Distopia Menjemput Pekerja Saat Pandemi
Gelombang PHK seiring pandemi Covid-19 terus menjalar dari Maret hingga April 2020. Pendapatan para pelaku usaha yang sedang lesu mendorong efek domino yang memukul para pekerja.
Ratusan ribu pekerja industri kreatif dan buruh terimbas secara sosial ekonomi karena pandemi, mulai dari sepinya pemasukan hingga pemutusan hubungan kerja. Efek domino ini salah satunya akibat pendapatan para pelaku usaha yang sedang lesu. Lantas, akankah distopia akan menjemput para kaum pekerja?
Sebanyak 226.586 seniman dan pekerja kreatif terdampak pandemi Covid-19. Jumlah ini berdasarkan pendataan yang dilakukan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif serta Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Kemdikbud. Rincinya, Kemenparekraf menghimpun data sebanyak 189.586 orang dan Ditjen Kebudayaan Kemdikbud mendata 37.000 orang dari total 34 provinsi.
Begitu juga dengan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) atau mendapat status dirumahkan yang dialami ratusan ribu karyawan. Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah mengatakan, setidaknya terdapat 1,5 juta pekerja yang terkena imbas tersebut.
Menurut dia, 10 persen pekerja di PHK dan sisanya mendapat keputusan dirumahkan dari tempat mereka bekerja. Sayangnya, mereka yang dirumahkan tidak ada keterangan lebih lanjut mengenai tetap menerima upah atau tanpa diupah sama sekali.
Tidak dapat dimungkiri, gelombang PHK seiring pandemi terus menjalar dari Maret hingga 14 April 2020. Misalnya, 165 perusahaan di Sulawesi Selatan telah melakukan PHK dan merumahkan 8.272 karyawan. Begitu juga yang terjadi di Bali (sekitar 17.000 pekerja formal) dan di Kalimantan Tengah (848 pekerja dari 19 perusahaan) mendapat PHK atau dirumahkan.
Gelombang paling besar tampaknya menerjang DKI Jakarta dan Jawa Barat. Sebanyak 139.288 pekerja di Jakarta terkena imbas ini. Untuk Jawa Barat, hasil verifikasi sementara menyatakan ada 1.476 perusahaan dan total 53.465 buruh terpaksa diliburkan, dirumahkan, atau PHK.
Pukulan pandemi terhadap sektor ekonomi ini sebelumnya sudah diperkirakan oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO). Menurut perkiraannya, dalam skenario terburuk, sedikitnya 24,7 juta orang di dunia akan menganggur terkena dampak ekonomi Covid-19. Sementara itu, dalam skenario yang paling rendah pun, diperkirakan 5,3 juta orang menganggur akibat dampak Covid-19.
Pemetaan ILO terhadap tiga skenario tersebut berkaca dari pengalaman saat krisis ekonomi global dan darurat kesehatan global sebelumnya. Pada masa pandemi ini, penurunan penghasilan terjadi karena penurunan aktivitas ekonomi di tengah pembatasan fisik dan sosial. Nominal penghasilan yang hilang akibat pandemi diperkirakan mencapai 860 miliar dollar AS hingga 3,4 triliun dollar AS.
Baca juga: Pandemi Memukul Pekerja
Masih merujuk pada ILO, dalam pembaruan analisis per 7 April 2020, terdapat pemetaan lanjutan tentang sektor tenaga kerja mulai dari yang sangat terdampak hingga minim terdampak. Ada empat sektor yang dipastikan terdampak, yakni ritel, manufaktur, bisnis properti, dan penyedia akomodasi serta makanan.
Dalam empat sektor tersebut, ILO memperkirakan terdapat sekitar 1,25 miliar orang di seluruh dunia yang bekerja di dalamnya. Bukan hanya para pekerja formal yang menjadi sorotan, ILO turut menaruh analisis terhadap pekerja informal.
Secara keseluruhan, terdapat 2 miliar pekerja di sektor informal dengan beragam tingkat penghasilannya. Kasus yang paling disorot terjadi di India, ketika kebijakan penutupan kawasan (lockdown) sejauh ini telah mempengaruhi 400 juta pekerja informal dan meningkatkan jumlah penduduk miskin dalam masa krisis ini.
Karena ituu, hal yang perlu disadari pertama-tama adalah pandemi ini membawa krisis ekonomi yang terjadi secara global. Pihak yang awal terkena dampak tentu para pelaku usaha dan negara. Meski begitu, pilihan untuk memberhentikan karyawan perlu ditimbang sebagai pilihan terakhir yang diambil para pelaku usaha.
Opsi terakhir
Pemberitaan tentang industri yang lesu akibat kemunculan Covid-19 pernah dimuat oleh Kompas pada awal Maret 2020 dengan merujuk ke data Badan Pimpinan Pusat Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI). Saat itu, okupansi hotel di Bali berkisar 30-40 persen dibandingkan dengan kondisi normal. Sejak wabah Covid-19 merebak, sudah ada pembatalan 40.000 kamar hotel dengan kerugian Rp 1 triliun.
Kondisi pada awal Maret 2020 itu akhirnya lambat laun merembet ke berbagai jenis usaha lainnya hingga kini. Sejumlah paket kebijakan fiskal pun dikeluarkan pemerintah untuk meringankan beban para pelaku usaha.
Mulai dari relaksasi Pajak Penghasilan (PPh) pasal 21, relaksasi restitusi PPN, insentif bagi industri pariwisata, keringanan kredit dan lainnya. Meski demikian, gelombang pemberhentian karyawan tetap belum dapat dibendung.
Meski penurunan pendapatan perusahaan tidak dapat dihindari, Bob Chapman (CEO Barry-Wehmiller) memberikan contoh berharga kepada para pemangku perusahaan untuk tetap memprioritaskan nasib karyawan.
