Menimbang Pembatasan Sosial di Luar Ibu Kota
Pembatasan sosial berskala sesar tidak cukup hanya menimbang pembatasan mobilitas penduduk di dalam wilayah provinsi.
Pembatasan sosial berskala besar atau PSBB tidak cukup hanya menyangkut pembatasan mobilitas penduduk di dalam wilayah provinsi. Persoalannya, sebelum keluarnya keputusan pemerintah memberlakukan PSBB, terjadi juga pergerakan penduduk dari luar negeri dan antarprovinsi.
Presiden Joko Widodo menyetujui pembatasan sosial berskala besar untuk tingkatan provinsi dan kabupaten/kota. Namun, pengaturan detail mengenai kebijakan tersebut masih disiapkan dalam bentuk peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) (Kompas, 30/3/2020).
Laporan yang diterima Presiden, sekitar 3.000 WNI pekerja migran dari Malaysia kembali ke Tanah Air setiap hari menjelang akhir Maret 2020. Sementara WNI yang menjadi kru kapal dan diperkirakan juga akan kembali ke Tanah Air berkisar 10.000-11.000 orang (Kompas, 31/3/2020).
Sementara itu, pada periode yang lebih kurang sama, sebagian pekerja di Ibu Kota juga kembali ke daerah asal lantaran tidak lagi bisa bekerja. Tidak sedikit dari mereka kembali ke daerah asal di wilayah Jawa. Tak bisa dimungkiri, kawasan Jabodetabek, khususnya DKI Jakarta, merupakan pusat perekonomian Indonesia.
Sementara itu, penduduk Indonesia sebagian besar juga bermukim di Pulau Jawa. Proyeksi dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020 menunjukkan angka penduduk di Pulau Jawa mencapai 152,45 juta orang atau sekitar 56 persen dari total proyeksi penduduk 2020 sebanyak 271,07 juta jiwa.
Sebagian besar dari perantau yang pulang adalah pekerja harian atau pekerja di sektor informal. Dari sisi ini, kembali ke kampung halaman merupakan sebuah pilihan mendesak bagi mereka. Penghasilan atau tabungan yang diperoleh para perantau ini tak lagi cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari di Ibu Kota.
Hanya saja, pada sisi lain, pergerakan para perantau tersebut juga menjadi salah satu faktor pemicu menyebarnya Covid-19. Kecenderungan ini terpotret dari tren data kasus harian pasien terkonfirmasi Covid-19. Persentase kasus kumulatif positif pengidap Covid-19 di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DI Yogyakarta menunjukkan lonjakan dalam rentang waktu lebih kurang pada minggu terakhir Maret 2020.
Persentase kasus kumulatif Covid-19 di keempat provinsi tersebut lebih tinggi dari peningkatan kasus Covid-19 di DKI Jakarta. Persentase temuan kasus Covid-19 di Jawa Barat berada di atas DKI Jakarta pada 20 Maret 2020, kemudian sepanjang 27-31 Maret 2020.
Persentase kasus kumulatif positif pengidap Covid-19 di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DI Yogyakarta menunjukkan lonjakan dalam rentang waktu lebih kurang pada minggu terakhir Maret 2020. Persentase kasus kumulatif Covid-19 di keempat provinsi tersebut lebih tinggi dari peningkatan kasus Covid-19 di DKI Jakarta.
Hal serupa terjadi di Jawa Tengah. Sepanjang 27-31 Maret 2020, persentase kasus positif Covid-19 di provinsi ini melonjak di atas persentase DKI Jakarta. Adapun di Provinsi DI Yogyakarta, kenaikan persentase kasus positif Covid-19 di atas DKI Jakarta terjadi pada 25, 27, dan 31 Maret 2020. Di Jawa Timur, persentase lonjakan kasus positif Covid-19 terjadi antara 20-22 dan 28-29 Maret 2020.
Pemerintah pusat baru memberikan kejelasan tentang status penanganan Covid-19 pada 31 Maret. Presiden menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) No 21/2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada pengujung Maret 2020.
Inisiatif pembatasan
Sejumlah daerah sebenarnya telah melakukan inisiatif pembatasan sosial sebelum keluar keputusan pemerintah pusat. Salah satu contohnya adalah pembatasan yang dilakukan Pemerintah Kota Tegal, Jawa Tengah. Pemerintah kota telah menutup akses masuk Tegal dengan beton movable concrete barrier (MBC) sejak 30 Maret 2020. Penutupan di 49 titik masuk Kota Tegal itu akan berlangsung sampai 30 Juli 2020, kecuali di jalan provinsi dan nasional.
Penutupan akses masuk Kota Tegal diikuti juga dengan upaya pembubaran warga Kota Tegal yang berkerumun di ruang publik, melalui bantuan satuan polisi pamong praja dan pihak kepolisian.
Dengan upaya cukup tegas itu pun, sejumlah perantau dari Jakarta masih bisa masuk Kota Tegal lantaran pemerintah kota kekurangan tenaga pengawas yang harus bekerja 24 jam setiap hari.
Selain itu, masih banyak wilayah lain di Provinsi Jawa Tengah yang saat itu belum intensif menerapkan upaya pembatasan. Konsekuensi dari hal tersebut adalah banyaknya perantau, khususnya dari wilayah Jakarta dan sekitarnya, yang kembali ke kampung halamannya di sejumlah kabupaten/kota di Jawa Tengah.
