Berharap pada Campur Tangan Alam
Beberapa penelitian ilmiah menunjukkan, iklim berperan menurunkan penyebaran virus SARS-CoV-2. Mengingat Covid-19 menular melalui ”droplets”, virus ini akan terpapar kondisi eksternal di luar inangnya, termasuk iklim.
Salah satu harapan yang muncul dalam usaha mengatasi pandemi Covid-19 adalah campur tangan alam. Pengaruh iklim diharapkan ikut berperan menurunkan penyebaran virus SARS-CoV-2. Harapan tersebut tidaklah muncul dari ruang kosong karena didukung oleh beberapa penelitian ilmiah.
Beberapa virus yang menyerang pernapasan, misalnya human coronavirus (hCoV) jenis OC43, KHU1, 229E, dan NL63, merupakan virus yang terpengaruh oleh alam. Virus tersebut biasanya akan mewabah pada musim dingin, yakni mulai Desember, memuncak pada Februari, dan akan berakhir pada April. Terdapat pola naik dan turun virus karena pengaruh alam.
Mungkinkah hal serupa terjadi pada virus SARS-CoV-2? Selain itu, seberapa besar kita dapat memercayai hasil penelitian yang telah dilakukan sejauh ini?
Sebuah nama
Untuk menghindari kesimpangsiuran, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan nama resmi bagi virus korona jenis baru serta penyakit yang disebabkan oleh virus ini. Perbedaan penamaan virus dan penyakit tersebut terjadi karena proses dan tujuan yang berbeda, bagi komunitas ilmiah dan bagi kegiatan cepat tanggap serta respons terhadap pandemi ini.
Sering kali virus dan penyakit yang disebabkan memang memiliki nama yang berbeda. Sebagai contoh, HIV merupakan virus yang menyebabkan AIDS. Selain itu juga terdapat virus rubeola yang menyebabkan penyakit campak.
Pada 11 Februari 2020, International Commite on Taxonomy Viruses (ICTV) menetapkan nama ilmiah virus tersebut severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2). Nama tersebut dipilih karena virus yang mewabah ini berhubungan secara genetik dengan virus korona yang menyebabkan wabah SARS pada 2003.
Penamaan berdasarkan pada struktur genetik ini bertujuan untuk mengembangkan tes diagnosis, vaksin, dan obat-obatan dalam lingkungan komunitas ilmiah secara luas. Di sisi lain, pada tanggal yang sama, WHO, melalui International Classification of Diseases (ICD), menamai penyakit yang disebabkan oleh virus tersebut sebagai Covid-19.
Penamaan merupakan bagian dari bentuk kegiatan mengetahui suatu hal, termasuk ciri, kebiasaan, kekuatan, kelemahan, dan vaksin yang tepat.
Penamaan penyakit itu dilakukan oleh WHO demi tujuan pencegahan, penyebaran, dan perawatan penyakit tersebut. Selain itu, penamaan ini sengaja dipilih tanpa mengacu pada lokasi geografis, binatang, individu, atau kelompok yang berhubungan dengan penyakit tersebut untuk menghindari stigmatisasi.
Penegasan nama ini menjadi hal yang sangat penting dalam komunitas ilmiah untuk mengadakan penelitian lebih lanjut tentang sebuah virus. Penamaan merupakan bagian dari bentuk kegiatan mengetahui suatu hal, termasuk ciri, kebiasaan, kekuatan, kelemahan, dan vaksin yang tepat.
Pengenalan mendalam tentang virus SARS-CoV-2 merupakan langkah awal guna mengintervensi untuk kemudian beradaptasi atau melakukan intervensi terhadap keberadaan virus SARS-CoV-2.
Masih misteri
Selain nama, WHO juga menyebutkan beberapa hal yang telah diketahui tentang virus ini. Informasi terkait virus Covid-19 yang telah dipastikan adalah bahwa virus ini merupakan keluarga besar virus korona yang dapat menyebabkan penyakit, bahkan kematian pada manusia (human corona virus/hCoV). Selain itu, virus ini berhubungan secara genetik dengan virus SARS yang menyerang pernapasan, tetapi menyebabkan gejala yang berbeda.
Hal lain yang juga telah diketahui tentang virus ini adalah masa inkubasinya. Menurut WHO, periode virus masuk ke tubuh manusia hingga menimbulkan gejala bervariasi, dari 1 hingga 14 hari. Gejala yang biasanya muncul adalah demam dan batuk kering serta rasa lelah.
