Pandemi Covid-19 yang sekarang mewabah di seluruh dunia sebenarnya menyadarkan kita pada perilaku hidup sehat yang hari-hari sebelumnya terasa sederhana. Perilaku hidup sehat ini justru ditentukan oleh hal sangat sederhana, yaitu mencuci tangan dengan benar.
Setiap tanggal 7 April, dunia memperingati Hari Kesehatan Internasional. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan tema tahun ini, yaitu ”dukunglah para perawat dan bidan (support nurses and midwives)”.
Mengingat kondisi dunia sedang terancam pandemi Covid-19, ditegaskan bahwa perawat, bidan, termasuk pekerja medis (healthcare worker/HCW), adalah ”ujung tombak” dalam menghadapi pandemi penyakit ini. Sementara itu, warga dunia diharapkan mendukung kerja mereka dengan menerapkan perilaku hidup sehat, salah satu di antaranya adalah rajin mencuci tangan.
Pernyataan senada ditekankan juga oleh juru bicara pemerintah dalam penanganan virus korona, Achmad Yurianto, pada 30 Maret lalu. Menurut Yurianto, cuci tangan adalah cara paling efektif untuk mencegah penularan virus ini.
Sejarah cuci tangan
Ada riwayat panjang di balik mencuci tangan. Artikel ”Instructions and Observations Regarding The Use of The Chlorides of Soda and Lime” (J Porter, 1829) yang dimuat pada laman Centres for Disease Control and Prevention (CDC, Washington, AS), menyebutkan, sekitar tahun 1825 para dokter dan tenaga medis memanfaatkan cairan antiseptik berbahan chlorides of lime or soda (lazim disebut klorin). Cairan ini dianggap bisa mengurangi risiko penularan dari pasien yang terkena penyakit berbahaya saat itu.
Tahun 1846, Ignaz Philipp Semmelweis, seorang dokter di RS Vienna, Austria, menemukan bahwa cuci tangan dengan bahan antiseptik prophylaxis sebelum memasuki ruang persalinan bisa menekan angka kematian pada sejumlah ibu pasca-melahirkan di RS itu.
Pada 1943, Oliver Wendell Holmes melengkapi temuan Semmelweis. Holmes menemukan fakta bahwa cuci tangan bisa mengurangi kematian ibu akibat demam yang disebabkan infeksi bakteri pada saluran reproduksi wanita pasca-melahirkan (puerperal fever).
Mengacu pada laman WHO Guidelines On Hand Hygiene In Health Care, 2006, temuan Semmelweis dan Holmes berlanjut dengan
sejumlah penelitian selama 40 tahun lebih terkait dengan cuci tangan dan penyakit-penyakit menular, terutama di negara-negara berkembang.
Tahun 1961, Lembaga Kesehatan Masyarakat AS mempromosikan film pelatihan berupa teknik cuci tangan bagi para pekerja medis. Sejak itulah cuci tangan dengan sabun berdurasi 1-2 menit menjadi rekomendasi resmi bagi para pekerja kesehatan sebelum dan sesudah melakukan kontak dengan pasien.
Kendati saat itu sudah ada alternatif cuci tangan dengan bahan seperti alkohol, tetapi air dan sabun tetap menjadi opsi yang paling efektif. Sekitar 1980, rekomendasi itu berlanjut dengan pedoman nasional kebersihan tangan (national hand hygiene guidelines) yang kemudian diadopsi sejumlah negara lain, seperti Kanada dan beberapa negara Eropa.
Kebiasaan di Indonesia
Perilaku cuci tangan penting, tetapi masih kerap dianggap remeh, bahkan dilupakan. Mengutip laman Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI tahun 2014, cuci tangan dengan sabun dan air adalah tindakan sanitasi. Maklum, tangan dan jari jemari kerap menjadi agen pembawa kuman dan menyebabkan patogen berpindah dari satu orang ke orang lain.
Tangan juga dapat membawa kuman, baik secara langsung maupun tidak langsung. Tangan pula yang dapat membawa kuman secara tidak langsung lewat perantara berbagai benda yang disentuh, misalnya handuk ataupun peralatan makan dan minum.
