Standar Ganda Impor Minyak Jelantah Uni Eropa
Uni Eropa menjadi salah satu pihak yang banyak mengimpor minyak jelantah dari Indonesia. Di sisi lain, Uni Eropa menerapkan hambatan perdagangan terhadap produk CPO, bahan dasar minyak jelantah dari Indonesia.
Dalam beberapa tahun terakhir, minyak jelantah menjadi komoditas yang kian diminati di Uni Eropa. Dalam kurung waktu 2011 hingga 2016, terdapat kenaikan volume impor produk ini dari 680.000 ton menjadi 2,44 juta ton. Kenaikan impor minyak jelantah di Uni Eropa tersebut mencapai 360 persen.
Salah satu faktor yang memompa permintaan minyak jelantah di Uni Eropa ialah produksi biodiesel. Semenjak pada 2016, Uni Eropa telah merancang sebuah inisiatif lingkungan bertajuk ”Arahan Energi Terbarukan II” atau ”Renewable Energi Directive II”.
Bertujuan untuk menekan emisi gas rumah kaca di kawasan tersebut, negara anggota Uni Eropa harus dapat meningkatkan penggunaan bahan bakar dengan campuran minyak nabati untuk kendaraan pembangkit listrik, sistem pemanas hingga pendingin.
Untuk memenuhi kebutuhan akan minyak nabati yang kian tinggi, produsen biodiesel di negara-negara Uni Eropa memilih menggunakan minyak jelantah atau biasa disebut dengan used cooking oil (UCO). Bahkan, dalam aturannya, Uni Eropa memberikan anjuran hingga insentif bagi negara untuk menggunakan minyak goreng bekas pakai sebagai bahan baku biodiesel mereka.
Impor ke Uni Eropa sebagian besar berasal dari China, Indonesia, dan Malaysia. Pada 2018 saja tiga negara tersebut mengekspor lebih dari 500.000 ton UCO ke Uni Eropa dan Inggris. Beberapa negara Eropa yang paling banyak mengonsumsi minyak jelantah ialah Belanda, Spanyol, Jerman, dan Italia.
Memilih jelantah
Kelapa sawit merupakan salah satu tumbuhan industri yang strategis karena mampu menghasilkan minyak nabati yang banyak dibutuhkan berbagai sektor industri.
Minyak kelapa sawit mentah atau CPO merupakan bahan baku industri pembuatan minyak goreng, margarine, lilin, sabun, produk perawatan tubuh, hingga pembuatan biodiesel yang banyak diproduksi di Uni Eropa, terutama Jerman.
Rata-rata kebutuhan minyak kelapa sawit setiap tahun di Uni Eropa mencapai 7,6 juta ton. Untuk memenuhi kebutuhannya, dalam periode waktu 2014 sampai 2018, Uni Eropa mengimpor sekitar 3,5 juta ton minyak kelapa sawit dari Indonesia. Artinya, minyak sawit mentah atau CPO dari Indonesia menguasai sekitar 47 persen dari pasar minyak kelapa sawit UE.
Dominasi ini juga melebar hingga ke produk turunan CPO, yakni biodiesel. Pada 2018, Indonesia menjadi eksportir biodiesel andalan di Uni Eropa setelah Argentina dengan pasokan biodiesel sebesar 706.000 ton per tahun.
Berdasarkan data yang dihimpun Kementerian Perdagangan, nilai ekspor biodiesel Indonesia ke Uni Eropa sepanjang 2018 sebesar 532,50 juta dollar AS. Angka ini melonjak 356,1 persen ketimbang sepanjang 2017.
Dalam perkembangannya, citra produk-produk kelapa sawit mulai dirundung masalah karena proses produksinya dinilai Uni Eropa tidak ramah lingkungan. Bahkan, regulasi Renewable Energi Directive II atau RED II memiliki satu bagian khusus terkait dengan kelapa sawit,.
Disebutkan, minyak kelapa sawit mentah (CPO) tidak lagi diakui sebagai bahan bakar nabati di Eropa. Bahkan, kelapa sawit digolongkan dalam kelompok tanaman pangan yang berisiko tinggi terhadap alih fungsi lahan secara tidak langsung.
Pilihan alternatif adalah produk minyak jelantah atau UCO. Menyediakan minyak goreng bekas pakai atau UCO terutama melalui kebijakan impor menjadi solusi yang dapat diterima sesuai dengan visi Uni Eropa. Minyak goreng bekas pakai dianggap lebih tidak merusak lingkungan dibandingkan dengan minyak kelapa sawit.
Bahkan, minyak goreng bekas pakai tidak terdampak oleh berlapis-lapis hambatan perdagangan yang harus dilewati oleh CPO dan produk turunannya. Hal ini karena minyak goreng bekas pakai masuk ke dalam kategori sampah di Uni Eropa sehingga penggunaannya masuk ke dalam kegiatan daur ulang yang sejalan dengan misi lingkungan RED II.
Karena itu, tidak mengherankan jika penggunaan minyak goreng bekas pakai (UCO) bukan saja disarankan, melainkan juga diberikan insentif bagi yang melaksanakan. RED II mengatur kebijakan penghitungan ganda (double counting) bagi penggunaan UCO dalam produksi biodiesel.
