Partai Demokrat dalam Genggaman Dinasti Yudhoyono
Agus Harimurti Yudhoyono akhirnya berhasil mencapai puncak kariernya di Partai Demokrat setelah terpilih secara aklamasi menjadi Ketua Umum dalam Kongres V Partai Demokrat di Jakarta.
Agus Harimurti Yudhoyono akhirnya berhasil mencapai puncak kariernya di Partai Demokrat setelah terpilih secara aklamasi menjadi ketua umum dalam Kongres V Partai Demokrat di Jakarta. Agus menggantikan posisi ayahnya, Susilo Bambang Yudhoyono, yang telah memimpin partai ini sejak tahun 2013. Sebagai pimpinan tertinggi, Agus bertugas memulihkan kembali reputasi partai yang terus merosot sejak Pemilu 2014.
Agus Harimurti Yudhoyono atau AHY bukanlah figur asing dalam kancah politik nasional. Sebagai putra sulung Presiden keenam Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono, nama Agus sudah ngetop seiring dengan popularitas ayahnya sebagai kepala negara.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Sosok AHY sejak awal kemunculannya di ruang publik lebih dikenal sebagai tokoh muda yang sukses dalam membina kariernya di dunia militer. Kesuksesan dalam sejumlah operasi militer telah membuka ruang yang lebar kepada suami Annisa Pohan ini dalam menapak karier politiknya ke jenjang yang lebih tinggi.
Karier yang cemerlang di militer ini sudah menjadi takdir AHY karena latar belakang keluarganya sendiri berasal dari militer. Ayahnya, Yudhoyono, merupakan tokoh militer yang sukses mengukir kariernya di korps TNI Angkatan Darat. Jabatan strategis yang pernah diemban Yudhoyono adalah Pangdam II/Sriwijaya pada 1997 dan Kepala Staf Teritorial (Kaster) AD dengan pangkat letnan jenderal. Yudhoyono pensiun dari TNI pada April 2001 seiring dengan pengangkatannya sebagai menteri.
Sementara dari sang ibu, (almarhumah), Kristiani Herawati, darah militer diwarisi dari kakeknya, Sarwo Edhie Wibowo, yang menjadi bintang TNI ketika pemberantasan PKI tahun 1965. Saat itu, sang kakek sudah menjadi Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat atau RPKAD dengan pangkat kolonel.
RPKAD merupakan satuan elite di tubuh TNI AD yang kemudian berubah menjadi Kopassus atau Komando Pasukan Khusus. Jabatan strategis setelah itu adalah Pangdam II/Bukit Barisan (1967-1968) dan Pangdam XVII/Cendrawasih (1968-1970). Setelah nonaktif dari TNI, Sarwo Edhie dipercaya pemerintah untuk menjadi Gubernur Akabri.
Pergerakan karier militer AHY yang begitu cepat di TNI AD sudah pasti mengikuti garis tangan yang sudah digambarkan oleh kakek dan ayahnya. Kedekatan AHY dengan militer secara resmi bisa terbaca ketika putra sulung Yudhoyono ini memilih sekolah di SMA Taruna Nusantara Magelang, tahun 1997.
Jejak kemiliteran ini semakin jelas ketika AHY melanjutkan pendidikannya ke Akademi Militer Magelang. Setelah lulus dari Akmil, AHY terlibat dalam sejumlah pendidikan ketentaraan demi mengasah kemampuannya. Tahun 2001 AHY bergabung dengan Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad), salah satu pasukan elite TNI AD selain Kopassus.
Kecakapannya memahami ilmu militer membuat pria kelahiran Kota Bandung, Jawa Barat, 42 tahun lalu ini, selalu mendapatkan kesempatan menimba ilmu kemiliteran di negara lain. Karier sebagai perwira pun diraih tahun 2013 dengan posisi sebagai Perwira Menengah Mabes TNI.
Tahun 2015 AHY menjadi Komandan Batalyon Infanteri Mekanis 203/Arya Kemuning. Inilah jabatan terakhir Agus selama 16 tahun tahun berkarier di TNI-AD dengan pangkat mayor sebelum mengundurkan diri untuk terjun ke dunia politik.
