Dinasti Politik, Dibenci tapi Tak Dilarang
Begitu sepenggal jawaban Presiden Joko Widodo, saat menjawab pertanyaan jurnalis BBC, Kharisma Vaswani, dalam satu sesi wawancara terkait dinasti politik.
”Dinasti politik itu kalau kita menunjuk keluarga kita untuk menjabat, misalnya saya menunjuk anak saya menjadi menteri (itu tidak boleh). Tapi kalau seorang keluarga, anak, misalnya, mendaftarkan diri, berpartisipasi dalam pilkada di daerah, itu yang menentukan rakyat, bukan Jokowi.”
Begitu sepenggal jawaban Presiden Joko Widodo, saat menjawab pertanyaan jurnalis BBC, Kharisma Vaswani, dalam satu sesi wawancara terkait dinasti politik. Dalam sesi wawancara, tema itu dimunculkan oleh Koresponden Bisnis Asia BBC News tersebut, seiring dengan sorotan publik terhadap putra pertama Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, yang berniat maju dalam pemilihan Wali Kota Surakarta 2020.
Jawaban Jokowi soal definisi dinasti politik sebenarnya sah-sah saja, karena menekankan pada aspek legal-prosedural ketika seseorang mencalonkan diri dalam pilkada. Secara sederhana, jawaban Jokowi bisa dimaknai seperti ini: selama kemenangan itu ditentukan oleh rakyat sah-sah saja, siapa pun berkontestasi politik. Asalkan, kemenangannya bukan karena ditunjuk.
Namun, makna dinasti politik bukan sekadar legal-prosedural, melainkan juga substansial-moral. Secara substansi-moral, dinasti politik menyangkut soal bagaimana jabatan publik itu tidak dikuasai oleh sekelompok orang, keluarga, atau kerabat. Jabatan publik itu menekankan adanya sirkulasi politik, dan di sinilah pergantian itu idealnya tidak dimonopoli.
Tidak heran jika upaya membatasi lahirnya kekerabatan atau dinasti politik ini pernah dilakukan melalui sebuah revisi undang-undang. Aturan itu tertuang dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Pasal ini melarang calon kepala daerah memiliki hubungan kerabat dengan petahana.
Larangan ini lahir untuk membatasi hubungan kerabat calon kepala daerah dengan petahana. Mereka baru boleh mengajukan diri setelah ada jeda satu periode, sesudah petahana tidak menjabat. Harapannya, ada sirkulasi kekuasaan yang lebih terbuka agar di daerah tidak didominasi oleh kekuatan politik (keluarga) tertentu.
Namun, aturan ini tidak bertahan lama. Anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan, Adnan Purichta Ichsan, mengajukan uji materi terhadap pasal tersebut.
Menurut Adnan, pasal tersebut membatasi hak politik warga negara untuk dipilih sebagai kepala daerah. Upaya ini dilakukan Adnan karena membatasi niat dirinya maju di Pilkada Kabupaten Gowa untuk ”menggantikan” ayahnya, Bupati Gowa Ichsan Yasin Limpo.
Setelah melalui proses peradilan, Mahkamah Konstitusi pada akhirnya membatalkan pasal tersebut pada 8 Juli 2015. Adnan pun melaju di pilkada dan sukses memenanginya. Ia tercatat sebagai bupati termuda ketika dilantik, yakni 29 tahun, sekaligus memecahkan mitos bahwa tidak ada putra petahana yang mampu memenangi pilkada di Sulawesi Selatan.
Politik keluarga
Kemenangan Adnan di Pilkada Gowa setelah putusan MK di atas menambah angin segar bagi keluarga-keluarga politik yang selama ini populer sebagai elite politik di negeri ini. Bisa dikatakan, dari semua presiden yang pernah menjabat membangun keluarga politiknya sendiri.
Di keluarga Soekarno, ada nama Puan Maharani yang kini menjabat sebagai Ketua DPR sebagai generasi ketiga dari keluarga Soekarno yang berada dalam puncak jabatan politiknya. Selain Puan, nama-nama generasi ketiga Soekarno lainnya juga mewarnai panggung politik nasional, seperti Puti Guntur dan Prananda Prabowo meski tidak pada posisi strategis.
Puan dan Prananda tak lain putri Megawati Soekarnoputri, anak Bung Karno yang juga Presiden kelima RI. Adapun Puti Guntur, dia anak Guntur Soekarnoputra, kakak Megawati.
Setelah Soekarno, sosok Soeharto pun membangun dinasti politiknya. Bahkan, di akhir periode kekuasaannya, Soeharto masih sempat mengangkat putrinya, Siti Hardiyanti Rukmana, sebagai Menteri Sosial. Setelah kekuasaannya berakhir, pengaruh Soeharto tak langsung habis.
