tersebut, seperti Teknik Komputer dan Jaringan, akuntansi dan administrasi perkantoran yang hanya membutuhkan laboratorium komputer untuk praktik.
Implikasi dari persoalan ini adalah jumlah SMK dengan kompetensi yang sama karena pertimbangan sarana dan prasarana akan lebih banyak dibandingkan dengan kompetensi lainnya yang membutuhkan laboratorium praktik yang lebih rumit dan menyesuaikan dengan perkembangan teknologi industri. Akibatnya, banyaknya lulusan pada kompetensi tersebut mengakibatkan tidak semuanya bisa terserap oleh industri. Sementara industri-industri lain yang membutuhkan banyak tenaga kerja, kompetensinya tidak disediakan oleh SMK.
Penguatan SMK
Untuk mendorong pendidikan SMK, pemerintah melakukan revitalisasi di bawah payung hukum Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2016 tentang Revitalisasi Sekolah Menengah Kejuruan.
Terdapat enam isu strategis yang menjadi prioritas revitalisasi SMK. Pertama adalah penyelarasan dan pemutakhiran kurikulum, kemudian inovasi pembelajaran, pemenuhan dan peningkatan profesionalitas guru dan tenaga kependidikan.
Revitalisasi berikutnya adalah kemitraan sekolah dengan dunia usaha/dunia industri (DU/DI) dan perguruan tinggi, lalu standardisasi sarana dan prasarana utama. Wujud revitalisasi keenam adalah penataan/pengelolaan kelembagaan.
Pada tataran konkret, tiga tahun lalu Kementerian Perindustrian meluncurkan programlink and match antara SMK dan industri. Sejak diluncurkan, program link and match ini telah melibatkan 2.612 SMK dan 899 industri.
Program ini merupakan upaya menyediakan 1 juta tenaga kerja tersertifikasi sampai tahun 2019. Program ini pun diharapkan dapat menekan pengangguran lulusan pendidikan kejuruan.
Sementara itu, pemerintah juga mengembangkan kurikulum teaching factory lewat kemitraan antara dunia usaha dan sekolah. Model pembelajarannya membawa suasana industri ke sekolah sehingga sekolah bisa menghasilkan produk berkualitas industri.
Upaya itu diikuti pula dengan perbaikan sarana dan prasarana. Sebanyak 929 SMK telah menerima bantuan mesin dan alat praktik dari instansi dan 144 perusahaan industri.
Meski demikian, berbagai upaya pemerintah masih menyisakan sejumlah pekerjaan rumah. Pemerintah masih harus menambah sarana dan prasarana pendidilan SMK. Jika dibandingkan dengan jumlah SMK sebanyak lebih kurang 14 ribuan sekolah, bantuan mesin dan alat praktik terbilang masih minim.
Kebijakan lain yang perlu mendapat perhatian adalah menentukan fokus pengembangan kompetensi SMK. Ini penting mengingat teknologi terdisrupsi sedemikian cepat. Begitu mudahnya muncul pekerjaan baru yang menggantikan tenaga kerja SMK.
Oleh karena itu, kompetensi-kompetensi yang berisiko tergantikan oleh otomatisasi dikurangi dan memperbanyak kompetensi yang akan berkembang pada masa depan yang men-support industri kreatif, industri dengan ketrampilan khusus, dan jenis pekerjaan teknologi informasi yang membutuhkan daya pikir manusia dalam perumusannya.
Jalan terjal pendidikan vokasi masih harus dilalui seiring dinamisnya kebutuhan pasar, bisa jadi kebutuhan kerja pada masa depan akan sangat berbeda dengan apa yang diajarkan di bangku sekolah. Yang terpenting bagaimana pendidikan vokasi mampu menjawab kebutuhan pasar tersebut. (LITBANG KOMPAS)