Memahami Anak Penyandang ”Down Syndrome”
Kasus sindrom down masih terjadi di Indonesia, bahkan meningkat pada tahun 2018. Bayi lahir dengan sindrom down tidak selalu akibat genetis dari orangtuanya.
Kasus down syndrome masih terjadi di Indonesia, bahkan angkanya meningkat pada 2018. Bayi lahir dengandown syndrome tidak selalu akibat genetis dari orangtuanya. Berbagai faktor risiko yang dialami ibu saat mengandung dapat membuat anak lahir dengan down syndrome.
Saat lahir, anak dengan down syndrome pun masih harus berhadapan dengan stigma buruk dari masyarakat, bahkan tidak mendapatkan perawatan yang tepat dari orang sekitarnya.
Memiliki anak yang dapat bertumbuh kembang normal sebagaimana anak-anak lainnya, baik dari segi fisik, kognitif, maupun emosional, merupakan impian setiap orangtua. Namun, ada beberapa anak yang memiliki hambatan dalam perkembangannya, salah satunya mengalami down syndrome.
Down syndrome merupakan kelainan genetik yang cukup sering terjadi. Adanya kelainan genetik ketika bayi yang dikandung memiliki tambahan kromosom 21 yang merupakan penyebab down syndrome. Tambahan kromoson 21 tersebut dapat terjadi pada salinan penuh atau hanya sebagian, baik yang terbentuk saat perkembangan sel telur, pembentukan sel sperma, maupun embrio.
Down syndrome biasanya diidentifikasi saat lahir dengan adanya ciri-ciri fisik tertentu, seperti tonus otot rendah, lipatan dalam tunggal di telapak tangan, profil wajah yang sedikit rata dan miring ke atas ke mata. Namun, untuk mendapatkan diagnosis yang pasti, tes lewat pengambilan sampel darah untuk mengukur jumlah, ukuran dan bentuk kromosis maupun tes genetik seperti FISH yang hasilnya bisa dalam waktu singkat.
Data WHO memperkirakan 3.000 hingga 5.000 bayi terlahir dengan kondisi down syndrome setiap tahun. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar 2010, kasus down syndrome pada anak 24-59 bulan mencapai 0,12 persen. Sementara tahun 2013 naik menjadi 0,13 persen. Kemudian, tahun 2018 melonjak menjadi 0,21 persen.
Faktor risiko ibu sangat memengaruhi peningkatan jumlah kelahiran anak down syndrome. Risiko ibu mengandung anak dengan berkebutuhan khusus ini disebabkan bukan hanya oleh genetika, melainkan juga beragam faktor lain.
Faktor risiko
Selain faktor genetika, faktor usia ibu saat mengandung, riwayat pernah mengandung anak dengan sindrom down (down syndrome) sebelumnya, jumlah dan jarak usia dengan saudara kandung, sang ibu kekurangan asam folat pada saat kehamilan, serta lingkungan dengan paparan bahan kimia menjadi faktor risiko ibu mengandung anak dengan sindrom down.
Usia ibu saat hamil memang bukan penyebab sindrom down, tetapi ini merupakan salah satu faktor risiko. Sindrom down bisa terjadi di usia berapa saja saat ibu sedang hamil. Namun, peluang terjadinya sindrom down akan semakin meningkat seiring dengan bertambahnya usia.
Risiko mengandung bayi dengan masalah genetika, termasuk sindrom down, dipercaya meningkat saat usia wanita mencapai 35 tahun atau lebih tua ketika sedang hamil. Kondisi ini disebabkan karena sel telur wanita yang usianya lebih tua berisiko lebih besar untuk mengalami pembelahan kromosom yang tidak tepat. Risiko terjadinya sindrom down pada dasarnya sudah ada sebelum pembuahan terjadi.
Risiko ibu mengandung anak dengan sindrom down juga sangat tinggi jika ibu pernah melahirkan bayi sindrom down sebelumnya. Wanita yang pernah mengandung bayi dengan sindrom down memiliki risiko lebih tinggi untuk melahirkan bayi selanjutnya yang juga mengidap down syndrome. Hal ini juga berlaku untuk orangtua yang memiliki sindrom down translokasi sehingga berisiko dapat berpengaruh kepada bayinya.
Hasil penelitian Markus Neuhäuser dan Sven Krackow dari Institute of Medical Informatics, Biometry and Epidemiology di University Hospital Essen bahkan menemukan risiko bayi lahir dengan sindrom down juga bergantung pada seberapa banyak saudara kandung dan seberapa jauh jarak usia antara anak paling bungsu dengan bayi tersebut. Semakin jauh jarak antarkehamilan, semakin tinggi pula risiko bayi lahir sindrom down.