Salah satu perilaku yang telah diketahui dari virus ini adalah penularannya. Virus ini menular melalui percikan (droplets) dari orang yang telah terinfeksi saat batuk atau bersin. Droplets ini terlalu berat untuk terbang di udara sehingga akan segera jatuh ke lantai atau menempel di suatu permukaan.
Akan tetapi, penelitian terbaru yang diterbitkan di New England Journal of Medicine menunjukkan sedikit perbedaan. Ketika virus berada dalam percikan (droplets) lebih kecil dari 5 mikrometer (aerosol), virus dapat terus menetap selama setengah jam sebelum jatuh dan menempel pada permukaan.
Penelitian tersebut juga melihat stabilitas virus ini pada empat permukaan, yakni plastik, stainless steel, tembaga, dan kardus. Dalam penelitian itu, tidak disimpulkan lama hidup virus. Oleh karena itu, digunakan istilah stabilitas untuk menunjukkan bahwa suatu virus tak lagi dapat diamati dalam kurun waktu tertentu.
Pada permukaan berbahan plastik, baik virus SARS-CoV-1 maupun SARS-CoV-2 tak lagi dapat diamati setelah 72 jam. Pada stainless steel, SARS-CoV-1 tak lagi dapat diamati setelah 48 jam, sedangkan SARS-CoV-2 tak lagi dapat diamati setelah 72 jam.
Pada permukaan tembaga, tak ada virus SARS-CoV-1 yang dapat diamati setelah 8 jam, sedangkan SARS-CoV-2 tak dapat diamati setelah 72 jam. Pada permukaan kardus, virus SARS-CoV-1 tak lagi dapat diamati setelah 8 jam, sedangkan virus SARS-CoV-2 tak lagi dapat diamati setelah 72 jam.
Selain nama, kedekatan genetik, inkubasi, cara penularan, serta stabilitasnya di berbagai permukaan, masih banyak pertanyaan yang belum dapat dipastikan tentang virus SARS-CoV-2. Artinya, virus ini masih merupakan misteri.
Misalkan, kita belum mendapatkan kepastian dari mana virus tersebut berasal. Secara umum, coronavirus merupakan virus yang ditemukan pada hewan. Virus korona SARS diasosiasikan dengan musang, sedangkan virus korona MERS ditularkan oleh unta. Menurut WHO, hewan yang menjadi sumber virus korona SARS-CoV-2 belum dapat dipastikan.
Berbagai hal lain terkait virus Covid-19 ini juga belum jelas benar, seperti lamanya imunitas terhadap virus ini, apakah virus ini dapat bermutasi, gejala spesifik dari virus ini, anggapan bahwa virus ini hanya menyerang orang tua, hingga pengaruh iklim terhadap perkembangan virus.
Pengaruh iklim
Pengaruh iklim terhadap perkembangan virus belum dapat dipastikan karena virus SARS-CoV-2 ini ”baru” mewabah selama empat bulan dan belum melewati berbagai musim.
Akan tetapi, pengetahuan tentang cara penularan virus SARS-CoV-2 yang telah diketahui membuka jalan untuk penelitian lanjut terkait pengaruh iklim. Mengingat virus ini menular melalui droplets, virus ini akan terpapar kondisi eksternal di luar inangnya, termasuk iklim.
Hal ini berbeda dengan virus lain, seperti HIV. Proses penularan virus HIV terjadi ”di dalam” tanpa mengubah kondisi internal lingkungan inang, seperti transfusi darah ataupun hubungan seksual. Jadi, virus tidak keluar dari inang dan terpengaruh oleh kondisi lingkungan di luar inang, termasuk iklim.
Selain didasarkan pada pengetahuan tentang cara penularan, berdasarkan penelitian epidemiologi yang telah dilakukan pada daerah beriklim sedang, kebanyakan virus yang menyerang pernapasan manusia memiliki pola musiman saat mewabah.
Terdapat sembilan virus yang menyerang pernapasan yang dipengaruhi iklim. Kesembilan virus tersebut adalah influenza, human coronavirus (HCoV), human respiratory syncytial virus (RSV), adenovirus, human bocavirus (HBoV), rhinovirus, parainfluenza virus (PIV) tipe 1 (PIV1) dan tipe 3 (PIV3), serta human metapneumorivus (hMPV).
Pola wabah dari kesembilan virus tersebut dapat dikelompokkan dalam tiga golongan sesuai dengan kebiasannya mewabah di wilayah yang beriklim sedang. Virus yang mewabah pada musim dingin adalah virus influenza, human coronavirus (HCoV), dan human respiratory syncytial virus (RSV).
