Dilema Teknologi Pelacakan Kontak Korona
Teknologi pelacakan secara digital mempercepat penanganan Covid-19. Namun, etika penggunaannya tetap harus diperhatikan agar data pribadi tetap terlindungi.
Kasus Covid-19 sampai dengan 20 April 2020 mencapai 2.426.788 kasus. Sebanyak 166.122 jiwa meninggal. Jumlah kasus Covid-19 bisa jadi akan lebih banyak tanpa adanya perkembangan ilmu dan teknologi.
Melalui canggihnya teknologi saat ini, penanganan penyakit menular seperti Covid-19 lebih efektif dan efisien. Aplikasi, data analitis, dan kecerdasan buatan (AI) bermanfaat untuk permodelan transmisi infeksi hingga pelacakan kontak (contact tracing) orang terinfeksi.
Pemerintah Indonesia pada 26 Maret 2020 mengumumkan penggunaan aplikasi pelacakan kontak bernama TraceTogether yang saat ini disebut PeduliLindungi. Aplikasi ini digunakan untuk melacak pergerakan pasien positif Covid-19 selama 14 hari ke belakang.
Aplikasi terhubung dengan operator seluler untuk mendapatkan data pergerakan. Orang-orang yang berada di sekitar pasien Covid-19 sesuai hasil pelacakan akan diberi imbauan untuk melakukan protokol terhadap orang dalam pemantauan (ODP).
Sebelumnya, pemerintah negara-negara lain telah melakukan cara yang hampir sama. Korea Selatan memiliki aplikasi yang memberikan informasi peta riwayat perjalanan pasien Covid-19. Dengan informasi ini, masyarakat dapat melihat peta dan mengetahui tempat-tempat yang pernah dikunjungi pasien Covid-29.
Melalui aplikasi tersebut, masyarakat dapat mewaspadai lokasi tersebut atau melakukan protokol kesehatan jika dalam waktu bersamaan pernah mengunjungi lokasi tersebut.
Fungsi pelacakan juga diterapkan dalam pengawasan karantina di Taiwan. Pengawasan dan pelacakan dilakukan berbasis sinyal telepon. Apabila seseorang yang seharusnya melakukan karantina mandiri pergi atau mematikan telepon, petugas akan menghubungi atau mendatangi orang tersebut dalam 15 menit.
Aplikasi pengawasan dan pelacakan tidak hanya dilakukan ketika negara-negara menetapkan masa darurat kesehatan. Baru-baru ini, setelah kasus Covid-19 menurun di China, pemerintah tetap melakukan kontrol terhadap pergerakan warganya. Menjelang selesainya penutupan wilayah (lockdown), pemerintah meminta warganya untuk menggunakan perangkat lunak ”Kode Kesehatan” yang menentukan izin mobilitas mereka.
Aplikasi ini merupakan hasil kerja sama pemerintah, Alipay, dan WeChat. Setiap orang yang memiliki akun akan diberikan notifikasi kode kesehatan berupa kode warna berdasarkan status kesehatan dan riwayat perjalanan.
Hanya pemilik akun dengan notifikasi kode warna hijau yang boleh bepergian dan mengunjungi tempat publik dengan bebas. Sementara orang dengan kode kuning harus mengikuti prosedur isolasi di rumah. Orang dengan kode merah adalah pasien Covid-19 dan harus dikarantina.
Pentingnya pelacakan
Beberapa sistem dan aplikasi pelacakan di beberapa negara itu menuai pro dan kontra. Data yang dikumpulkan, khususnya data lokasi dan data pribadi penduduk, cukup membuat masyarakat khawatir akan privasinya. Apalagi di era digital seperti saat ini, penyalahgunaan data pribadi sering terjadi.
Namun, data tersebut menjadi amunisi untuk mempercepat penemuan kasus dan mencegah penyebaran kasus Covid-19. Pada kasus pandemi ini, isolasi dan karantina saja tidak cukup untuk mengontrol penyebaran virus. Sinergi antara upaya isolasi, karantina, dan pelacakan kontak menjadi cara yang efektif dalam penanganan pandemi.
Pelacakan kontak menjadi sangat penting karena sekitar 46 persen transmisi Covid-19 disebabkan oleh orang yang tidak memiliki gejala. Ini sangat berbahaya karena pasien tidak mengetahui adanya patogen dalam tubuhnya sehingga menjadi perantara untuk penularan penyakit ini.
Pelacakan kontak meminimalkan penyebaran dengan memberikan imbauan bagi orang yang diduga terinfeksi virus untuk melakukan prosedur kesehatan seperti isolasi mandiri. Untuk mengontrol 90 persen wabah, dibutuhkan pelacakan kontak sebanyak 80 persen.
Semakin banyak cakupan pelacakan kontak, maka semakin besar kontrol yang dapat dilakukan pemerintah. Perhitungan ini digunakan jika angka reproduksi Covid-19 adalah 2,5 yang artinya terdapat sekitar dua orang yang terinfeksi dari pasien pertama Covid-19.