Catatan dari laman Humas Pemerintah Provinsi Jawa Tengah hingga 26 Maret 2020 saja menunjukkan ada 46.018 pemudik dari sejumlah provinsi yang pulang ke Jawa Tengah. Perantau yang paling banyak pulang berasal dari Wonogiri, yakni 42.838 orang. Berikutnya adalah perantau asal Kota Semarang dan sekitarnya yang mencapai 10.979 orang, kemudian di Kabupaten Cilacap sebanyak 4.527.
Selain itu, ada juga pemudik asal Kabupaten Jepara sebanyak 2.164 orang. Sisanya turun di Tegal, Pemalang, Pekalongan, Kudus, Pati, Grobogan, Kabupaten Magelang, Purbalingga, Boyolali, Sragen, dan Karanganyar.
Gambaran besarnya arus perantau dari DKI Jakarta yang kembali ke Jawa Tengah terjadi juga di provinsi lain Pulau Jawa. Pemerintah Kabupaten Gunung Kidul, DI Yogyakarta, mencatat kedatangan perantau mencapai 1.188 orang. Para perantau tersebut berasal dari Kecamatan Playen, Nglipar, dan Semanu (Kompas, 26/3/2020). Pemerintah DI Yogyakarta, khususnya Kabupaten Gunung Kidul, berhadapan dengan kendala ketiadaan payung hukum pembatasan yang lebih tegas dari pemerintah pusat pada saat itu.
Baca juga : Imbas Jakarta Sepi, Pekerja Informal Mudik Lebih Awal
Meski demikian, sejauh ini agaknya belum banyak daerah yang segera merespons keluarnya payung hukum PSBB dari pemerintah pusat. Sampai dengan 8 April 2020, baru beberapa daerah kabupaten/kota di Jawa Barat yang mengajukan PSBB. Wilayah tersebut adalah Kota Bogor, Kota Depok, Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Bogor, Kota Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan.
Adapun di Jawa Tengah, baru Kota Tegal yang tercatat mengajukan PSBB hingga dua hari lalu. Wilayah lain yang mengajukan PSBB berada di luar Jawa, yakni Provinsi Papua Barat, Provinsi Papua, dan Provinsi Riau.
Padahal, perantau yang ada di Jakarta dan sekitarnya umumnya berasal dari sejumlah daerah di wilayah Jawa. Sebagai gambaran, data Susenas BPS 2015 menunjukkan, asal migrasi risen ke Jakarta mayoritas dari Jawa Barat (35,2 persen), Jawa Tengah (24,1 persen), Banten (6,5 persen), Jawa Timur (6,5 persen), dan Sumatera Utara (4,1 persen). Perantau yang termasuk kategori migrasi risen adalah mereka yang pernah pindah dalam kurun lima tahun terakhir.
Baca juga : Wabah Korona dari Jakarta Sampai Pelosok Indonesia
Mendesak diperluas
Melihat dampak virus korona yang telah meluas ke luar DKI Jakarta, perluasan PSBB sebenarnya menjadi hal mendesak dilakukan di semua provinsi di Pulau Jawa. Hingga hari ini, Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, dan Banten berturut-turut menempati peringkat ke-2 sampai ke-4 kasus Covid-19 terbanyak di Indonesia. Adapun kasus Covid-19 di Provinsi Jawa Tengah dan DI Yogyakarta masing-masing berada di peringkat ke-6 dan ke-9 nasional.
Pembatasan sosial secara tegas menjadi hal mendesak mengingat terbatasnya ketersediaan sarana kesehatan. Sebagai contoh, di DKI Jakarta 1.139 pasien terkonfirmasi Covid-19 berada dalam perawatan. Sementara DKI Jakarta tercatat memiliki 144 rumah sakit yang siaga menangani pasien Covid-19. Jika dirata-rata, setiap rumah sakit di Ibu Kota menangani 7-8 pasien korona.
Di Jawa Barat, hingga hari ini tercatat ada 1.323 pasien Covid-19 yang masih dalam proses pengawasan. Sementara itu, ketersediaan rumah sakit di Jabar untuk penanganan pasien Covid-19 hanya 271 unit. Jumlah rumah sakit dengan jumlah pasien Covid-19 adalah satu berbanding lima.
Hal yang sama terjadi di provinsi lain, yakni Jawa Tengah. Dengan 186 rumah sakit yang tersedia, jumlah pasien covid-19 di Jateng hingga hari ini sudah mencapai dua kali lipat jumlah rumah sakit yang tersedia, mencapai 427 orang.
Di Banten, dengan 516 orang masih dirawat, ketersediaan rumah sakit hanya 73 unit. Rasio antara ketersediaan rumah sakit dan pasien yang dirawat di provinsi ini adalah satu berbanding tujuh. Adapun di DI Yogyakarta, tercatat 107 pasien Covid-19 menjalani rawat inap menurut data per hari ini, dengan jumlah rumah sakit hanya 33 unit.
Melihat fakta terkait ketersediaan rumah sakit saja, menjadi masuk akal jika upaya pembatasan mobilitas sangat penting dilakukan sejumlah daerah di Pulau Jawa, khususnya daerah-daerah yang kini berubah status menjadi wilayah pandemi.
Kembalinya perantau ke kampung halaman boleh jadi bisa dimaklumi mengingat peraturan pemerintah pusat belum muncul dan mereka pun dihadapkan pada keterbatasan biaya hidup. Namun, sesudah keluarnya peraturan pemerintah pusat, aktivitas mudik di tengah meluasnya wabah dan keterbatasan sarana kesehatan rentan berujung pada akibat serius berskala besar. (LITBANG KOMPAS)