Indonesia bersama sejumlah negara lain dikeluarkan oleh Pemerintah Amerika Serikat dari daftar negara berkembang dan dipertimbangkan sebagai negara maju dilihat dari sudut pandang perdagangan internasional.
Oleh
`GIANIE
·6 menit baca
Di saat virus korona baru yang menyebabkan penyakit Covid-19 mulai merebak ke penjuru dunia, sebuah berita datang dari Amerika Serikat. Indonesia bersama sejumlah negara lain dikeluarkan Pemerintah Amerika Serikat dari daftar negara berkembang. Apakah memang sudah saatnya Indonesia menjadi negara maju?
Laman berita The Star pada 20 Februari 2020 memberitakan, Indonesia bersama sejumlah negara lain dikeluarkan oleh Pemerintah Amerika Serikat dari daftar negara berkembang dan dipertimbangkan sebagai negara maju dilihat dari sudut pandang perdagangan internasional. Pemberitaan tersebut mengacu pada pemberitahuan resmi dari Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (US Trade Representative/USTR) pada 10 Februari 2020.
Bersama dengan Indonesia, negara yang juga dikeluarkan dari daftar negara berkembang adalah China, Brasil, India, dan Afrika Selatan. Mengeluarkan negara-negara ini dari daftar internal mereka akan memudahkan AS untuk memeriksa apakah negara-negara tersebut melakukan praktik-praktik ekspor yang tidak adil, seperti subsidi pada komoditas tertentu melebihi batas toleransi.
Dengan kebijakan ini, Indonesia tidak akan lagi menerima fasilitas special & differential treatments (SDT) yang disediakan berdasarkan kesepakatan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) kepada negara-negara berkembang.
Dampak lain, ekspor barang-barang dari Indonesia akan dikenai pajak impor lebih tinggi, yang akan berakibat harga barang di pasar internasional menjadi lebih tinggi pula. Hal ini bisa berarti semakin sulit bersaing dengan negara lain untuk jenis produk yang sama.
USTR mengeluarkan sejumlah negara dari daftar internal mereka dengan pertimbangan negara-negara tersebut sudah memiliki 0,5 persen atau lebih perannya dalam perdagangan dunia. Padahal, sebelumnya, berdasarkan aturan 1998, ambang batas yang menjadi patokan adalah 2 persen atau lebih. Peran Indonesia 0,9 persen.
Selain itu, faktor pertumbuhan ekonomi, pendapatan nasional bruto (GNI), serta keanggotaan dalam organisasi internasional, seperti Group of 20 (G-20), European Union, atau Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), juga jadi pertimbangan.
USTR berdasarkan Undang-Undang Countervailing Duties (CVD) yang berlaku di AS memang memiliki kewenangan untuk mendefinisikan sendiri negara mana saja yang dianggap sebagai negara berkembang. Namun, karena UU ini diadopsi dari kesepakatan WTO, AS selama ini punya kewajiban untuk memberikan SDT kepada anggota WTO yang merupakan negara berkembang. Dalam UU tersebut, SDT diinterpretasikan sebagai pembedaan de minimis threshold (ambang batas toleransi) yang diberikan kepada negara-negara yang melakukan subsidi perdagangan dengan AS.
Keputusan AS yang belum mendapatkan persetujuan dari negara anggota WTO lainnya ini menimbulkan kontroversi di Tanah Air. Keputusan AS tersebut malah menguntungkan Indonesia dan mengandung promosi karena artinya Indonesia naik kelas.
Selain itu, naik kelas tersebut sejalan dengan proyeksi Indonesia akan menjadi negara dengan pendapatan menengah ke atas tahun ini. Berdasarkan proyeksi Bappenas, Indonesia akan keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah pada 2036 ketika produk domestik bruto (GDP) per kapita mencapai 12.233 dollar Amerika Serikat dan menjadi 23.199 dollar AS pada 2045.
Meski demikian, sejumlah pengamat ekonomi di dalam negeri berpandangan sebaliknya. Indonesia seharusnya mempertahankan statusnya sebagai negara berkembang karena angka pendapatan per kapita dan sejumlah indikator sosial lainnya masih jauh dibandingkan dengan negara maju, seperti Singapura, apalagi AS. Jadi, Indonesia tetap bisa menikmati fasilitas SDT dari WTO, kebijakan yang mengecualikan negara berkembang dari aturan perdagangan ketat.
Negara-negara di dunia oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dibedakan menjadi dua kategori utama, yaitu negara maju dan negara berkembang. Pengategorian ini didasarkan pada sejumlah indikator ekonomi dan sosial.