Dunia politik
Agus Harimurti Yudhoyono tidak pernah membayangkan sama sekali akan masuk ke rana politik, sebuah dunia yang benar-benar asing buat dirinya. Asing, lantaran darah yang mengalir di dalam dirinya lebih didominasi oleh darah militer ketimbang darah politik.
Keluarganya pun banyak dikenal sebagai tokoh militer ketimbang politik. Bahkan, perawakan AHY sendiri sudah identik dengan militer. Dari mana celah yang bisa merasuk ke dalam benak AHY sehingga serta-merta memutuskan mengakhiri karier militer yang sudah membesarkan namanya dan beralih menjadi politisi.
Debut politik AHY secara resmi berawal pada pelaksanaan Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017. Munculnya nama AHY sebagai salah satu calon gubernur yang diusung Partai Demokrat dengan mitra koalisinya PPP, PKB, dan PAN cukup mengejutkan.
Pasalnya, sejak awal rangkaian proses Pilgub DKI bergulir, Partai Demokrat tidak menunjukkan sikap yang jelas untuk mengusung calonnya sendiri. Meskipun ada perkiraan nama AHY bakal diusung, bisa dimentahkan karena posisi AHY di TNI yang sudah dianggap mapan, dan sosok AHY sendiri tergolong sebagai ”anak bawang” dalam kontestasi politik ini.
SBY sendiri dinilai tidak akan mengajukan putra sulungnya tersebut sebagai pesaing Basuki Tjahaja Purnama dan Anies Baswedan sebagai kandidat gubernur yang ketiga. Pasalnya, tindakan tersebut sangat membahayakan karier putra sulungnya di Angkatan Darat, dan Yudhoyono diperkirakan tidak akan mengambil risiko tersebut.
Namun, kalkulasi politik SBY berbeda dengan penilaian publik. Dalam hitungan bulan, Yudhoyono berhasil melobi pimpinan PPP, PKB, dan PAN untuk berkoalisi dengan partainya agar bisa mengajukan calon gubernur alternatif.
Hasilnya, tanggal 22 September 2016 Partai Demokrat memutuskan mengajukan nama Agus Harimurti Yudhoyono sebagai calon gubernur DKI Jakarta. Untuk wakilnya, koalisi ini meminang Deputi Gubernur Bidang Pariwisata dan Kebudayaan Pemprov DKI Jakarta Sylviana Murni.
Deklarasi ini menjadi penanda lahirnya bintang baru Partai Demokrat yang diinisiasi sendiri oleh sang ketua umum yang tidak lain adalah ayah AHY. Bagi AHY sendiri, penunjukan dirinya untuk menjadi kandidat gubernur merupakan sebuah pengalaman baru yang harus digeluti dengan risiko meninggalkan dunia militer yang sudah dirintis sejak tahun 2000.
Sebagai pendatang baru di atas panggung kontestasi Pilgub Jakarta, kemampuan AHY dalam berwacana dan berdebat tentang persoalan-persoalan Jakarta sangat dangkal ketimbang dua kompetitornya, Basuki Tjahaja Purnama dan Anies Baswedan. Pengetahuan ini sangat terlihat dalam debat terbuka ataupun perang wacana melalui media.
Wawasan AHY tentang Jakarta sedikit banyaknya disokong pengalaman Sylviana Murni, wakilnya yang juga merupakan birokrat Pemprov DKI Jakarta. Selain dari wakilnya, pengetahuan tentang Jakarta AHY pun disokong oleh tim suksesnya.
Agus Harimurti Yudhoyono kandidat gubernur Jakarta termuda harus menerima kekalahan pada putaran pertama. Pengalamannya yang minim dan pengetahuannya yang dangkal diduga menjadi penyebab kekalahan tersebut. Nama AHY pun tenggelam dalam hiruk pikuk politik Jakarta yang langsung disibukkan dengan putaran kedua pemilihan gubernur.
Agar nama AHY tidak benar-benar dilupakan publik, Partai Demokrat memercayakan sebuah posisi yang sangat strategis terkait dengan rencana pemenangan Pilkada 2018 dan Pemilu 2019. Lagi-lagi, Ketua Umum Demokrat mendaulat AHY sebagai Komandan (Kogasma) Partai Demokrat beberapa saat setelah hasil Pilkada Jakarta berakhir.
