Dampak bencana alam menjadi salah satu variabel yang tak bisa diabaikan dalam perekonomian nasional. Angka produk domestik bruto triwulanan secara nasional menunjukkan fluktuasi pertumbuhan yang berbanding lurus dengan frekuensi bencana alam di periode yang sama.
Dalam beberapa tahun belakangan, perekonomian Indonesia belum menunjukkan pertumbuhan signifikan. Ekonomi Indonesia, merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2014, tumbuh 5,02 persen. Tahun berikutnya, pertumbuhan ekonomi nasional sempat menurun, mencatat angka pertumbuhan di bawah 5 persen.
Tahun 2016, pertumbuhan ekonomi Indonesia kembali meningkat di angka yang sama seperti 2014. Angka pertumbuhan di kisaran 5 persen ini terus berlangsung sepanjang tahun 2017 hingga tahun lalu. Kendati tak banyak berubah, data perekonomian triwulanan yang juga dirilis BPS menunjukkan besaran yang fluktuatif.
Laju pertumbuhan ekonomi triwulanan sepanjang tahun 2015-2019 juga menunjukkan pola yang khas. Setiap triwulan IV dan triwulan I, laju pertumbuhan selalu minus. Sebaliknya, sepanjang enam bulan di pertengahan tahun, pertumbuhan ekonomi selalu positif. Data BPS sepanjang 2015-2019 memperlihatkan, laju pertumbuhan triwulan IV selalu menunjukkan kontraksi yang dalam dibandingkan triwulan III.
Laju perekonomian di triwulan IV, yakni antara Oktober dan Desember, selalu negatif, setelah tercatat positif pada periode sebelumnya. Sesudah triwulan IV, laju pertumbuhan ekonomi juga selalu mencatat pertumbuhan minus di triwulan berikutnya. Laju pertumbuhan yang negatif, konsisten tercatat setiap triwulan pertama sepanjang Januari-Maret, kurun 2015-2019.
Pengaruh alam
Kecenderungan fluktuasi laju pertumbuhan ekonomi triwulanan nasional menunjukkan pergerakan yang mirip dengan tren kejadian bencana alam. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan, mayoritas atau setara 98 persen dari seluruh kejadian bencana alam di Indonesia setiap tahun, terkategori sebagai bencana hidrometeorologi.
Merujuk definisinya, bencana hidrometeorologi adalah bencana akibat parameter-parameter meteorologi, seperti curah hujan, kelembaban, temperatur, dan angin. Bencana alam yang termasuk kategori ini adalah banjir, tanah longsor, angin puting beliung, kekeringan, kebakaran hutan, dan gelombang pasang.
Bencana alam khususnya kategori hidrometeorologi adalah bencana khas yang rutin terjadi memasuki Oktober (triwulan IV) dan terus berlanjut hingga Januari (triwulan I) setiap tahun. Data BNPB juga menunjukkan tren bencana hidrometeorologi yang relatif konsisten meningkat beberapa tahun belakangan.
Sepanjang Januari 2019 saja, tercatat bencana hidrometeorologi mencapai 366 kali atau 15 persen dari total kejadian bencana dalam kategori yang sama sepanjang 2019. Pada awal 2020, tercatat ada 231 bencana hidrometeorologi atau sekitar 63 persen dari jumlah kejadian bencana hidrometeorologi pada awal 2019. Secara keseluruhan, bencana banjir saja berkontribusi hingga seperlima dari total bencana hidrometeorologi 2019.
Adapun proporsi bencana kekeringan dan tanah longsor mencapai 22 persen dari total bencana di kategori yang sama, tahun 2019. Memasuki musim kemarau, kondisi cuaca mengakibatkan bencana kekeringan dan kebakaran hutan. Sementara pada musim hujan, iklim berdampak pada sejumlah bencana seperti banjir atau tanah longsor.
Variabel makroekonomi
Dalam tataran lebih konkret, seperti apakah gambaran kerugian nasional akibat bencana alam? Salah satu contoh nyata adalah perbandingan bencana di awal 2019 dan awal tahun 2020, yang setidaknya bisa memberi gambaran konkret kerugian langsung penduduk akibat bencana alam. Diperkirakan, jumlah pengungsi akibat bencana alam di Januari 2020 mencapai 807.192 jiwa, dengan jumlah rumah yang rusak 11.363 unit.