Sejumlah penelitian membuktikan bahwa kebiasaan cuci tangan berkorelasi untuk menurunkan penyakit, seperti diare, infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), infeksi kulit, mata, cacingan, SARS, hingga flu burung. Masih dari analisis publikasi Pusdatin Kemenkes RI 2014, dipaparkan sebanyak 51 penelitian dari Jurnal Kedokteran Inggris yang menyimpulkan bahwa kombinasi antara cuci tangan, karantina dan pembatasan sosial adalah cara terbaik dalam intervensi pencegahan penularan virus seperti ISPA.
Sebagai sebuah kebiasaan higienis, waktu yang tepat untuk mencuci tangan adalah sebelum makan atau saat menyiapkan makanan. Selain itu, mencuci tangan juga wajib dilakukan sebelum menyusui bayi, menceboki bayi atau anak, dan setelah buang air besar. Mencuci tangan juga penting dilakukan sesudah memegang hewan dan uang, berkebun, dan setelah bersentuhan dengan pestisida atau insektisida.
Sementara sejauh ini belum banyak masyarakat yang menyadari pentingnya memahami dan melaksanakan cuci tangan dengan tepat. Hal tersebut tecermin dari data Riset Kesehatan Dasar yang dipublikasikan Kemenkes.
Data termutakhir Riskedas tahun 2018 menunjukkan, secara nasional tidak sampai separuh penduduk berusia 10 tahun ke atas yang sudah menerapkan perilaku mencuci tangan dengan benar. Tercatat, perilaku mencuci tangan dengan benar paling banyak diterapkan penduduk di Provinsi Bali. Sekitar 67 persen penduduk di Pulau Dewata telah menerapkan perilaku mencuci tangan dengan benar menurut Riskesdas tahun 2018.
Sementara Nusa Tenggara Timur (NTT) tercatat sebagai provinsi yang menduduki peringkat terendah dalam hal mencuci tangan dengan benar. Data Riskesdas 2018 menunjukkan, kebiasaan mencuci tangan dengan benar hanya dilakukan seperlima penduduk di Provinsi NTT.
Kebiasaan di Ibu Kota
Hasil Riskesdas tahun 2018 juga menunjukkan hanya 54,8 persen penduduk di Provinsi DKI Jakarta yang menerapkan cuci tangan dengan benar. Kondisi ini tak banyak berubah dari hasil Riskesdas tahun 2013, di mana baru 59,2 persen penduduk di Jakarta yang mencuci tangan dengan benar. Kendati data Riskesdas bersifat sampel, hasil tersebut paling tidak menunjukkan bahwa mencuci tangan sebagai sebuah aktivitas sederhana belum menjadi bagian dari pola hidup sehat sebagian masyarakat.
Fakta tersebut menjadi persoalan serius di tengah mewabahnya virus korona tipe baru seperti sekarang. Hal ini mengingat DKI Jakarta menjadi wilayah dengan temuan kasus positif Covid-19 tertinggi di Indonesia. Sebagai gambaran, hingga 2 April 2020 pukul 21.00 tercatat ada 1.790 kasus positif Covid-19 di Indonesia. Sebanyak 49,4 persen atau 885 kasus positif Covid-19 ada di DKI Jakarta.
Sementara itu, data Badan Pusat Statistik tahun 2018 menunjukkan, wilayah DKI Jakarta yang hanya seluas 662,3 kilometer persegi dihuni penduduk sebanyak 10,37 juta jiwa. Hal itu berarti setiap kilometer persegi wilayah Ibu Kota dihuni hingga 15.663 jiwa.
Kebiasaan mencuci tangan untuk mencegah penyebaran virus menjadi semakin krusial dilakukan dalam kondisi wilayah yang padat penduduk. Kepadatan penduduk yang tinggi akan lebih berisiko mempercepat penyebaran virus melalui tangan yang tidak bersih dan menyentuh berbagai lokasi area publik.
Ruang-ruang publik disinggahi oleh penduduk dari berbagai kelompok usia, termasuk kelompok lanjut usia.
Kelompok lansia merupakan kelompok rentan terjangkit Covid-19. Sementara proporsi perilaku mencuci tangan dengan benar di kalangan lansia juga tidak bisa dikatakan tinggi.
Proporsi penduduk lansia Indonesia yang mencuci tangan dengan benar di kelompok usia 50 tahun ke atas ini tak lebih dari 54 persen. Bahkan, proporsi pada kelompok usia 65 tahun ke atas hanya 45 persen. Provinsi DKI Jakarta sendiri mencatat jumlah lansia hingga 1,8 juta orang (tahun 2018) atau sekitar 18 persen populasi Ibu Kota.
(LITBANG KOMPAS)