Berkaca pada pengalaman krisis 2008, pejabat eksekutif tinggi dari perusahaan yang telah berjalan selama 125 tahun ini memilih rela memotong gajinya demi menghindari pilihan untuk memberhentikan sekitar 12.000 karyawannya. Tepatnya, pada krisis memuncak di 2009, ia meyakinkan dewan direksi dengan mengurangi gajinya yang semua 875.000 dollar AS menjadi 10.500 dollar AS.
Setelah itu, perusahaan menangguhkan bonus eksekutif dan memangkas perjalanan dan pengeluaran diskresi lainnya. Perusahaan juga menerapkan program pensiun dini sukarela bagi karyawan yang hampir memasuki masa pensiun.
Ditambah pula, perusahaan mempersilakan karyawan untuk ”menjual-beli” cuti yang ia miliki ke karyawan lainnya sehingga mereka yang gajinya di bawah yang lain dapat memperoleh tambahan uang dari penjualan waktu cutinya.
Kebijakan tersebut diterima baik oleh semua karyawan karena opsi PHK tidak akan terjadi. Rasa aman dan untuk tetap dapat bekerja di tengah krisis justru dikonversi menjadi loyalitas dan produktivitas yang lebih tinggi bagi perusahaan. Keuntungan ini dirasakan ketika di 2010, Barry-Wehmiller mencapai performa pendapatan terbaiknya sepanjang sejarah perusahaan.
Ada empat sektor yang dipastikan terdampak, yakni ritel, manufaktur, bisnis properti, dan penyedia akomodasi serta makanan.
Bob Chapman menekankan bahwa dalam situasi krisis, karyawan tidak dapat dipandang semata sebatas fungsinya bagi perusahaan, melainkan anggota keluarga yang hadir untuk merawat dan menjaga keberlangsungan perusahaan. Karena itu, pilihan untuk memberhentikan karyawan menjadi pilihan terburuk dan terakhir sebelum adanya pengorbanan dari tingkat atas hingga bawah bagian perusahaan.
Ibaratnya dalam sebuah pesawat terbang yang hendak kehilangan ketinggian karena kelebihan muatan, ada beban yang harus dikurangi. Opsi yang pertama diambil adalah meminta para penumpang untuk sukarela membuang barang bawaan mereka ke luar pesawat. Hingga akhirnya ketika pesawat benar-benar mau jatuh, membiarkan satu per satu penumpang melompat ke luar pesawat.
Tindakan yang dilakukan Bob Chapman bagi perusahaannya mungkin juga sudah dilakukan oleh sejumlah perusahaan lain di masa pandemi ini. Mulai dari pemangkasan gaji para petinggi hingga merumahkan karyawan tanpa upah. Namun, jika opsi terakhir untuk PHK tidak dapat dihindari, seharusnya perusahaan juga mengikuti ketentuan hukum yang berlaku demi menjaga keberlangsungan hidup karyawan yang diberhentikannya.
Keberlangsungan
Perkara kehilangan penghasilan pada akhirnya menyangkut hajat hidup pekerja dan keluarganya. Artinya, urusan perut dan kebutuhan dasar lainnya seperti biaya kontrak rumah, uang sekolah anak, cicilan kendaraan, cicilan utang, dan sebagainya yang kemudian menghantui mereka. Pada kondisi inilah distopia menjemput para pekerja dan keluarganya.
Konsep distopia yang cukup dikenal hingga kini tertuang dalam novel The Hunger Games (2008) karya Suzanne Collins yang juga tersaji di layar lebar dengan judul yang sama.
Kisahnya tentang sejumlah orang yang mengikuti turnamen pemburuan hingga akhirnya tersisa satu orang yang masih hidup dan menjadi pemenangnya. Distopia menjadi istilah untuk menggambarkan keadaan yang serba tidak menyenangkan, penuh ancaman, serta mengerikan bagi seorang manusia.
Kembali ke persoalan pekerja, jika opsi pemberhentian karyawan tidak dapat dihindari, maka perusahaan wajib mengikuti ketentuan yang tertuang dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Untuk pekerja kontrak berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) mengikuti Pasal 61. Sementara untuk pekerja tetap berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tentu (PKWTT) mengikuti ketentuan dalam Pasal 156.
Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon (UP) dan atau uang penghargaan masa kerja (UPMK) dan uang penggantian hak (UPH) yang seharusnya diterima. Adapun perusahaan wajib memenuhi empat ketentuan UPH.
Keempatnya meliputi cuti tahunan yang belum diambil atau gugur, biaya perjalanan lokasi kerja, penggantian uang penghargaan masa kerja, dan hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja.
Pemerintah juga telah membuka pendaftaran gelombang pertama Kartu Prakerja yang dimulai 14 April 2020. Meskipun efisiensi kebijakan ini masih perlu diuji, langkah ini menjadi peluang untuk memperoleh penghasilan bagi para karyawan yang terpaksa menganggur. Asalkan, jangan sampai strategi Kartu Prakerja ini hanya memberikan harapan semu kepada pekerja dan tidak efektif dalam menjawab persoalan.
Selayaknya perusahaan memiliki tanggung jawab bagi karyawannya, pemerintah pun juga perlu terus memperhatikan keberlangsungan hidup masyarakatnya. Dengan berbagai usaha yang dilakukan, diharapkan para pekerja dan keluarganya tidak berada dalam distopia. Bagaimanapun juga, terkait persoalan ekonomi dan perut, keberlangsungan hidup menjadi pertaruhannya di tengah situasi pandemi ini. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Mengapa Harus Membayar Berita Daring?