Menjaga Hak Konsumen Digital
Pembatasan sosial berskala besar memaksa warga berada di rumah. Membeli berbagai barang yang dibutuhkan pun dilakukan secara daring. Hak konsumen secara daring perlu diperhatikan
Pembatasan Sosial Berskala Besar yang diterapkan saat pandemi Covid-19 melanda memaksa warga untuk #dirumahsaja sambil tetap melakukan berbagai aktivitas, seperti bekerja, belajar, ataupun beribadah. Membeli berbagai barang yang dibutuhkan, baik kebutuhan sehari-hari maupun barang sekunder lainnya, harus dilakukan secara dalam jaringan (daring/online).
Di tengah situasi wabah Covid-19, hak konsumen seringkali lalai dipenuhi oleh pihak penjual. Konsumen seringkali harus maklum dengan keterlambatan, lambatnya respons, ketidaksesuaian pesanan dengan barang yang diantar, keamanan barang, bahkan menjadi korban penipuan.
Penyebaran virus korona jenis baru bukan hanya berdampak pada dunia usaha, melainkan juga mengubah perilaku masyarakat atau konsumen di Indonesia. Dalam studi yang dirilis pada awal April 2020, Nielsen mengatakan, sejak diberlakukannya imbauan tinggal di rumah untuk mencegah penyebaran Covid-19, sekitar 30 persen konsumen menjadi lebih sering berbelanja secara daring.
Pembelian secara daring beralih ke berbagai produk makanan segar, seperti sayur, buah-buahan, dan makanan beku, multivitamin dan suplemen, hand sanitizer, serta produk-produk sembako, seperti minyak goreng dan beras, serta kebutuhan sehari-hari lainnya.
Blibli.com, Shopee Indonesia, ataupun Tokopedia mengakui terjadi peningkatan transaksi pada produk kebutuhan sehari-hari dan kesehatan personal sejak awal Maret 2020.
Terjadi peningkatan transaksi secara daring pada produk kebutuhan sehari-hari dan kesehatan personal sejak awal Maret 2020.
Penyedia jasa internet, IndiHome dan Biznet, juga mencatat lonjakan lalu lintas (traffic) data dan pengguna baru hingga sekitar 20 persen sejak diberlakukan bekerja dari rumah (work from home/WFH) dan belajar dari rumah imbas penyebaran virus korona yang makin meluas.
Namun, meningkatnya pembelian secara daring seringkali tidak diikuti peningkatan kualitas pelayanan. Salah satunya seperti yang terjadi pada pelanggan jaringan First Media yang mengalami gangguan. Layanan internet First Media mati sejak Sabtu-Minggu (18-19/4/2020).
Namun, layanan TV kabel tetap berfungsi normal. Pelanggan menjerit meminta First Media segera memperbaiki layanan internetnya karena membutuhkan jaringan internet untuk bekerja dan belajar ataupun ibadah di rumah.
Layanan customer service tidak menjawab telepon keluhan pelanggan, tidak ada pemberitahuan akan kondisi yang terjadi kapan akan berakhir. Padahal, konsumen terlebih pelanggan berhak atas kenyamanan layanan jaringan wi-fi yang lancar.
Belanja secara daring juga kerap menimbulkan masalah karena barang yang dibeli tidak sesuai deskripsi produk seperti kasus penjualan masker yang pada saat diterima konsumen tidak sesuai dengan deskripsi produk yang dijanjikan.
Ada pula keterlambatan pengiriman yang banyak dilakukan oleh toko daring, seperti akibat membeludaknya pesanan secara daring. Konsumen diminta maklum akan kondisi gangguan dan keterlambatan yang terjadi. Lagi-lagi hak pelanggan untuk mendapatkan barang sesuai waktu yang dijanjikan menjadi tak terpenuhi.
Padahal, seharusnya pelaku usaha yang memiliki layanan berbasis digital harus tetap memperhatikan perlindungan konsumen meski situasi pandemi Covid-19 berlangsung. Hak konsumen harus tetap diberikan dengan optimal karena diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, termasuk konsumen yang melakukan transaksi secara daring.
