Kiprah perempuan dalam kehidupan ekonomi dan politik belakangan ini terus meluas. Sebaliknya, dominasi laki-laki mulai tergerus. Namun, jika semata hanya bersandar pada kualitas capaian selama ini, harapan terjadinya kesetaraan masih bakal sulit terkejar.
Sebenarnya, kabar baik bagi eksistensi kaum perempuan di Indonesia hingga April ini banyak dipublikasikan Badan Pusat Statistik (BPS). Menurut berbagai hasil survei mereka, BPS memperlihatkan bahwa peran kaum perempuan dalam berbagai lingkup aktivitas kehidupan ekonomi maupun politik di negeri ini terus membesar. Dalam aktivitas perekonomian, misalnya, peran perempuan belakangan ini menjadi semakin signifikan.
Data BPS menunjukkan, jika dihitung sumbangan pendapatan kaum perempuan terhadap total pendapatan, kali ini mencapai 36,7 persen. Persentase lainnya, masih menjadi kontribusi kaum laki-laki. Akan tetapi menariknya, sejak 2010 besaran proporsi pendapatan tersebut meningkat secara konsisten. Pada sisi sebaliknya, sumbangan kaum laki-laki malah cenderung menurun.
Artinya, dalam bidang perekonomian, dengan kontribusi porsi pendapatan yang semakin besar, peran ekonomi kaum perempuan tidak dapat dipandang sebelah mata. Kondisi demikian terbukti pula terjadi pada hasil survei BPS lainnya. Malahan, sesuai Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) yang baru saja dipublikasikan pertengahan Maret 2020, penguasaan kualitas jabatan pekerjaan pengambilan keputusan oleh kaum perempuan juga membesar.
Untuk kategori distribusi jabatan dengan posisi ”manajer”, misalnya, hasil Sakernas terakhir menunjukkan, sebesar 30,63 persen jabatan manajer dikuasai perempuan. Berdasarkan data tersebut, memang porsi perempuan masih tampak lebih rendah dibandingkan laki-laki. Hanya saja, jika ditelisik dari kondisi tahun-tahun sebelumnya, porsi kali ini menjadi yang paling besar. Sebelumnya, jenis survei yang sama menunjukkan, pada tahun 2016 kaum perempuan hanya menguasai seperempat bagian saja dari jabatan manajer
Tidak hanya kontribusi dalam kehidupan ekonomi, pada jabatan-jabatan politik juga setali tiga uang. Dalam panggung politik pemerintahan, misalnya, belakangan ini bukan dalam jumlah yang langka lagi jika sosok-sosok perempuan mulai berkibar dalam peran kepemimpinannya. Kiprah para kepala daerah, seperti Tri Rismaharini di Kota Surabaya, Khofifah Indar Parawansa di Provinsi Jawa Timur, Airin Rachmi Diany di Kota Tangerang Selatan, dan beberapa sosok kepala daerah perempuan lainnya semakin sering diidolakan publik.
Dengan mengambil contoh pada ajang Pilkada 2018, kaum perempuan dalam politik memang tidak dapat dianggap remeh. Kajian Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengungkapkan, dari 101 perempuan yang mendaftar sebagai calon kepala daerah ataupun wakil kepala daerah, sebanyak 30,69 persen berhasil memenangkan pilkada di 31 daerah.
Selain dalam panggung politik pemerintahan, dengan mengambil contoh besaran perempuan yang berhasil menguasai kursi DPR juga mulai signifikan. Pencatatan sepanjang dua dasawarsa pemilu era demokrasi ini (1999-2019), misalnya, secara konsisten juga membesar. Puncaknya, hasil Pemilu 2019, menunjukkan 20,5 persen dari 575 anggota DPR yang dilantik adalah kaum perempuan. Pada periode sebelumnya (2014), tercatat hanya 17,3 persen atau 97 anggota DPR perempuan.
Proporsi tersebut sudah jauh lebih besar jika dibandingkan dengan kondisi hasil Pemilu 1999 lalu.