Virus influenza mewabah pada November hingga April. Virus HCoV mewabah pada Desember hingga April. Sedangkan virus RSV mewabah pada November hingga Maret.
Virus yang mewabah pada musim panas adalah non-rhinovirus enteroviruses. Virus ini mewabah pada Juni hingga Oktober.
Penggolongan ketiga adalah virus yang mewabah sepanjang tahun, yakni adenovirus human bocavirus (HBoV), para influenza virus (PIV), human metapneumorivus (hMPV), dan rhinovirus.
Human metapneumorivus (hMPV) mewabah sepanjang tahun, terutama sepanjang musim semi. Sedangkan rhinovirus mewabah sepanjang tahun, terutama musim semi dan gugur.
Terdapat juga virus yang mewabah pada bulan tertentu, yakni parainfluenza virus (PIV). Virus PIV1 mewabah pada Agustus hingga November, sedangkan virus PIV3 mewabah pada Maret hingga Juni.
Mengingat bahwa SARS-CoV-2 merupakan keluarga besar virus korona yang menyerang pernapasan, menaruh harapan pengaruh iklim terhadap penyebaran virus ini adalah sesuatu yang masuk akal. Akan tetapi, hingga saat ini, wabah virus korona Covid-19 baru terjadi pada musim dingin sehingga belum dapat dibuktikan polanya.
Dari hilir
Mengingat musim panas belum datang, berbagai penelitian terhadap pengaruh iklim terhadap virus SARS-CoV-2 dimulai dari hilir menggunakan data sekunder. Data tersebut dapat berupa data persebaran jumlah kasus positif virus SARS-CoV-2 di sejumlah negara dan digabungkan dengan data lain, seperti suhu dan kelembaban rata-rata di suatu wilayah.
Hasilnya, akan muncul hubungan antara suhu dan kelembaban dengan jumlah kasus positif virus Covid-19 di suatu daerah. Langkah semacam ini merupakan langkah awal untuk menduga ciri-ciri suatu virus, terutama pengaruh iklim dalam perkembangan virus.
Terdapat minimal tiga penelitian dengan model seperti di atas. Penelitian pertama diterbitkan pada 9 Maret dengan menggunakan data sebaran infeksi virus di China tanggal 21-23 Januari 2020. Penelitian dari para ilmuwan di Universitas Beihang ini menggunakan dasar penelitian sebelumnya tentang pengaruh suhu dan kelembaban tinggi terhadap virus influenza.
Hasilnya, didapatkan konsistensi pola penyebaran virus influenza yang sejajar dengan virus korona tipe baru (saat itu belum dinamakan SARS-CoV-2), yakni dipengaruhi oleh temperatur dan kelembaban tinggi.
Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Miguel B Araujo dari Universitas Evora, Portugal, bersama dengan Babak Naimi dari Universitas Helsinki yang diterbitkan pada 16 Maret 2020 dan direvisi pada 31 Maret 2020.
Data yang digunakan adalah data sebaran geografis dari John Hopkins University Center for Systems Science and Engineering per 8 Maret 2020. Digunakan juga data rata-rata suhu diambil dari Climatololgiest at high resolution for the earth’s land surface area (Chelsa) yang menyimpan data dari tahun 1979 hingga 2013.
Hasil permodelan yang dibuat menunjukkan bahwa penyebaran virus SARS CoV-2 lebih banyak ditemukan pada daerah dengan kondisi dingin dan kering. Sebaliknya, penyebaran virus akan diperlambat oleh kondisi panas dan lembab serta kondisi ekstrem dingin. Hal ini serupa dengan pola yang ditemukan pada virus korona sebelumnya (SARS CoV).
Penelitian ketiga dilakukan oleh para ilmuwan dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) yang diterbitkan pada 19 Maret dengan revisi 27 Maret 2020. Mereka menggunakan data peta sebaran virus korona hingga 22 Maret 2020 yang digabungkan dengan pola cuaca lokal di wilayah yang terinfeksi virus.
Hasilnya, penyebaran infeksi virus korona paling tinggi terjadi di setiap wilayah dengan temperatur 4 hingga 17 derajat celsius dan kelembaban absolut 3-9 gram per meter kubik.
Selain itu, di wilayah khatulistiwa dan belahan bumi selatan yang sedang mengalami musim panas dengan suhu di atas 18 derajat celsius, penyebaran virus lebih sedikit terjadi. Rendahnya jumlah kasus di negara-negara tropis kemungkinan disebabkan oleh kondisi hangat dan lembab sehingga penyebaran virus lebih lambat.