Saluran pengaduan
Setiap konsumen dijamin haknya untuk menyampaikan pengaduan dan keluhan atas barang dan jasa yang dikonsumsi seperti diatur dalam Pasal 4 UU No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Namun, ketidaktahuan konsumen soal cara menyampaikan keluhan serta saluran penyampaian keluhan menjadi penghambat terlindunginya hak konsumen. Konsumen Indonesia masih harus terus didorong untuk memperjuangkan haknya karena Indeks Keberdayaan Konsumen (IKK) pada 2018 masih 40,41.
Angka ini menunjukkan konsumen hanya mengetahui akan hak dan kewajibannya, tetapi belum mampu untuk menggunakan dan memperjuangkannya.
Pada tahap awal, apabila ada masalah dalam transaksi barang dan/jasa, konsumen cukup membuat pengaduan langsung kepada pelaku usaha. Beberapa pelaku usaha sudah memiliki bagian khusus yang menangani pengaduan konsumen.
Pengaduan kepada pelaku usaha penting dilakukan konsumen terlebih dahulu supaya disinformasi antara konsumen dan pelaku usaha yang seringkali terjadi dapat diselesaikan tanpa perlu ada bantuan pihak ketiga.
Namun, jika pelaku usaha belum merespons dugaan pelanggaran hak-hak konsumen, konsumen dapat menyampaikan pengalaman buruk sebagai konsumen melalui media massa baik surat pembaca di media cetak, akun media sosial seperti Twitter dan Instagram. Pelaku usaha yang peduli terhadap nama baik dan citra perusahaan seharusnya akan merespons dengan cepat.
Sesuai dengan ketentuan yang ada dalam UU No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen, ada lembaga yang dapat dihubungi untuk menyampaikan keluhan atau pengaduan oleh konsumen, seperti Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat yang merupakan swadaya masyarakat dan ada pula Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) milik pemerintah.
Selain itu ada pula asosiasi mediasi per industri seperti Badan Mediasi Asuransi Nasional, ada juga organisasi profesi yang mengurus soal etik profesi, serta Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Secara umum, konsumen dapat menyampaikan pengaduan konsumen melalui berbagai akses dengan mengisi formulir pengaduan konsumen baik secara daring maupun luar jaringan (luring/offline).
Sementara pelanggaran hak-hak konsumen yang terkait dengan pengaduan tindak pidana dapat dilaporkan ke bidang perlindungan konsumen di kepolisian. Laporan atau pengaduan ke kepolisian dapat menjadi dasar bagi kepolisian untuk mengambil langkah hukum.
Misalnya, kasus makanan tercemar, dengan adanya laporan atau pengaduan ke kepolisian, petugas kepolisian dapat melakukan penyitaan terhadap produk sejenis yang masih beredar di pasar sehingga kepentingan masyarakat terlindungi.
Selektif
Kian ramainya perdagangan secara daring yang tersedia pada pilihan pembayaran belanja daring menuntut konsumen menjadi semakin cermat, kritis, dan bijaksana. Konsumen dapat memiliki e-commerce yang sudah cukup dikenal publik.
E-commerce yang telah dikenal publik umumnya memiliki sistem kurasi pedagang yang cukup baik dan memiliki layanan aduan yang dapat diandalkan. Selain itu, keamanan dana konsumen pun dapat dipertanggungjawabkan.
Pemilihan pedagang di dalam e-commerce, seperti Tokopedia, Shopee, BliBli, dan BukaLapak, juga harus teliti dengan tidak hanya mempertimbangkan harga yang lebih murah, tetapi juga jumlah barang yang sudah pernah dijual dan komentar para pembeli.
Jika berbelanja melalui akun pedagang langsung, konsumen harus teliti melihat aktivitas jual beli melalui unggahan-unggahannya di laman media sosial. Pedagang yang telah memiliki unggahan cukup banyak dan lama bisa memberi kepercayaan lebih karena dapat dinilai jika bisnisnya telah cukup konsisten.
Protes atau ketidakpuasan pembeli harus menjadi kewaspadaan. Pertimbangan untuk melakukan transaksi secara daring terlebih untuk produk makanan akan lebih aman jika didasarkan pada rekomendasi yang didapat dari rekan ataupun kerabat yang telah lebih dahulu mencobanya. Dengan demikian dapat meminimalkan keracunan ataupun penipuan.
Lebih selektif dalam melakukan transaksi secara daring serta mengedepankan aspek keamanan dan kehati-hatian menjadi kunci dalam melakukan transaksi jual beli secara daring. (LITBANG KOMPAS)