Jumlah pasangan calon tunggal di pilkada serentak terus mengalami peningkatan. Koalisi partai yang mengusung calon tunggal juga semakin besar di setiap pilkada. Hampir seluruh calon tunggal menang melawan kotak kosong. Hal ini menjadi bukti, mengusung calon tunggal sama dengan mengantongi kemenangan sedari awal. Meski demikian, calon tunggal menjadi preseden buruk dalam upaya menciptakan kontestasi politik yang demokratis.
Sejak pilkada serentak pertama kali digelar pada 2015, sudah muncul calon tunggal yang bertanding melawan kotak kosong. Kala itu ada tiga kabupaten yang memiliki calon tunggal, yaitu Blitar, Timor Tengah Utara, dan Tasikmalaya.
Pada pilkada serentak kedua pada tahun 2017, jumlah daerah dengan calon tunggal meningkat tiga kali lipat menjadi sembilan. Sembilan daerah tersebut terdiri dari 6 kabupaten dan 3 kota. Sementara itu, pada Pilkada 2018 jumlah daerah dengan paslon tunggal meningkat hampir dua kali lipat menjadi 16 daerah yang terdiri dari 13 kabupaten dan 3 kota.
Secara akumulatif, terdapat 28 daerah yang pernah melaksanakan pilkada dengan calon tunggal selama tiga periode pilkada serentak. Daerah-daerah tersebut terdiri dari 22 kabupaten dan 6 kota. Ada empat daerah dari Papua serta masing-masing 3 daerah dari Sumatera Utara, Banten, dan Sulawesi Selatan.
Tidak hanya dari sisi jumlah paslon tunggal yang terus meningkat, koalisi partai politik (parpol) yang mengusung calon tunggal juga makin besar. Pada Pilkada 2015, calon tunggal diusung satu hingga tiga partai koalisi. Sementara pada Pilkada 2017, calon tunggal paling sedikit diusung 7 parpol dan paling banyak diusung 9 parpol. Angka koalisi parpol makin besar pada Pilkada 2018. Calon tunggal paling sedikit diusung 6 parpol dan paling banyak 12 parpol.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) mencatatkan diri sebagai partai pengusung calon tunggal terbanyak kecuali pada Pilkada Kabupaten Buton tahun 2017. Sementara itu, jika merujuk pada peta koalisi Pilkada 2017 dan Pilkada 2018, Partai Golkar hanya absen pada pengusungan calon di Pilkada Kabupaten Mamberamo Tengah pada 2018.
Calon tunggal terbukti menjanjikan kemenangan.
Calon tunggal juga terbukti menjanjikan kemenangan. Dari 28 daerah dengan calon tunggal selama tiga periode pilkada serentak, 27 di antaranya menang melawan kotak kosong. Tiga belas daerah dimenangkan dengan angka lebih dari 80 persen.
Kemenangan tertinggi sebesar 99,13 persen diraih paslon John Richard Banua dan Marthin Yogobi dari Kabupaten Jayawijaya pada Pilkada 2018 yang diusung 9 partai koalisi.
Terjadi di setiap pilkada
Di Indonesia, pilkada serentak pertama kali dilaksanakan pada 9 Desember 2015 yang diikuti 269 daerah. Kala itu, kemunculan calon tunggal belum signifikan. Tiga daerah dengan calon tunggal ada di tiga kabupaten, yaitu Blitar, Timor Tengah Utara, dan Tasikmalaya.
Pemilihan bupati dan wakil bupati di Blitar hanya diikuti pasangan calon (paslon) Rijanto dan Marhaenis yang diusung PDI-P dan Partai Gerindra. Paslon ini memboyong kemenangan dengan perolehan suara 84,90 persen.
Pemilihan kepala daerah di Timor Tengah Utara, Provinsi Nusa Tenggara Timur, hanya diikuti paslon Raymundus Sau Fernandes dan Aloysius Kobes yang diusung satu partai, yaitu PDI-P. Paslon ini mengantongi 79,74 persen suara.
Sementara itu, Pilkada di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, hanya diikuti pasangan Uu Ruzhanul Ulum dan Ade Sugianto yang diusung PDI-P, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dengan perolehan suara 67,35 persen. Ketiganya mengalahkan kotak kosong.
Pilkada Serentak kedua digelar pada 15 Februari 2017 yang diikuti 101 daerah pemilihan. Jumlah daerah dengan calon tunggal meningkat hingga tiga kali lipat. Sembilan daerah terdiri dari 6 kabupaten dan 3 kota. Calon tunggal diusung koalisi partai yang besar mulai tampak di era pilkada serentak kedua ini.
Pada Pilkada 2017, calon tunggal setidaknya diusung 7 parpol dan paling banyak diusung 9 parpol. Paslon dengan pengusung terbanyak adalah paslon Umar Ahmad dan Fauzi Hasan dari Kabupaten Tulang Bawang, Lampung. Paslon ini juga tercatat mendapatkan suara terbanyak dibandingkan calon tunggal di daerah lainnya, yaitu dengan mendapatkan suara 96,75 persen.
Seluruh calon tunggal menang atas kotak kosong.
Paslon dengan jumlah pengusung terkecil, yaitu sebanyak 7 parpol, adalah paslon Benhur Tomi Mano dan Rustan Saru dari Kota Jayapura. Meski demikian, paslon ini tetap mendapatkan suara besar dengan kemenangan 84,24 persen. Selain di Kota Jayapua, paslon dari Kabupaten Buton juga diusung tujuh partai. Paslon Samsu Umar Abdul Samiun dan La Bakry menang tipis dari kotak kosong dengan perolehan 55,08 persen suara. Seluruh calon tunggal menang atas kotak kosong.
Pada Pilkada 2018, jumlah daerah dengan paslon tunggal makin banyak dan menyebar. Pilkada serentak ketiga yang diselenggarakan pada 27 Juni 2018 ini diikuti 171 daerah. Tercatat 16 daerah kota dan kabupaten yang hanya memiliki satu pasangan calon.
Lagi-lagi, fenomena koalisi raksasa ditemukan dalam pencalonan tiap calon tunggal. Paslon paling sedikit diusung 6 parpol dan paling banyak oleh 12 parpol. Menariknya, pada Pilkada 2018 kala itu, satu daerah dimenangkan kotak kosong. Kotak kosong menang di Kota Makassar, mengalahkan Munafri Arifuddin dan Andi Rahmatika Dewi, yang diusung 10 parpol yang hanya memperoleh suara 46,77 persen.
Fenomena calon tunggal ini menjadi cela dalam praktik demokrasi di Indonesia. Hasil jajak pendapat Kompas pada 11-12 Maret 2020 menunjukkan, sebagian besar responden (69,7 persen) tidak setuju jika di pilkada hanya ada satu pasangan calon. Sebanyak 69,5 persen responden juga menilai calon tunggal sebagai kontradiksi dari demokrasi (Kompas, 16 Maret 2020).
Sebagai sebuah ajang kontestasi, pilkada seharusnya dapat menjadi tempat di mana partai politik dapat mengajukan kader-kader terbaiknya dipilih masyarakat. Bukan malah manggalang kekuatan raksasa demi dapat menduduki kursi kekuasaan. (LITBANG KOMPAS)