Sampai dengan 24 Januari 2020, BNPB mencatat terjadi 231 bencana yang membawa korban 82 orang meninggal. Jika dibandingkan dengan periode yang sama pada 2019, korban dan kerugian material akibat bencana hidrometeorologi juga meningkat. Angka pengungsi pada Januari 2020 tercatat sembilan kali lebih banyak pengungsi Januari 2019, yang mencapai 88.613 jiwa.
Jumlah rumah yang rusak, baik rusak ringan, sedang, maupun berat, juga naik tiga kali lipat ketimbang dampak bencana pada Januari 2019. Bencana hidrometeorologi Januari 2019 tercatat mengakibatkan kerusakan hunian sebanyak 4.013 unit. Dalam skala makro, data yang dihimpun BNPB menunjukkan kerugian akibat bencana alam sepanjang 2019 mencapai Rp 80 triliun (Kontan, 30/12/2019).
Sementara itu, pemerintah juga menyiapkan dana untuk bencana alam melalui APBN senilai Rp 15 triliun di tahun yang sama. Dengan asumsi seluruh anggaran tersebut habis terserap untuk bencana alam, secara kumulatif total kerugian akibat bencana alam dan pemulihannya mencapai Rp 95 triliun. Lantas, apa makna di balik nilai kerugian akibat bencana alam di tahun lalu?
Jika dibandingkan dengan pendapatan per kapita penduduk Indonesia di tahun yang sama, angka kerugian tersebut terbilang signifikan. Sebagai gambaran, kerugian akibat bencana alam tersebut setara dengan pendapatan per kapita lebih kurang 1,5 juta penduduk Indonesia. Populasi penduduk 1,5 juta orang, kira-kira setara 15 persen dari jumlah total penduduk Ibu Kota sebanyak 10,5 juta jiwa pada tahun 2019.
Ancaman pangan
Kerugian lain akibat bencana adalah stabilitas pasokan pangan. Setiap tahun, sebagian lahan pertanian rutin dilanda banjir dan kekeringan. Data Kementerian Pertanian dalam beberapa periode menunjukkan, kekeringan pada lahan sawah yang biasanya ditanami padi saat hujan dan palawija saat musim kemarau.
Sebagai gambaran, sepanjang tahun 2014-2017, bencana banjir rata-rata merusak areal lahan sawah seluas 217.300 hektar setiap tahun. Data Kementerian Pertanian juga menunjukkan, hampir sepertiga atau lebih kurang 60.000 hektar lahan sawah tersebut mengalami puso atau gagal panen akibat banjir.
Selain banjir, bencana kekeringan juga mengintai begitu memasuki masa kemarau. Rata-rata per tahun kekeringan melanda hingga seluas 313.000 hektar. Kekeringan juga menyebabkan puso lahan sawah hingga 30 persen atau seluas lebih kurang 100.000 hektar. Dampak dari kegagalan panen tecermin pula dari produksi padi yang dihasilkan. Data produksi padi dari BPS 2018 adalah salah satu contoh yang memberikan gambaran tersebut.
Tren produksi padi menunjukkan angka yang tinggi di awal tahun 2018, kemudian menjadi sangat rendah di akhir tahun yang sama. Sepanjang Januari-Maret 2018, produksi padi rata-rata bisa mencapai 5,9 juta ton. Bahkan, pada Maret dan April 2018 produksi komoditas pokok ini mencapai masing-masing hampir 10 ton dan lebih dari 7 ton. Triwulan I merupakan periode ketika lahan sawah masih mudah mendapatkan air, tetapi tidak berlebih sehingga tidak merusak tanaman.
Komoditas yang memerlukan banyak air tersebut kemudian menurun memasuki masa kemarau dan volume produksinya menjadi rendah di puncak peralihan kemarau dan hujan. Produksi padi pada triwulan IV tahun 2018 hanya tersisa di kisaran kurang dari 3 ton. Secara keseluruhan, produksi padi di tiga bulan pertama tahun 2018 mencapai sepertiga dari total 56,55 juta ton produksi padi nasional.
Sementara, produksi padi sepanjang tiga bulan terakhir tahun 2018 hanya sekitar 12 persennya. Menimbang kalkulasi dampaknya, kejadian bencana alam, khususnya hidrometeorologi, agaknya perlu dicermati pemangku kebijakan. Bagaimanapun, layak disadari bersama bahwa kondisi geografis negeri yang subur ini merupakan tempat yang rentan terhadap berbagai bencana alam. (LITBANG KOMPAS)