Berbagai penelitian awal dengan data sekunder atau permodelan tentang hubungan atau pengaruh iklim terhadap sebaran virus ini berkesimpulan bahwa penyebaran virus SARS-CoV-2 ini lebih banyak terjadi pada wilayah dengan temperatur rendah. Dengan kata lain, temperatur rendah menjadi situasi yang lebih disukai oleh virus ini.
Masih tahap awal
Pengaruh alam, yakni suhu dan kelembaban, terhadap siklus penyebaran virus telah dibuktikan oleh berbagai penelitian awal di atas. Akan tetapi, terdapat beberapa batasan terhadap penelitian tersebut.
Sebagai penelitian awal, penelitian di atas belum mendapatkan peer-reviewed dari para ilmuwan sejawat. Berbagai penelitian di atas masih memerlukan data yang lebih stabil untuk menyimpulkan suatu pola. Hingga saat ini, data yang lebih stabil belum tersedia, mengingat jumlah infeksi virus ini masih terus bertambah.
Hasil permodelan yang dibuat menunjukkan bahwa penyebaran virus SARS CoV-2 lebih banyak ditemukan pada daerah dengan kondisi dingin dan kering.
Dalam hal ini, penelitian di atas memang mengesampingkan berbagai faktor lain yang berpengaruh pada penyebaran virus, seperti rapid test, kepadatan penduduk, struktur komunitas, dinamika sosial, dan kebijakan pemerintah.
Selain itu, para peneliti di atas juga tidak berpretensi menyatakan bahwa virus tidak akan menyebar di daerah lembab dan hangat. Suhu yang lebih hangat mungkin membuat virus tidak efektif, tetapi kurang efektifnya penyebaran tak berarti tak ada penyebaran.
Dengan demikian, berbagai penelitian terkait hubungan atau pengaruh suhu dan kelembaban terhadap penyebaran virus SARS-CoV-2 di atas masih berada dalam tahap hipotesis di atas kertas dan tidak dapat digunakan sebagai dasar sebuah kebijakan.
Hal ini sesuai dengan pernyataan WHO bahwa orang tetap dapat terkena virus Covid-19 meski berada di daerah dengan suhu panas. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya negara dengan suhu panas yang melaporkan kasus Covid-19. Fakta adanya penularan lokal di seluruh dunia menandakan bahwa virus tersebut lebih tahan terhadap suhu hangat daripada flu dan virus pernapasan lain.
Selain itu, Direktur Eksekutif Darurat Kesehatan WHO Dr Michael Ryan menyatakan, belum ada bukti bahwa virus korona akan hilang pada musim panas, seperti influenza. Masih diperlukan beberapa bulan ke depan untuk menyimpulkan ada tidaknya pengaruh iklim terhadap pengurangan penyebaran virus ini.
Berharap pada alam
Selama ini, harapan tertinggi pada usaha penanggulangan wabah Covid-19 diletakkan pada pundak para ilmuwan pembuat vaksin. Sambil menunggu hasil yang direncanakan rampung pada Februari 2021, harapan lain disampirkan pada pundak pemerintah dalam mengurangi dan memutus mata rantai penularan kasus Covid-19.
Di tingkat dunia, PBB telah meloloskan resolusi tentang solidaritas global, yakni kerja sama internasional dan multilateralisme, dalam memerangi pandemi Covid-19. Harapan juga muncul terhadap campur tangan alam dalam mengurangi penyebararan virus SARS-CoV-2. Akan tetapi, hal ini juga masih menunggu waktu, yakni saat berbagai belahan bumi mengalami musim panas.
Baca juga: Mencermati Pergerakan Kasus Covid-19 di Dunia
Berharap pada hal-hal di atas, terlebih dengan landasan ilmu pengetahuan, menjadi hal yang perlu tetap kita pupuk. Akan tetapi, memupuk harapan perlu dibarengi dengan langkah praktis pribadi.
Untuk saat ini, langkah pribadi yang paling mungkin dijalankan adalah perubahan permanen pola dan kebiasaan hidup masyarakat. Hal itu dapat dilakukan dengan terus berdisiplinan dalam menjaga kebersihan diri dan mengurangi kontak dengan orang lain. Mari kita berharap: Semoga wabah korona semakin mereda! (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Mengapa Harus Membayar Berita Daring?