Negara maju mengacu pada negara yang berkuasa penuh, yang perekonomiannya maju pesat didukung oleh industri dan infrastruktur teknologi mutakhir. Sementara negara berkembang masih merangkak mengembangkan industri dan meningkatkan kualitas pembangunan manusia.
Negara maju, yang juga disebut sebagai negara dunia pertama karena mereka mampu mencukupi seluruh kebutuhannya, memiliki level indikator ekonomi dan sosial yang tinggi. Negara maju sudah pasti memiliki ranking Indeks Pembangunan Manusia (HDI) yang tinggi, standar hidup yang tinggi, GDP tinggi, pendapatan per kapita yang tinggi, layanan kesehatan dan pendidikan yang baik, fasilitas transportasi dan komunikasi yang baik, infrastruktur dan teknologi tinggi, dan sebagainya.
Sementara negara berkembang, yang juga disebut sebagai negara dunia ketiga, memiliki level indikator sebaliknya. Ciri utama negara berkembang adalah pendapatan per kapitanya yang rendah dan ranking HDI yang juga rendah. Negara berkembang bergantung pada negara maju untuk mencukupi kebutuhannya dan mengembangkan industri. Permasalahan yang dihadapi negara berkembang antara lain soal kemisikinan, gizi buruk, kesenjangan pendapatan, tingginya angka kematian ibu dan anak, pengangguran, tingkat pendidikan rendah, serta pemerintahan yang bergantung pada utang.
Bagaimana dengan Indonesia dilihat dari indikator-indikator tersebut?
Berdasarkan proyeksi Bappenas, Indonesia akan keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah pada 2036 ketika produk domestik bruto (GDP) per kapita mencapai 12.233 dollar Amerika Serikat dan menjadi 23.199 dollar AS pada 2045.
Merujuk pada penjabaran Bank Dunia per akhir 2019, Indonesia merupakan negara kepulauan di Asia Tenggara dengan skala ekonomi yang besar. Indonesia mencatat pertumbuhan ekonomi yang mengesankan sejak bangkit dari krisis multidimensi di akhir 1990-an.
Pendapatan (GDP) per kapitanya meningkat tajam dalam hampir dua dekade, dari 823 dollar AS pada tahun 2000 menjadi 3.894 dollar AS pada 2018. Saat ini, Indonesia merupakan negara berpenduduk terbesar keempat di dunia, negara dengan paritas daya beli (purchasing power parity/PPP) terbesar kesepuluh di dunia, dan anggota G-20.
Indonesia termasuk kelompok negara berpendapatan menengah ke bawah yang berhasil mengurangi angka kemiskinan lebih dari separuh sejak 1999 menjadi ke tingkat 9,2 persen pada 2019. Di tengah ketidakpastian yang menghantui dunia, prospek (outlook) ekonomi Indonesia cenderung positif dengan konsumsi masyarakat menjadi penggerak utama perekonomian.
HDI Indonesia berada pada ranking ke-111 (dari 189 negara) dengan skor 0,707 (2018). Posisi ini hanya sedikit membaik dibandingkan tahun sebelumnya yang berada pada peringkat ke-116 (skor 0,694). Pendidikan tertinggi yang berhasil ditamatkan sebagian besar penduduknya adalah tingkat sekolah menegah pertama.
Dengan jumlah penduduk sekitar 264 juta jiwa, masih terdapat sekitar 25 juta jiwa yang hidup di bawah garis kemiskinan. Juga masih terdapat sekitar 19 persen penduduk yang rentan jatuh ke garis kemiskinan.
Meski upaya telah dilakukan untuk memperbaiki layanan dasar publik, seperti kesehatan dan pendidikan, kesenjangan tetap saja belum teratasi, terutama di bidang kesehatan. Satu dari tiga anak di bawah usia lima tahun menderita gizi buruk dan lambat berkembang (stunting). Kondisi ini memengaruhi perkembangan otak dan berdampak pada masa depan mereka.
Dengan segala kondisi yang dijabarkan Bank Dunia di atas, apakah Indonesia saat ini memang sudah bisa naik kelas menjadi negara maju? Betul Indonesia anggota G-20. Akan tetapi, berdasarkan parameter Bank Dunia, suatu negara dikatakan masuk dalam kelompok negara berpendapatan tinggi jika bisa mencapai pendapatan per kapita 12.376 dollar AS per tahun. Untuk sampai ke kondisi tersebut, Indonesia membutuhkan waktu setidaknya sekitar 16 tahun lagi. (LITBANG KOMPAS)