Pelacakan digital
Kegagalan penanganan Covid-19 dapat bersumber pada tidak maksimalnya pelacakan dan keterlambatan isolasi orang terinfeksi. Hal ini dapat terjadi jika pelacakan masih dilakukan secara manual, yaitu dengan cara mewawancarai orang yang memiliki gejala Covid-19. Informasi yang diperoleh berupa riwayat perjalanan dan dengan siapa pernah melakukan kontak langsung hanya bergantung pada kemampuan ingatan pasien.
Cara pelacakan manual ini dipandang kurang maksimal. Pengamatan dari 425 kasus pertama yang terinfeksi di luar pasar di Wuhan menghasilkan kesimpulan bahwa 83 persen kasus tidak ingat ada kontak dengan individu yang bergejala.
Akibatnya, masih ada orang-orang yang terlambat atau tidak terdeteksi dan tidak tertangani. Faktor keterlambatan ini sangat penting dipertimbangkan dalam kebijakan penanganan penyakit menular.
Keterlambatan terjadi saat pasien mulai sakit setelah terinfeksi dan masa isolasi. Semakin lama jarak waktu sejak individu terinfeksi hingga masa isolasi, maka semakin besar risiko penularannya.
Karena itu, cara yang dapat diandalkan adalah menggunakan pelacakan digital seperti yang telah dilakukan beberapa negara di awal tulisan. Sistem ini dapat menggantikan cara manual yang membutuhkan waktu berminggu-minggu untuk menemukan orang-orang terkontak langsung dengan pasien.
Cara ini memungkinkan pemerintah untuk mendeteksi dengan cepat lokasi dan waktu keberadaan pasien Covid-19 sebelum terkonfirmasi positif Covid-19. Orang-orang yang terdeteksi secara digital berada di lokasi sama dengan pasien Covid-19 pada suatu waktu dapat mengikuti prosedur kesehatan sesuai imbauan. Dengan demikian, kecil kemungkinan orang lain tertular virus.
Sebagai gambaran, kita dapat mencermati alur kerja aplikasi Kode Kesehatan Alipay di China. Seorang warga terinfeksi Covid-19 yang tidak menunjukkan gejala bepergian menggunakan kereta menuju tempat kerjanya. Di setiap perhentiannya, ia dan masyarakat lain wajib menunjukkan kode kesehatan dan kode QR yang akan tercatat pada sistem.
Esok harinya, orang yang terinfeksi tersebut menunjukkan gejala dan melapor ke pemerintah. Setelah ditetapkan positif Covid-19, pemerintah memberikan notifikasi langsung kepada warga lain yang pada hari sebelumnya berada di tempat yang sama dengan orang tersebut sesuai catatan sistem.
Etika penggunaan
Dalam penggunaannya, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penggunaan teknologi ini. Salah satunya informasi atas konfirmasi status kesehatan yang ditetapkan pemerintah kepada seseorang.
Di China, seorang warga Hangzhou harus berdiam di rumah karena kode kesehatannya berwarna merah. Namun, ia tidak merasakan adanya gejala dan sakit. Pemerintah juga tidak memberikan konfirmasi tentang status kesehatannya dan sampai kapan ia harus berada di rumah.
Pelacakan kontak menjadi sangat penting karena sekitar 46 persen transmisi Covid-19 disebabkan oleh orang yang tidak memiliki gejala.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah persetujuan masyarakat atas publikasi data yang dikumpulkan. Di Inggris, pemerintah bersedia membatasi publikasi data pribadi kasus. Berbeda dengan Korea Selatan, pemerintah atas persetujuan masyarakat berhak dengan bebas memublikasikan data orang terinfeksi.
Kekhawatiran penggunaan data setelah pandemi selesai untuk kepentingan kontrol masyarakat oleh pemerintah juga menjadi perhatian para ahli teknologi. Hal ini diungkapkan Albert Fox Cahn, Direktur Eksekutif Proyek Teknologi Pengawasan, kepada CNBC merujuk pada penetapan Undang-Undang Patriot Amerika Serikat.
Baca juga: Mencermati Pergerakan Kasus Covid-19 di Dunia
Regulasi tersebut ditetapkan setelah serangan teror 9/11 guna memberi hak pengawasan bagi pemerintah federal untuk membantu upaya pegawasan teroris. Undang-undang tersebut mendapat pembaruan jangka pendek hingga akhir tahun 2020.
Untuk itu, dalam penggunaannya dibutuhkan tanggung jawab pemerintah terhadap data yang dikumpulkan. Hal ini termasuk menjamin penggunaan data hanya untuk penanganan pandemi. Selain itu, pemerintah juga harus transparan dan menyosialisasikan penggunaan serta batas waktu pengumpulan dan penyimpanan data. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Mengapa Harus Membayar Berita Daring?