Pariwisata Hadapi Tekanan akibat Wabah Covid-19
Hilangnya China dalam peta pariwisata Indonesia merupakan kerugian besar, apalagi China merupakan negara kedua terbesar penyumbang jumlah wisatawan asing ke Indonesia.
Pemerintah dalam rapat terbatas mengenai dampak Covid-19, pekan terakhir Februari silam, memutuskan untuk menggelontorkan dana subsidi. Dana ini diperuntukkan bagi transportasi dan akomodasi demi menjaga pemasukan dari pariwisata.
Dana subsidi pariwisata ini terbagi dalam tiga hal. Pertama, alokasi tambahan Rp 298,5 miliar untuk insentif bagi wisatawan mancanegara. Insentif terdiri dari jasa transportasi penerbangan, agen perjalanan, representasi pariwisata di luar negeri, promosi pariwisata, dan influencer. Insentif difokuskan kepada wisatawan mancanegara dengan angka rata-rata lama tinggal yang tinggi, seperti turis dari Australia dan Timur Tengah.
Baca juga : Terdampak Covid-19, Kunjungan Wisatawan ke Sumbar Menurun
Kedua, pemerintah mengalokasikan dana Rp 443,3 miliar untuk subsidi berupa diskon 30 persen pada seperempat kursi penumpang di setiap penerbangan. Selain pemerintah, Pertamina juga memberikan subsidi Rp 265,6 miliar guna keperluan diskon 10 persen bahan bakar avtur. Sama halnya dengan Pertamina, PT Angkasa Pura menggelontorkan Rp 99,8 miliar untuk mewujudkan diskon tarif penerbangan 20 persen.
Subsidi penerbangan domestik tersebut berlaku untuk 10 tujuan wisata, yaitu Batam, Belitung, Bintan, Denpasar, Danau Toba, Labuan Bajo, Lombok, Malang, Manado, dan Yogyakarta. Pemberian subsidi berlangsung tiga bulan, dari Maret hingga Mei 2020. Ketiga, pemerintah menyiapkan Rp 3,3 triliun untuk kompensasi penurunan tarif pajak hotel dan restoran. Pemerintah juga mengonversi Rp 147 miliar Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik Pariwisata menjadi hibah daerah guna memacu perkembangan pariwisata.
Di atas kertas, langkah pemerintah itu diperlukan untuk mengurangi dampak hilangnya wisatawan asal China sejak penerbangan dari dan ke China ditutup pada 5 Februari lalu. Langkah pemerintah ini sekaligus berpeluang meningkatkan minat wisatawan untuk tetap berwisata.
Baca juga : Dampak Covid-19, Kunjungan Turis ke Aceh Merosot
Bulan ketiga
Sudah hampir tiga bulan, Covid-19 yang dipicu virus korona tipe baru menjejali pemberitaan internasional. Pemberitaan ini berawal pada 31 Desember 2019 ketika Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan ada kasus pneumonia dengan penyebab tak diketahui di Wuhan, Provinsi Hubei, China. Sebagian besar pasien merupakan pedagang di pasar ikan Huanan. Kantor berita Reuters mencatat, terdapat 27 kasus pneumonia yang saat itu diinvestigasi.
Pada 9 Januari 2020, media Xinhua merilis berita temuan virus korona jenis baru yang menjadi penyebab pneumonia di Wuhan. Otoritas China membagikan genom virus tersebut kepada WHO dan GISAID (platform untuk berbagi data tentang influenza) sehingga bisa diakses oleh otoritas kesehatan secara umum.
Isu makin berkembang setelah ada laporan korban infeksi virus di luar China. WHO pada 13 Januari 2020 menyebut ada kasus positif virus korona tipe baru di Thailand. Kasus serupa ditemukan di Jepang, Singapura, dan Korea Selatan. Sepekan berselang, China mengumumkan ada tambahan 17 orang terinfeksi virus korona baru. Total saat itu ada 62 kasus infeksi dari Wuhan.
Tiga negara di luar China yang paling terdampak Covid-19 adalah Italia, Iran, dan Korea Selatan.
Keluarga virus korona menyebabkan penyakit flu biasa hingga flu akut. Virus korona memicu sindrom pernapasan akut parah (SARS), yang pertama kali ditemukan di China pada 2003. Virus dari keluarga ini juga menyebabkan sindrom pernapasan timur tengah (MERS), yang pertama kali ditemukan di Arab Saudi pada 2012.