Memang, besaran proporsi perempuan dalam parlemen belum sesuai dengan kuota 30 persen sebagaimana yang didorong dalam berbagai aturan perundangan politik. Namun, adanya peningkatan proporsi yang tergambarkan dalam grafik itu, setidaknya sudah menunjukkan potensi perluasan peran politik kaum perempuan di dalam ruang keputusan-keputusan politik negara.
Secara agregat, semua capaian peningkatan kaum perempuan di atas terangkum oleh BPS di dalam perhitungan Indeks Pembangunan Gender (IPG). IPG secara khusus dirancang untuk mengetahui besaran ketimpangan yang terjadi antara perempuan dan laki-laki. Dalam model indeks ini, perbandingan besaran Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang dicapai perempuan terhadap capaian laki-laki dijadikan sandaran perhitungan.
Oleh karena itu, sebagaimana dalam perhitungan IPM, maka dimensi ”Umur Panjang dan Sehat”, ”Derajat Pengetahuan” dan ”Standar Hidup Layak” menjadi indikator. Hasilnya, jika makin mendekati angka 100, kesetaraan antara perempuan dan laki-laki menjadi semakin terwujud. Sebaliknya, makin menjauh dari 100, maka semakin jauh kesetaraan perempuan dan laki-laki.
Dengan model perhitungan IPG, maka tersimpulkan, sejak 2010 hingga 2019, ketimpangan antara kaum perempuan dan laki-laki masih terjadi. Hanya, dalam kurun waktu tersebut upaya peningkatan kualitas kaum perempuan tampak lebih besar dibandingkan laki-laki. Dengan demikian, sekalipun belum tampak setara alias masih timpang, jarak perbedaan di antara keduanya terus mengecil
Pertanyaannya kemudian, sekalipun jarak perbedaan semakin terpangkas, berapa lama lagi kesetaraan dapat terkejar? Hal inilah persoalan terbesar. Dengan kalkulasi matematik sederhana, dengan capaian selama ini, diperlukan waktu yang relatif panjang untuk menghilangkan ketimpangan. Setidaknya, perlu waktu sekitar 45 tahun, atau hampir setengah abad lagi jika IPG menjadi 100, suatu kondisi yang setara di mana capaian besaran IPM Perempuan sama besar dengan IPM Laki-laki.
Apabila ditelisik lebih jauh, dari ketiga dimensi pengukuran IPM, hanya dimensi ”Umur Panjang dan Sehat” bagi kaum perempuan yang relatif tergolong lebih baik. Dalam indikator Angka Harapan Hidup, misalnya, rata-rata perempuan berusia lebih panjang dibandingkan laki-laki. Namun dalam dimensi ”Derajat Pengetahuan” dan ”Standar Hidup Layak”, tampak jika berbagai indikator dalam kedua dimensi pengukuran IP itu menjadi persoalan terbesar bagi kaum perempuan sehingga terbangun jarak timpang dengan kaum laki-laki.
Selain Indeks Pembangunan Gender (IPG), masih jauhnya kesetaraan di antara kaum perempuan dan laki-laki juga tergambarkan dari besaran Indeks Pemberdayaan Gender (IDG). Berbeda dengan IPG yang berbasis pada perhitungan IPM, Indeks Pemberdayaan Gender secara khusus memotret peran aktif kaum perempuan dalam kehidupan ekonomi dan politiknya.
Terkait dengan indeks ini, sejauh ini ada tiga dimensi, yaitu ”Keterwakilan di Parlemen”, ”Pengambilan Keputusan”, dan ”Distribusi Pendapatan” yang dijadikan ukuran. Hasilnya, ketimpangan jender di bidang ekonomi, partisipasi politik, hingga pengambilan keputusan masih nyata terlihat.
Pada 2018, misalnya, tercatat 72,1. Suatu kondisi yang mencerminkan ketertinggalan yang cukup besar dibandingkan dengan capaian kaum laki-laki di bidang ekonomi maupun politik. Begitu pula, paralel dengan IPG, sekalipun dari waktu ke waktu terjadi peningkatan capaian, masih tampak jauh bagi kaum perempuan untuk mengatasi ketertinggalan. (Bersambung) (Litbang Kompas)