Penunjukan AHY sebagai Kogasma secara langsung oleh SBY menimbulkan kecurigaan sejumlah kalangan bahwa sang ayah sedang mempersiapkan putra sulungnya untuk menggantikan dirinya di Partai Demokrat atau bahkan melanjutkan karier politiknya sebagai presiden.
Melalui Kogasma inilah, nama AHY semakin berkibar seiring dengan promosi yang dilakukan oleh Partai Demokrat ke seluruh pelosok Tanah Air. Nama AHY pun perlahan-lahan mulai muncul dalam survei kandidat presiden yang diselenggarakan oleh sejumlah lembaga survei. AHY kerap kali diberi kesempatan dalam forum-forum terbuka sebagai panggung untuk mengasah kemampuan orasi demi meningkatkan popularitas dan tingkat elektabilitasnya.
Sepak terjang AHY melalui Kogasma terbilang sukses melambungkan namanya dengan hasil yang cukup memuaskan. Elektabilitas AHY pun mulai terdongkrak perlahan-lahan. Meskipun masih berada di posisi yang kurang strategis, peluang keterpilihan AHY sebagai calon presiden atau calon wakil presiden sudah terbuka.
Nama AHY pun sempat diperhitungkan oleh beberapa partai sebagai tokoh potensial untuk masuk dalam bursa pencalonan. Bahkan, Presiden Joko Widodo pun memberi respek dan mengundang AHY untuk berdiskusi tentang persoalan bangsa sekarang.
Kondisi inilah yang membuat Partai Demokrat merasa jemawa dan berani mengajukan kader terbaiknya itu sebagai salah satu kandidat orang nomor satu atau orang nomor dua di republik ini. Sayangnya, bursa capres dan cawapres untuk Pilpres 2019 yang berlangsung sengit dan panas hanya meloloskan dua pasangan, yaitu Joko Widodo-Ma’ruf Amin dengan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Mayoritas partai politik berkoalisi pada kedua pasangan ini, kecuali Partai Demokrat.
Ketika Pilpres 2019 berakhir dan Jokowi-Ma’ruf dilantik sebagai presiden dan wakil presiden terpilih, nama AHY seperti hilang dalam hitungan Presiden Jokowi untuk dijadikan sebagai orang kepercayaannya dalam pemerintahan. Sejak saat itu, nama AHY kembali tenggelam seiring dengan meredupnya panggung politik Partai Demokrat.
Pekerjaan Berat
Pemilu 2024 masih 4 tahun lagi. Ini adalah waktu yang cukup panjang bagi AHY untuk menanamkan pengaruh jika dalam kurun waktu tersebut dia mendapat panggung yang lebih tinggi dengan wewenang yang lebih besar. Panggung tersebut adalah posisi pimpinan tertinggi di Partai Demokrat, yaitu ketua umum.
AHY harus memimpin Partai Demokrat agar naluri berpolitiknya terasa semakin tajam. Inilah bekal yang dibutuhkan AHY untuk menjadi capres atau cawapres kelak. SBY yakin, hingga lima tahun ke depan, posisi Partai Demokrat masih tetap diperhitungkan meskipun pamornya tidak sekuat dulu lagi.
Kemampuan untuk mengelola posisi partai inilah yang harus dipelajari AHY selama memimpin partai, sebagaimana yang pernah dilakukan SBY ketika berhasil memenangi Pilpres 2004 dan 2009.
Kongres V Partai Demokrat yang diselenggarakan pada 15 Maret 2020 di Jakarta Convention Center (JCC) akan menjadi forum terakhir bagi SBY sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Pernyataan SBY bahwa pemimpin-pemimpin yang dilahirkan Partai Demokrat akan tetap berada dalam partai untuk membangun bersama adalah sinyal SBY akan tetap menjadi matahari dari partai ini.
Tentu, tugas berat sudah menanti AHY, yaitu memulihkan pamor Demokrat yang kekuatannya turun drastis setelah ayahnya turun takhta dari kepresidenan. Tantangan terberat AHY adalah menaikkan kembali perolehan suara Demokrat yang trennya dalam dua pemilu terakhir merosot drastis.