Virus korona yang ditemukan di Wuhan belum pernah teridentifikasi pada manusia sehingga disebut novel coronavirus atau virus korona baru. Adapun nama resmi penyakit yang disebabkan virus korona tipe baru ialah Covid-19. Dari sisi pariwisata, tiga negara di luar China yang paling terdampak Covid-19 adalah Italia, Iran, dan Korea Selatan.
Adapun bagi Indonesia, dampak Covid-19 tampak pada pembatalan wisata ke dan dari China. Pada 22 Februari 2020, saat berlangsung pameran Astindo Travel Fair di Jakarta, pengunjung lebih sepi dibandingkan dengan tahun lalu. Kondisi itu membuat pemerintah mulai mengambil langkah khusus sejak akhir Februari lalu. Akan tetapi, tanpa kemunculan Covid-19 pun, pariwisata Indonesia memperlihatkan situasi tidak seperti yang diharapkan.
Status pariwisata
Jumlah wisatawan mancanegara ke Indonesia hanya naik 1,88 persen dari 15,8 juta pada 2018 menjadi 16,1 juta pada 2019. Kenaikan ini lebih kecil daripada kenaikan wisatawan internasional yang dicatat Organisasi Pariwisata Dunia (UNWTO), yakni 4 persen. Di tengah penyebaran virus korona baru, jumlah wisatawan mancanegara dan tingkat penghunian kamar (TPK) hotel klasifikasi bintang menurun sebulan terakhir.
Menurut rilis terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2 Maret 2020, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara sepanjang Januari 2020 turun hampir 105.000 dibandingkan dengan Desember 2019. Pada Januari lalu, jumlah wisatawan asing 1,27 juta orang. TPK hotel klasifikasi bintang juga turun hingga 10,2 persen dari bulan sebelumnya menjadi 49,17 persen pada Januari 2020.
Mengutip wawancara Kompas dengan Deputi Bidang Statistik, Distribusi, dan Jasa BPS Yunita Rusanti, kedatangan wisman turun drastis sejak 24 Januari 2020 (Kompas, 3/3/2020). Dalam Indeks Daya Saing Pariwisata dan Perjalanan yang diterbitkan Forum Ekonomi Dunia (WEF), Indonesia berada di urutan ke-40 dengan nilai 4,3. Adapun di antara anggota ASEAN, Indonesia berada di bawah Singapura (17), Malaysia (29), dan Thailand (31).
Sejumlah indikator menunjukkan nilai kurang memuaskan dan membutuhkan perbaikan, seperti kebersihan tempat wisata, ketersediaan akomodasi, fasilitas hiburan, penyewaan kendaraan, dan mesin penarikan uang tunai. Terkait wisatawan China, selama 10 bulan terakhir wisatawan asal negara itu menyumbang rata-rata 12,5 persen dari total wisatawan asing. Sejak akhir Desember 2019, proporsi tertinggi wisatawan China justru tercatat pada Januari 2020, yaitu 14,25 persen.
Proporsi terkecil terjadi selama tiga bulan berturut pada Oktober hingga Desember 2019. Kepala Riset Bahana Sekuritas Lucky Ariesandi menyebutkan, apabila kedatangan wisatawan China berkurang sekitar 50 persen saja, Indonesia berpotensi kehilangan pendapatan dari sektor pariwisata sekitar Rp 2,5 triliun (Kompas, 4/2/2020).
Padahal, wisatawan dari China merupakan wisatawan potensial. Merujuk data yang dihimpun Capital Economics, jumlah wisatawan China yang bepergian ke luar negeri melonjak hampir 10 kali lipat sejak 2003. Sementara itu, publikasi Global Destination Cities Index (GDCI) 2019 yang dikeluarkan oleh Mastercard mencatat, Indonesia ataupun China termasuk dalam 20 negara yang paling banyak dikunjungi oleh wisatawan.
Indonesia dengan Bali dikunjungi 8,26 juta wisatawan, sedangkan China dengan Hong Kong dikunjungi 8,23 juta wisatawan. Di sisi lain, Indonesia dan China juga masuk dalam 20 negara dengan wisatawan terbanyak. China menyumbang 9,4 persen dengan tujuan tertinggi ke Bangkok, Seoul, dan Tokyo. Adapun Indonesia menyumbang 1,6 persen dengan tujuan terbesar ke Singapura, Kuala Lumpur, dan Mekkah.
Hilangnya China dalam peta pariwisata Indonesia merupakan kerugian besar, apalagi China merupakan negara kedua terbesar penyumbang jumlah wisatawan asing ke Indonesia. Pariwisata yang menjadi sektor andalan sedang menghadapi masalah besar. Kasus positif Covid-19 di Indonesia mau tidak mau akan berimbas pada perkembangan wisata di Tanah Air. (Litbang Kompas)