Merebaknya penyakit Covid-19 menambah kekhawatiran perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia. Bagi Indonesia, jejak capaian investasi dan konsumsi dalam negeri menjadi modal menjaga asa pertumbuhan ekonomi nasional.
Oleh
Wirdatul Aini
·5 menit baca
Wabah penyakit Covid-19 meningkatkan kewaspadaan tentang perlambatan pertumbuhan ekonomi global. Kajian Bank Pembangunan Asia (ADB) menyebutkan, dampak ekonomi Covid-19 dapat mencapai 347 miliar dollar AS atau setara 0,4 persen produk domestik bruto (PDB) dunia. Sebelumnya, awal 2020, IMF memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global. Pertumbuhan ekonomi dunia 2020 dipangkas 0,1 persen, menjadi 3,3 persen. Prediksi ini lebih rendah ketimbang capaian ekonomi dunia 2014 yang 3,4 persen.
Seperti fenomena global, sinyal perlambatan ekonomi juga menyasar RI. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memprediksi Covid-19 berdampak antara 0,3-0,6 persen jika China menurun 1 persen dari pertumbuhannya. Merespons wabah Covid-19, Bank Dunia menyediakan dana taktis 12 miliar dollar AS (sekitar Rp 172 triliun), untuk membantu negara-negara mengatasi dampak kesehatan dan ekonomi dari wabah global.
Di Indonesia, Bank Indonesia menerapkan sejumlah kebijakan guna memitigasi risiko Covid-19. Suku bunga kebijakan, BI 7-Day Reverse Repo Rate diturunkan 25 bps menjadi 4,75 persen. Strategi operasi moneter juga diperkuat guna menjaga kecukupan likuiditas dan mendukung transmisi bauran kebijakan akomodatif. Selain itu, BI meningkatkan intensitas triple intervention agar nilai tukar rupiah bergerak sesuai fundamentalnya.
Kebijakan lain, menurunkan rasio giro wajib minimum (GWM) valuta asing bank umum konvensional, dari semula 8 persen menjadi 4 persen mulai 16 Maret 2020. Penurunan rasio GWM Valas tersebut diharapkan meningkatkan likuiditas valas di perbankan sekitar 3,2 miliar dolar AS dan sekaligus mengurangi tekanan di pasar valas.
Kontraksi ekonomi
Strategi lain yang dapat dilakukan pemerintah adalah mendorong daya ungkit konsumsi dan investasi. Selama ini, kedua komponen ini menjadi rem bagi perlambatan pertumbuhan ekonomi RI. Pada 2019, dari 5,02 persen pertumbuhan ekonomi Indonesia, sumber tertinggi dari sektor konsumsi dan investasi yakni, 2,73 persen dan 1,47 persen.
Demikian pula tahun-tahun sebelumnya. Karena itu, kedua variabel ini penting untuk mendorong perekonomian domestik. Menjaga sektor konsumsi penting mengingat adanya sinyal penurunan laju pertumbuhan pengeluaran konsumsi rumah tangga. Pada triwulan IV 2019, pertumbuhannya turun dibanding triwulan IV 2018.
Penurunan ini diwaspadai sebagai pelemahan daya beli masyarakat. Pelemahan tersebut bisa terjadi karena lesunya pendapatan dari pariwisata, perdagangan, dan investasi. Kondisi ini sejalan dengan hasil Indeks Ekonomi Saat Ini (IKE) Januari 2020 yang melemah daripada bulan sebelumnya. Penurunan IKE menjadi 109,6 terutama disebabkan turunnya keyakinan konsumen untuk membeli barang tahan lama dan tersedianya lapangan kerja kini.
Indeks ini menunjukkan bahwa optimisme konsumen terhadap kondisi ekonomi ke depan lebih rendah. Konsumen memperkirakan kenaikan penghasilan pada 6 bulan yang akan datang lebih terbatas. Karena itu, rata-rata proporsi pendapatan konsumen untuk konsumsi (average propensity to consume ratio) pun ikut turun menjadi 68,1 persen dari 69,2 persen.
Penurunan permintaan karena pelemahan daya beli dapat berimbas pada kegiatan produksi dan investasi. Bukan hanya dari internal melainkan juga dari eksternal. Bahan baku dan barang modal yang tergantung pada impor dan investasi yang berasal dari negara lain, membuat kekuatan produksi bergantung pada kondisi ekonomi negara tersebut.
