Ditemukannya dua kasus positif Covid-19 pada awal Maret ini justru lebih dikhawatirkan masyarakat daripada demam berdarah. Sementara demam dengan gejala klinis mirip korona ini justru menjangkiti hingga ratusan ribu orang dan menyebabkan ribuan kematian setiap tahun.
Tak dapat dimungkiri jika kekhawatiran dan kewaspadaan masyarakat semakin meningkat setelah virus yang mematikan ini kasusnya ditemukan di Indonesia. Kekhawatiran masyarakat dapat dimaklumi karena penyebaran virus ini bergerak sangat cepat.
Apalagi mewabahnya virus korona yang berawal dari Wuhan, Provinsi Hubei, China, sejak akhir Desember lalu telah menyebar di 79 negara di dunia. Berdasarkan data Johns Hopkins CSSE per 5 Maret 2020, telah terjadi 95.748 kasus terkonfirmasi virus korona (coronavirus disease 2019/Covid-19) dengan 3.286 total kematian, mayoritas di Provinsi Hubei.
Di Indonesia, hingga 4 Maret 2020 ada sebanyak 64 pasien dalam pengawasan terkait penyakit Covid-19 sedang dirawat di rumah sakit di sejumlah daerah. Mereka dirawat di ruang isolasi dan masih menunggu hasil uji laboratorium di Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan di Jakarta (Kompas, 5 Maret 2020).
Bertebarannya berbagai informasi terkait virus korona ini baik melalui media cetak, media elektronik, maupun media sosial dengan berbagai ”bumbu”. Terkadang tidak jelas lagi mana yang benar, membuat masyarakat semakin waswas terjangkit penyakit ini.
Kekhawatiran besar terhadap virus korona seakan melenakan masyarakat akan ancaman virus lain. Ancaman itu datang dari penyakit dengan tanda dan gejala klinis awal serupa korona, yakni demam berdarahdengue (DBD).
Ancaman DBD
Penyakit yang disebabkan oleh virus yang disebarkan nyamuk Aedes aegypti tersebut terus mengalami peningkatan di Tanah Air. Kementerian Kesehatan mencatat, sejak 1 Januari hingga 29 Februari 2020 telah terjadi 13.864 kasus DBD dengan 78 orang yang meninggal.
Dalam dua bulan pertama di tahun 2020 sudah ada 28 provinsi, 285 kabupaten/kota yang melapor wilayahnya terjangkit wabah penyakit DBD. Bahkan sudah dua kabupaten yang mengalami KLB (kejadian luar biasa), yaitu Kabupaten Sikka (Nusa Tenggara Timur/NTT) dan Kabupaten Belitung (Kepulauan Bangka Belitung).
Kasus terbanyak ditemukan di Lampung dengan 1.837 kasus, kemudian Jawa Barat (1.420 kasus), NTT (1.307 kasus), dan Jawa Timur (1.269 kasus). Sementara kasus kematian tertinggi terjadi di Provinsi Jawa Barat, yaitu 15 kasus, kemudian NTT dengan 13 kasus, dan Jawa Timur 11 kasus (Kompas, 6 Maret 2020).
Penyebaran virus DBD yang muncul di musim hujan ini akan semakin meningkat risikonya seiring peninggkatan intensitas curah hujan yang semakin tinggi. Kasus DBD dalam lima tahun terakhir juga berfluktuasi.
Setelah mencapai puncak pada 2016 yang mencapai 204.171 kasus dengan 1.598 kematian, kasus DBD menurun pada 2017 dan 2018. Namun, kasus itu meningkat kembali pada 2019 yang mencapai 137.761 kasus.
Penyakit ini tidak bisa dianggap sepele. Jika tidak ditangani dengan tepat, DBD bisa memicu berbagai komplikasi dan membahayakan tubuh hingga bisa berujung pada hilangnya nyawa seseorang. Kementerian Kesehatan mencatat, sejak 1 Januari hingga 29 Februari 2020 sudah ada 78 orang meninggal akibat penyakit ini.
KLB di Sikka
Jumlah kasus DBD di seluruh NTT pada tahun ini lebih tinggi dibandingkan pada tahun sebelumnya yang mencapai 903 kasus dan korban meninggal 12 orang. Salah satu daerah yang tinggi kasus infeksi virus DBD pada tahun ini adalah Kabupaten Sikka, NTT.
Dari 1.307 kasus DBD di NTT, sebanyak 1.217 kasus terjadi di Kabupaten Sikka. Ribuan pasien DBD dirawat di Rumah Sakit TC Hillers Maumere, RS Katolik Kewapante, dan RS Elisabeth Lela.
Tercatat 11 orang meninggal. Sebagian besar pasien DBD adalah anak-anak di bawah usia 15 tahun.
Tingginya kasus DBD di Kabupaten Sikka membuat kasus DBD di wilayah ini masuk kategori KLB. Bahkan sejak tahun 2000, Kabupaten ini sudah tiga kali mengalami KLB DBD.
Berbagai upaya sudah dilakukan Pemerintah Kabupaten Sikka untuk mengatasi wabah DBD ini, seperti pengasapan (fogging), PSN (pemberantasan sarang nyamuk), 3M (menutup, menguras, dan mengubur), abatesasi, dan pembagian antinyamuk (autan) kepada semua anak-anak sekolah di Kabupaten Sikka.
Pemerintah pusat melalui Kementerian Kesehatan juga telah mengirimkan dokter dan tenaga ahli untuk factor. Bahkan, pemerintah daerah telah mengalokasikan anggaran hingga Rp 1,8 miliar. Namun, kasus ini tidak juga mereda, bahkan cenderung meningkat.
Salah satu faktor tingginya kasus DBD di Sikka adalah kurangnya kesadaran masyarakat dalam memelihara kebersihan lingkungan, terutama membersihkan genangan air di berbagai tempat. Kebiasaan masyarakat menampung air hujan untuk menyiram tanah yang kering dan tandus rentan menjadi sarang nyamuk untuk bertelur.
Masyarakat juga kurang sadar untuk segera memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan ketika mengalami gejala-gejala khas penyakit ini, seperti demam, nyeri perut, nyeri otot sendi, tubuh lemas, mual, dan muncul ruam sehingga terlambat ditangani.
Mengubah perilaku dan meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menjaga kebersihan lingkungan terutama pada musim hujan perlu untuk terus digalakkan supaya KLB DBD ini tidak kembali terulang setiap tahun.
Pencegahan adalah langkah terbaik, baik virus korona maupun virus dengue. Sebab, jika sudah terinfeksi, selain pengobatan yang memakan waktu lama dan biaya, juga risiko tingkat kematian tinggi. (LITBANG KOMPAS)