Tantangan berikutnya adalah membuat Partai Demokrat lebih tegas dalam menyikapi sebuah situasi politik. AHY harus bisa membuktikan kepada publik bahwa gaya kepemimpinan yang akan diterapkan akan berbeda dengan ayahnya. Pasalnya, reputasi Partai Demokrat selama ini sudah sangat identik dengan sosok SBY. AHY sekalipun sebagai putra SBY harus bisa mengeluarkan Partai Demokrat dari kungkungan pengaruh sosok ayahnya sendiri.
Salah satu dampak dari gaya kepemimpinan SBY tatkala menghadapi situasi politik dalam Pemilu 2019 adalah sikap politik Partai Demokrat yang netral dalam pemilihan ternyata tidak memberi keuntungan elektoral yang signifikan. Alih-alih menambah pemilih, perolehan Demokrat dalam pemilu terbaru justru merosot, bahkan paling rendah sejak Pemilu 2009.
Menurut hasil Pemilu 2019, Partai Demokrat berhasil meraih 10.876.057 suara atau 7,77 persen dari total suara sah. Di DPR Demokrat hanya mendapat 54 kursi atau 9,39 persen dari 575 kursi yang diperebutkan. Baik perolehan suara maupun kursi DPR memperlihatkan performa Demokrat yang terus memburuk dalam tiga pemilu terakhir, yaitu Pemilu 2009, 2014, dan 2019.
Tugas berat AHY adalah memulihkan Pamor Demokrat yang kekuatannya turun drastis setelah ayahnya, SBY, turun takhta dari kepresidenan.
Anjloknya perolehan Demokrat dalam pemilu terakhir ini seiring dengan meredupnya pamor Susilo Bambang Yudhoyono pendiri sekaligus tokoh sentral partai. Jejak penurunan Demokrat secara konstan bisa ditelusuri sejak Pemilu 2014, tahun di mana Yudhoyono mengakhiri jabatannya sebagai Presiden RI yang keenam. Saat itu perolehan suara Demokrat 12.728.913 atau 10,20 persen. Perolehan kursi DPR pun merosot tajam dari 148 menjadi 61 (10,89 persen) kursi.
Kemerosotan suara Demokrat sendiri sudah terjadi sejak tahun 2009 di mana mantan Menko Polkam ini terpilih kembali menjadi Presiden RI untuk periode kedua. Pada masa pemerintahan periode kedua inilah, pamor SBY memudar. Pemicunya adalah terungkapnya kasus-kasus korupsi berskala besar yang melibatkan sejumlah elite dan politisi Demokrat yang menjadi anggota DPR.
Kasus korupsi terbesar dan menjadi ikon untuk citra Partai Demokrat adalah korupsi dalam proyek pembangunan pusat olahraga Hambalang. Kasus yang melambungkan nama Muhammad Nazarudin, anggota DPR dari Partai Demokrat ini, ternyata berbuntut panjang kepada partainya. Banyak petinggi Demokrat yang satu per satu namanya diungkap terlibat dalam kasus megakorupsi ini. Ironisnya, pengungkapan kasus ini terjadi ketika SBY sedang berada di puncak ketenarannya.
Maraknya penangkapan elite Demokrat oleh Komisi Pemberantasan Korupsi di masa terakhir kekuasaan SBY ternyata bisa menggerus kepercayaan rakyat terhadap Presiden. Ini menjadi bukti bahwa kebencian rakyat terhadap korupsi yang dilakukan oleh partainya SBY ini ternyata berpengaruh buruk terhadap performa Presiden Yudhoyono. Sejumlah survei Litbang Kompas tentang kepemimpinan SBY mengungkapkan, kinerja SBY dalam memimpin terus menurun pada bulan-bulan terakhir kekuasaannya.
Pemilu 2019 kembali menjadi saksi atas keterpurukan Demokrat untuk kedua kalinya. Keterpurukan ini semakin menegaskan bahwa Demokrat sangat identik dengan SBY. Ketika pamor SBY meningkat, partai ini menjadi kuat. Sebaliknya, ketika pamor ”Sang Bintang” memudar, popularitas partai ini juga ikut anjlok. Turunnya perolehan suara partai ini secara berturut-turut pada Pemilu 2014 dan 2019 dapat menjadi salah satu indikasi bahwa Partai Demokrat harus bisa keluar dari kungkungan sosok SBY. (LITBANG KOMPAS)