Kebijakan ini membuat kredit karbon yang diberikan kepada biodiesel yang menggunakan minyak goreng bekas pakai akan dua kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan biodiesel yang menggunakan minyak sawit mentah atau CPO.
Artinya, akan lebih menguntungkan bagi negara untuk mendorong produksi biodiesel berbahan dasar UCO dibandingkan dengan CPO dalam hal laporan emisi karbon yang harus mereka buat kepada Uni Eropa.
Dua sisi
Langkah Uni Eropa dalam mengutamakan penggunaan minyak jelantah dibandingkan dengan CPO merupakan sisi lain penerapan kebijakan keberlanjutan lingkungan. Alih-alih mengurangi, penggunaan minyak goreng bekas pakai juga berpotensi menimbulkan dampak kerusakan lingkungan yang dihasilkan.
Salah satu kajian dampak penggunaan minyak jelantah dibuat oleh lembaga konsultan bioenergi NNFCC. Menurut penelitian tersebut, peningkatan penggunaan minyak bekas pakai sebagai bahan baku biodiesel, juga diikuti meningkatkan permintaan terhadap UCO di pasar Uni Eropa.
Naiknya permintaan minyak goreng bekas pakai secara otomatis meningkatkan permintaan untuk minyak sawit mentah (CPO) sebagai bahan awal dari minyak goreng bekas pakai. Ujungnya, alih-alih mengurangi konversi lahan dan emisi gas rumah kaca akibat produksi CPO, penggunaan UCO dalam produksi biodiesel justru meningkatkan permintaan terhadap UCO dan CPO sehingga memiliki dampak terhadap kerusakan lingkungan.
Tantangan lain dari penggunaan minyak goreng bekas pakai adalah kualitas produk. Bisa digunakan untuk membuat biodiesel, bukan berarti minyak jelantah baik untuk digunakan untuk tujuan tersebut.
Bagaimanapun jelantah merupakan minyak goreng bekas. Biodiesel yang dihasilkan dengan menggunakan campuran minyak minyak goreng bekas pakai, kualitasnya tidak terlalu baik.
Hal ini karena minyak jelantah memiliki kandungan asam lemak jenuh yang cenderung tinggi. Dalam praktiknya, jika biodiesel yang dibuat menggunakan minyak goreng bekas pakai tidak diberikan cukup kandungan cold flow improvers (CFIs), bahan bakar tersebut akan berubah menjadi jel di suhu dingin dan berpotensi untuk menyebabkan kerusakan pada mesin kendaraan atau pabrik.
Tantangan lain muncul dari kalangan industri produsen biodiesel di Uni Eropa. Menurut para pelaku industri di kawasan tersebut, biodiesel yang masuk ke dalam Uni Eropa mengancam kelangsungan hidup bisnis mereka.
Uni Eropa merupakan salah satu produsen utama rapeseed oil dan sunflower oil. Produk minyak nabati tersebut merupakan pesaing minyak kelapa sawit, tetapi konsumsinya belum maksimal di kawasan tersebut karena harganya yang terpaut jauh dibandingkan dengan CPO.
Ini artinya, nilai ekonomi merupakan faktor utama Uni Eropa tertarik membeli jelantah dari Indonesia. Tidak mengherankan, ekspor minyak goreng bekas pakai dari Indonesia terus meningkat.
Baca juga: Jelantah Dipakai di Industri Makanan
Kementerian Perdagangan mencatat ekspor minyak jelantah Indonesia pada 2019 sebesar 37,31 juta dollar AS. Jumlah tersebut meningkat dari tahun 2018 yang mencapai 25,96 juta dollar AS.
Ekspor minyak goreng bekas pakai dari Indonesia merupakan fenomena yang berkebalikan dengan kritik Eropa terhadap sawit Indonesia karena dinilai merusak lingkungan. Uni Eropa menolak ekspor minyak kelapa sawit mentah dalam bentuk bahan bakar nabati atau minyak sawit mentah untuk bahan bakar nabati. Alasannya, produksi minyak kelapa sawit yang berkontribusi terhadap polusi dan deforestasi.
Baca juga: Nilai Ekonomi Jelantah Indonesia di Pasar Dunia
Namun, kritik yang sesungguhnya lebih ditujukan kepada pihak Indonesia yang belum bisa memanfaatkan potensi dalam negeri. Jelantah yang diminati pasar dunia seharusnya bisa dimanfaatkan untuk mengembangkan biodiesel di dalam negeri.
Pemanfaatan biodiesel di dalam negeri pada 2018 sebesar 3,75 juta kiloliter dan berhasil menurunkan impor solar sebesar 466.902 kiloliter. Dari pemanfaatan ini setidaknya devisa yang bisa dihemat sebesar 1,89 miliar dollar AS. Inilah tantangan sesungguhnya yang dihadapi Indonesia, dari hanya mengumpulkan dan menjual minyak goreng bekas pakai menjadi negara yang mampu memanfaatkannya untuk biodiesel. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Mengapa Harus Membayar Berita Daring?