Kekurangan asam folat yang dikonsumsi calon ibu pada saat masa kehamilan juga dapat menjadi faktor risiko bayi lahir dengan sindrom down.
Kekurangan asam folat yang dikonsumsi calon ibu pada saat masa kehamilan juga dapat menjadi faktor risiko bayi lahir dengan sindrom down. Mencukupi asupan asam folat bisa membantu mencegah kelainan yang mungkin terjadi bagi janin, termasuk sindrom down. Asam folat yang dibutuhkan saat merencanakan kehamilan atau selama hamil adalah 400-800 mg yang bisa diperoleh dari sayuran hijau, buah, kacang-kacangan dan biji-bijian, serta susu hamil.
Paparan zat kimia yang diterima ibu selama kehamilan juga menjadi salah satu faktor risiko bayi lahir sindrom down, mulai dari asap kendaraan, asap rokok hingga produk kosmetik. Selain dapat menyebabkan terjadinya kelainan kromosom pada janin, merokok saat hamil bahkan dapat menyebabkan bayi terlahir dengan kelainan jantung.
Hapus stigma
Kehadiran anak dengan sindrom down sering kali tidak diikuti perawatan yang tepat oleh orangtua. Orangtua, terutama ibu, tidak jarang mengalami stres. Kondisi ini berakibat buruk terhadap perawatan yang diterima anak dengan sindrom down sejak dini. Anak dengan sindrom down pun harus menghadapi stigma yang tidak kalah berat dengan yang dialami orangtuanya.
Padahal, semenjak lahir, anak sindrom down harus diberi penanganan secara intensif. Pemeriksaan kesehatan secara menyeluruh harus dilakukan untuk mendeteksi apakah ada kelainan pada organ lainnya, terutama jantung. Sebab, 30 persen penyandang sindrom down memiliki gangguan pada jantungnya. Dengan demikian, pemeriksaan menyeluruh soal tumbuh kembang seharusnya menjadi prioritas orangtua pada masa awal kelahiran anak, terutama anak dengan sindrom down.
Anak yang mengalami sindrom down memiliki stigma bahwa mereka memiliki penyimpangan dan fungsi yang maladaptif atau tidak dapat berbuat apa pun. Stigma yang melekat terhadap anak-anak dengan sindom down menunjukkan ketidakpahaman masyarakat mengenai kondisi anak-anak tersebut. Padahal, anak sindrom down memiliki potensinya masing-masing dan harus diberi kesempatan karena mereka bisa melakukan apa pun meski dengan ritme lebih lambat.
Sikap ibu dapat mendukung perkembangan anak dengan sindrom down menjadi lebih positif. Dalam keterbatasannya, anak dengan sindrom down bisa memaksimalkan potensi diri setara dengan orang normal serta menunjukkan peran aktif dalam kehidupan bermasyarakat asal mendapatkan kesempatan.
Dukungan positif dari orang-orang di sekelilingnya dan masyarakat sekitar, disertai peluang dan ruang seluas-luasnya untuk mengembangkan diri, menggali segala kemampuan, bakat, dan minat untuk berperan dan berkontribusi secara optimal menjadi hak yang harus diberikan kepada juga anak dengan sindrom down.
Bagi para orangtua, akan sangat membantu apabila bergabung dengan komunitas para orangtua dengan anak down syndrome, seperti POTADS (Persatuan Orang Tua dengan Anak Down Syndrome) dan Ikatan Sindroma Down Indonesia (ISDI). Setiap saat para anggota bisa saling berbagi pengalaman, informasi, dan saling menguatkan satu sama lain. Ibu dan ayah yang memiliki anak sindrom down akan merasa ditemani dalam merawat dan membesarkan anaknya.
Dukungan serta peluang untuk berkembang bagi anak dengan sindrom down juga harus terus diberikan oleh pemerintah untuk merealisasikan semangat pada Konvensi Hak Penyandang Disabilitas dalam UU nomor 19 tahun 2011. Prinsip SDG’s yang utama adalah ”Tidak meninggalkan satu orang pun” termasuk anak dengan sindrom down.
Anak-anak dengan down syndrome merupakan tanggung jawab pemerintah, sehingga berhak atas hak mendapatkan pendidikan, kesehatan, dan segala kebutuhan yang dibutuhkan layaknya seorang individu. (LITBANG KOMPAS)