Keadaan itu memberi dampak pada laju pertumbuhan investasi pada 2019, dan perkiraan optimisme bisnis triwulan I 2020. Pertumbuhan investasi 2019 sebesar 4,45 persen, turun dibanding tahun sebelumnya sebesar 6,67 persen. Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan optimisme bisnis triwulan I 2020 lebih rendah dibanding triwulan IV 2018.
Hal ini tercermin dari Indeks Tendensi Bisnis (ITB) sebesar 104,82 turun dari 102,90. Perkiraan ITB ini diperoleh dari penurunan komponen pembentuk ITB dari order luar negeri seluruh kategori lapangan usaha.
Peluang
Di balik tekanan global, RI berpeluang meningkatkan investasi dengan mendorong konsumsi. Untuk itu, Indonesia harus dapat menuntaskan masalah ekonomi dalam jangka pendek. Konsumsi misalnya, dapat dengan stimulus fiskal. Pemerintah dapat memberikan stimulusnya dengan memperlebar belanja sosial.
Belanja ini sebagai salah satu pendorong kuat pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Upaya penyaluran Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), Program Keluarga Harapan (PKH), dan dana desa dilakukan untuk meningkatkan kemampuan daya beli warga, khususnya pada kelompok menengah bawah.
Faktor lain yang bisa menjadi peluang bagi Indonesia adalah minat investasi. Dalam hal investasi, RI menjadi negara yang paling diminati untuk berinvestasi setelah China dan India. Posisi tersebut dikemukakan majalah “The Economist” melalui surveinya pada 2019 lalu.
Modal lain Indonesia adalah distribusi pembentukan modal tetap domestik bruto terhadap PDB nasional lebih tinggi dibanding negara Asean dan India. Demikian pula dalam hal kemudahan berbisnis. Peringkat Indonesia membaik dibandingkan tahun 2015. Bank Dunia merilis peringkat kemudahan berbisnis di Indonesia pada 2020 menempati posisi 73 dari 190 negara yang diukur.
Pengukuhan peringkat dari lembaga internasional Moody’s menjadi Baa2 atau outlook stabil juga dapat makin mendukung investor untuk berinvestasi di Indonesia. Selain itu, fundamental ekonomi yang stabil dan terjaga menjadi kekuatan Indonesia dalam menarik investasi.
Prioritas kebijakan
Namun, dalam mendorong investasi, Indonesia masih harus menyelesaikan beberapa pekerjaan rumah. Lembaga Moody’s mencatat RI memiliki masalah pada rendahnya basis pendapatan, ketergantungan pada pendanaan eksternal, dan struktur ekonomi yang rentan pada sektor komoditas.
Untuk mengatasinya, akses keuangan seperti kredit perbankan harus dipacu. Industri dapat didorong lebih produktif dengan pemberian keringanan dan fasilitas pembiayaan. Hal lain yang mesti dicermati, penetrasi kredit di Indonesia masih rendah dibanding negara ASEAN seperti Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina.
Kredit domestik dari sektor keuangan terhadap PDB baru 42,8 persen.
Selain memberi fasilitas pembiayaan, Indonesia juga harus memperbaiki peringkat daya saingnya dibandingkan negara-negara lain. World Economic Forum menempatkan Indonesia pada posisi ke- 50 dari 141 negara dalam indeks daya saing global 2019. Posisi ini turun 5 peringkat dari tahun sebelumnya.
Masalah itu adalah penanganan korupsi, ketidakefektifan birokrasi, akses pembiayaan, infrastruktur tidak memadai, ketidakstabilan politik.
Oleh karena itu, pembenahan perlu dilakukan untuk mengurangi sejumlah kendala struktural seperti regulasi yang membebani. Pembenahan tepat akan mendongkrak daya saing, pertumbuhan, dan memperkuat posisi eksternal.
Berkaca dari temuan indeks daya saing Global dari World Economic Forum, sejumlah masalah harus menjadi prioritas pembenahan. Masalah itu adalah penanganan korupsi, ketidakefektifan birokrasi, akses pembiayaan, infrastruktur tidak memadai, ketidakstabilan politik.
Faktor ketenagakerjaan juga merupakan salah satu problem. Namun kajian World Economic Forum menemukan, ketenagakerjaan bukan masalah utama investor enggan menanamkan modalnya di Indonesia. Dari 16 masalah utama berbisnis, peraturan ketenagakerjaan menempati urutan ke-13.
Prioritas kebijakan untuk memberantas korupsi, reformasi birokrasi, hingga menjaga stabilnya politik utamanya harus dilakukan untuk mendukung iklim investasi yang kondusif di Indonesia di tengah gejala perlambatan ekonomi global. (LITBANG KOMPAS)