Di sejumlah pemilu muncul sejumlah partai yang lahir dari tangan generasi kedua keluarga politik dari presiden kedua RI ini. Sebut saja Partai Karya Peduli Bangsa yang diinisiasi Siti Hardiyanti Rukmana dan Partai Berkarya yang dipimpin oleh Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto.
Hal berbeda terjadi pada keluarga politik Presiden Abdurrahman Wahid. Putrinya, Zannuba Ariffah Chafsoh, pernah dipercaya memimpin Partai Kebangkitan Bangsa, partai yang didirikan Gus Dur bersama sejumlah kiai sebagai saluran politik warga nahdliyin. Namun, dualisme yang terjadi pada diri PKB membuat Yenny tersingkir dari PKB setelah Mahkamah Agung menolak kasasi yang diajukan PKB kubu Yenny terkait sengketa atas kepemimpinan PKB.
Putusan MA ini pada akhirnya mengukuhkan PKB pimpinan Muhaimin Iskandar (23/7/2010).
Berikutnya yang tak kalah menonjol adalah keluarga politik Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono. Munculnya nama Agus Harimurti Yudhoyono sebagai Wakil Ketua Umum Partai Demokrat sedikit banyak menguatkan sinyalemen putra pertama SBY ini akan menjadi sosok yang digadang-gadang partai untuk meneruskan kepemimpinan SBY. Selain AHY, nama Edhie Baskoro Yudhoyono, putra kedua, lebih dahulu aktif di politik sebagai anggota DPR.
Presiden Jokowi pun menjelang Pilkada 2020 ini menjadi sorotan publik setelah anak dan menantunya, bahkan saudara dari besannya, disinyalir akan maju di pilkada. Munculnya nama Gibran Rakabuming Raka dalam bursa calon Pilkada Surakarta mengundang polemik, salah satunya di internal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Dengan munculnya nama Gibran, peta pencalonan di Pilkada Surakarta boleh jadi masih belum mengerucut di pilkada ini.
Fenomena kekuasaan berlanjut ke keluarga tak hanya mewarnai Pilkada Surakarta. Di sejumlah wilayah juga terjadi hal yang sama. Di Mojokerto, Jawa Timur, misalnya. Istri mantan Bupati Mojokerto Musthofa Kamal Pasha, Ikhfina Fahmawati, maju di Pilkada Mojokerto. Hal yang sama terjadi di Pilkada Kota Batam. Istri Wali Kota Batam HM Rudi, Marlin, akan berlaga di pilkada tahun ini.
Akumulasi kekuasaan
Pernyataan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri ketika berbicara soal peta perpolitikan Indonesia pada 2024 di Kantor DPP PDI-P yang mengingatkan kadernya menarik disimak. Megawati mengingatkan kadernya agar jangan memaksakan kehendaknya, terutama untuk anak-anak mereka.
”Berhentilah, kalau kalian punya anak, anaknya itu enggak bisa, jangan dipaksa-paksa. Jengkel, loh, saya. Lah iya loh, ngapain sih kayak tidak ada orang. Kader itu, ya, anak kalian juga, loh. Gimana, yo,” kata Megawati, Rabu (19/2/2020).
Banyak pihak memaknai pernyataan Megawati ini tidak lepas dari fenomena munculnya nama Gibran dalam bursa calon kepala daerah di Pilkada Surakarta tersebut.
Pernyataan Megawati ini bisa juga dimaknai sebagai pentingnya kompetensi bagi seseorang untuk bisa maju di pilkada. Siapa yang layak masuk dalam kontestasi pilkada adalah mereka yang memiliki kemampuan memimpin dan memajukan wilayahnya. Namun, tiada lagi aturan yang membatasi munculnya dinasti politik itu.
Mengapa politik dinasti menjadi sesuatu yang dihindari, tidak lepas dari identiknya praktik ini dengan kompetisi politik yang dinilai kurang fair. Studi Ernesto Dal Bo, Pedro Dal Bo, dan Jason Snyder (2007) terkait dinasti politik di Kongres Amerika Serikat menunjukkan, ada korelasi antara dinasti politik dan kompetisi politik. Semakin marak praktik politik dinasti akan berbanding lurus dengan kompetisi politik yang tidak sehat.
Dinasti politik juga diyakini melahirkan oligarki kekuasaan. Menurut Jeffrey Winters, ilmuwan politik AS di Universitas Northwestern, oligarki muncul karena konsentrasi kekayaan dan konsentrasi kekayaan ada sejak zaman kuno.
Dinasti politik menjadi media terjadinya konsentrasi kekuasaan yang pada akhirnya memperkuat konsentrasi kekayaan.
Jika politik dinasti terus menguat, apalagi tanpa diimbangi kompetensi politik, bukan tidak mungkin apa yang dinyatakan Putnam (1976) terjadi. Yakni, ketika elite politik pemegang kekuasaan cenderung melanggengkan kekuasaannya meskipun mengakibatkan pembusukan terhadap institusi itu sendiri.
(Litbang Kompas)