Pandemi Covid-19 yang mulai teratasi di China menjadi harapan kebangkitan kembali berbagai industri di ”Negeri Tirai Bambu”. Bagi Indonesia, kemungkinan ini membuka sejumlah peluang guna menahan penurunan kinerja industri nasional.
Mengacu pada laman Johns Hopkins University and Medicine, hingga Minggu (15/3/2020) malam, telah ada 156.400 kasus positif Covid-19 di 142 negara dan teritori. China, tempat munculnya virus ini, menjadi negara dengan jumlah kasus terbanyak, yaitu 80.995 kasus. Sementara di Indonesia, ada 117 kasus positif Covid-19.
Saat ini, harapan pemulihan dari Covid-19 yang disebabkan virus korona baru mulai terlihat di China. Hal itu terlihat dengan tingginya angka kesembuhan di China. Sekitar 80 persen penderita Covid-19 di negara itu telah sembuh. Bahkan, publikasi John Hopkins yang juga dikonfirmasi dari publikasi Forum Ekonomi Dunia menyebutkan, jumlah penambahan kasus Covid-19 di China tidak lebih dari 50 orang per hari hingga 14 Maret.
Kunjungan Presiden China Xi Jinping ke Wuhan menjadi simbol bahwa China telah mengalami pemulihan dari ancaman Covid-19. Kunjungan Xi Jinping itu juga memberikan sinyal mulai pulihnya berbagai industri di China.
Gejala hidupnya kembali industri di ”Negeri Tirai Bambu” sudah dimulai sejak pertengahan bulan lalu. Mengutip New York Times (17/2/2020), industri di China mulai berproduksi kembali meski masih dalam skala terbatas. Pabrik perakitan di China untuk Airbus, General Motors, dan Toyota mulai beroperasi kembali.
Bergeraknya kembali roda perekonomian di China ini membawa harapan bagi dunia, mengingat China merupakan penyumbang terbesar perekonomian dunia setelah Amerika Serikat (AS). Data Bank Dunia mencatat, PDB China tahun 2018 menyumbang hingga 15,9 persen pada perekonomian global.
Sebagai salah satu penggerak utama perekonomian dunia, guncangan dan pemulihan di China akan berdampak pula bagi Indonesia. China adalah negara mitra dagang utama Indonesia.
Mitra dagang
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan dalam lima tahun terakhir, China adalah negara pertama tujuan ekspor Indonesia. Tahun 2019, lebih kurang 17 persen ekspor Indonesia ditujukan ke China.
Hingga Januari tahun ini, China masih menduduki peringkat pertama tujuan ekspor Indonesia. Bahkan, jika dibandingkan dengan Januari tahun lalu, terjadi peningkatan 22,23 persen, dari 1,7 miliar dollar AS menjadi 2,1 miliar dollar AS. Negara utama tujuan ekspor lainnya adalah AS, Jepang, India, dan Singapura.
Keberhasilan Indonesia melakukan ekspor ke sejumlah negara tidak terlepas dari kinerja industri pengolahan yang kini juga menjadi salah satu sektor andalan Indonesia. Tahun lalu, hampir seperlima PDB Indonesia disumbang oleh industri pengolahan dengan nilai Rp 2.782,9 triliun.
Namun, sejumlah tantangan tengah dihadapi industri dalam negeri, khususnya industri yang berorientasi ekspor. Sebagian besar produk ekspor Indonesia mengandalkan bahan baku dan bahan penolong dari luar negeri. Proporsi impor bahan baku dan bahan penolong untuk industri masih cukup besar walau nilainya mengalami penurunan pada tahun lalu.
Menurut kelompok barang, ada tiga jenis barang impor. Pertama, impor bahan baku dan penolong; kedua adalah impor barang konsumsi; serta terakhir adalah impor barang modal. Jika dibandingkan dengan golongan barang lainnya, impor bahan baku dan penolong mencatat proporsi terbesar dalam impor industri menurut kelompok barang.
Tahun 2019, misalnya, total impor menurut golongan barang senilai 170,7 miliar dollar AS. Sementara impor bahan baku dan penolong 125,9 miliar dollar AS. Artinya, tiga perempat dari impor Indonesia adalah bahan baku dan penolong.
Ini menunjukkan kuatnya ketergantungan industri Indonesia terhadap impor bahan baku dan penolong. Jika disimulasikan dengan total ekspor nonmigas, komponen impor bahan baku dan penolong untuk industri berkontribusi hingga 49,1 persen dari total ekspor nonmigas.
Sejumlah industri yang masih mengandalkan bahan baku dan penolong dari impor adalah industri permesinan dan logam, otomotif, elektronika, kimia dasar, makanan dan minuman, pakan ternak, tekstil dan produk tekstil (TPT), barang kimia lainnya, serta pulp dan kertas.
Harapan baru
Industri tekstil, makanan dan minuman, elektronik, serta industri otomotif adalah empat dari lima industri yang ditetapkan pemerintah sebagai industri prioritas. Lima industri ditetapkan sebagai prioritas karena kontribusinya yang besar terhadap industri manufaktur nonmigas.
Tahun lalu, sepertiga barang impor yang masuk ke Indonesia, termasuk bahan baku dan penolong untuk empat industri prioritas tersebut, berasal dari China. Proporsi impor tersebut telah meningkat sekitar 5 persen dari tahun 2015 yang hanya 24,8 persen. Oleh sebab itu, industri manufaktur dalam negeri bisa lebih berharap banyak jika industri di China pulih kembali.
Harapan daya tahan industri nasional juga bergantung pada situasi industri negara lain yang jadi mitra dagang utama, khususnya dalam hal impor. Negara itu adalah Jepang, Thailand, Singapura, AS, dan Korea Selatan. Negara-negara tersebut merupakan negara dengan perekonomian cukup kuat.
Kendati ancaman virus korona baru di sejumlah negara itu cukup tinggi, pemulihan di sana menampakkan hasil menggembirakan. Sejumlah pemberitaan media massa asing, seperti New York Times (17/2/2020), menyebutkan Singapura adalah salah satu negara yang sukses menangkal penyebaran Covid-19. Begitu pula dengan Korea Selatan.
Persoalan utamanya adalah kita tidak pernah tahu kapan virus ini akan berhenti menjalar. Namun, melihat perkembangan yang ada, paling tidak Indonesia berpeluang mencegah keterpurukan sektor industri dalam jangka pendek. Tantangan pertama adalah bagaimana sebanyak mungkin menangkap peluang dari kepulihan China dan sejumlah negara mitra dagang utama.
Dalam konteks tersebut, agaknya penting bagi pemerintah melakukan negosiasi guna menjamin kelancaran impor bahan baku dan penolong. Tanpa pasokan bahan baku dan bahan penolong yang memadai, roda industri akan sulit berputar. Tantangan kedua adalah mempertahankan skala produksi industri dalam negeri, khususnya industri berorientasi ekspor.
Upaya-upaya khusus boleh jadi perlu dilakukan mengingat virus korona baru justru tengah merebak di Indonesia. Hal ini berdampak pada kondisi faktor produksi selain bahan baku dan penolong, yakni tenaga kerja. Tantangan ketiga adalah mempertahankan negara-negara pasar utama ekspor Indonesia di tengah kondisi mereka yang kini juga berperang melawan virus korona baru.
Akhirnya, mungkinkah wabah ini juga menjadi alarm kedua bagi Indonesia untuk kembali pada industri substitusi impor, setelah ketidakpastian global akibat perang dagang? Boleh jadi, pembangunan industri substitusi impor menjadi kunci jawaban. (LITBANG KOMPAS)