Tindak Tegas Penyebar Hoaks Covid-19
Peredaran informasi bohong atau hoaks menghambat upaya bersama antara pemerintah dan rakyat untuk memutus mata rantai Covid-19. Polri telah menangani puluhan kasus hoaks terkait Covid-19.
Peredaran informasi bohong atau hoaks menghambat upaya bersama antara pemerintah dan rakyat untuk memutus mata rantai Covid-19. Polri telah menangani puluhan kasus hoaks terkait Covid-19. Jumlah hoaks Covid-19 dari hari ke hari kian bertambah.
Menurut data yang dirilis Kementerian Komunikasi dan Informatika per 28 April 2020, pukul 08.00, terdapat 607 kasus hoaks terkait Covid-19. Jumlah ini terus meningkat selama empat bulan terakhir. Pada Januari 2020 tercatat 40 kasus hoaks, lalu 98 kasus pada Februari, 266 kasus pada Maret, dan 203 kasus pada April.
Jika diamati dengan analisis isi, terdapat pergeseran tema pada periode tiap bulan. Pada Januari, saat Covid-19 mewabah di Wuhan, China, sejumlah kasus hoaks yang terjadi di Indonesia adalah dugaan pasien terpapar virus korona di daerah-daerah. Hal ini terjadi sebelum ada kasus pertama Covid-19 yang diumumkan pemerintah awal Maret 2020.
Berikutnya, pada Februari 2020, kasus hoaks yang muncul mengarah pada upaya-upaya menangkal virus korona, seperti minum alkohol, berkumur air garam mencegah terserang virus korona, penyembuhan korona dengan bawang putih, dan ragam konten lain yang memberi anjuran agar terhindar dari virus korona.
Maret 2020 adalah masa puncak hoaks Covid-19. Saat itu, masyarakat diminta patuh pada protokol kesehatan seperti rajin mencuci tangan pakai sabun dan menjaga jarak (physical distancing). Kebijakan ini ditindaklanjuti imbauan Presiden Joko Widodo agar warga bekerja, belajar, dan beribadah dari rumah. Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga mengeluarkan fatwa bahwa umat Islam melaksanakan ibadah shalat, termasuk shalat Jumat dan Tarawih, di rumah selama pandemi Covid-19.
Pada Maret, ragam hoaks makin gencar dan mulai mengarah kepada pejabat negara yang terserang Covid-19. Konten hoaks lainnya berupa kebijakan lockdown atau karantina wilayah, pasien Covid-19 lari dari rumah sakit, pasien baru Covid-19 di rumah sakit di daerah-daerah, penutupan pasar tradisional di sejumlah wilayah, serta ragam obat yang menyembuhkan Covid-19.
Kebijakan ini ditindaklanjuti imbauan Presiden Joko Widodo agar warga bekerja, belajar, dan beribadah dari rumah.
Selanjutnya, pada April 2020, muncul kebijakan pemerintah mengenai pembatasan sosial berskala besar (PSBB), penggunaan masker ketika berada di luar ruangan, dan larangan mudik dari pemerintah. Isu hoaks yang muncul pada April tak jauh-jauh dari kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tersebut.
Hoaks itu antara lain berupa pesan berantai bahwa kendaraan tak bisa masuk kota Jabodetabek, mudik Lebaran tak dilarang, dan bantuan voucer gerai minimarket saat PSBB. Ada pula hoaks seperti ragam aksi kejahatan setelah narapidana dibebaskan akibat wabah Covid-19.
Penindakan hoaks
Menurut data dari Kepolisian Negara Republik Indonesia pekan lalu, ada 97 kasus terkait hoaks Covid-19. Kasus-kasus tersebut tersebar di banyak daerah.
Hoaks terbanyak berasal dari wilayah Kepolisian Daerah Metro Jaya, yakni 12 kasus. Setelah itu, ada Polda Jawa Timur (12 kasus), Polda Riau (9 kasus), dan Polda Jawa Barat (7 kasus). Adapun 57 kasus hoaks lainnya ditangani polda di sejumlah provinsi.
Para pelaku dikenai Pasal 45 dan 45 A Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dengan ancaman pidana enam tahun penjara. Mereka juga dikenai Pasal 14 dan 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dengan ancaman pidana 10 tahun penjara.
Hoaks terkait Covid-19 yang terus berseliweran di tengah masyarakat melalui media sosial diyakini bisa merusak kepercayaan pada pemerintah dan pada sesama warga masyarakat. Padahal, rasa saling percaya sangat dibutuhkan untuk menghentikan wabah Covid-19. Kondisi tersebut semakin rumit jika polarisasi ideologi politik publik pada masa pemilu ikut berpengaruh.
Efek negatif yang mungkin muncul akibat ketiadaan kepercayaan antara lain sulitnya memobilisasi orang-orang untuk satu kata dan perbuatan. Padahal, dibutuhkan keselarasan kata serta perbuatan untuk menghadapi pandemi Covid-19.
Tuntutan menjalankan protokol kesehatan seperti menjaga jarak fisik, menghindari kerumunan, dan menggunakan masker perlu dilakukan oleh semua orang bersamaan. Upaya menekan penularan virus korona tidak efektif jika di kalangan masyarakat masih muncul ego yang didasari ideologi politik masing-masing.
Kabar bohong perihal Covid-19 akan mengarahkan publik pada tindakan yang salah, membahayakan kesehatan, bahkan ketahanan nasional. Hal tersebut menjadi pekerjaan rumah tambahan pemerintah, khususnya Kementerian Komunikasi dan Informatika ataupun aparat penegak hukum.
Hoaks perlu segera ditelusuri jejak digitalnya dan pelakunya ditindak. Penyedia platform yang tak segera menghapus konten hoaks perlu diberi sanksi.
Ketika semua elemen bangsa tengah bersusah payah menghadapi pandemi, masih banyak yang tega memproduksi berita bohong. Dari pengakuan para tersangka, seperti yang dinyatakan Kepolisian Negara RI, mereka menyebarkan kabar bohong dengan alasan bercanda. Namun, ada pula yang dipicu ketidakpuasan kepada pemerintah.
Faktor lain yang menyebabkan penyebaran rumor dan hoaks Covid-19, menurut Kepolisian RI, ialah kejenuhan warga sehingga melakukan hal-hal iseng. Ada pula yang merasa ingin paling dulu mengabarkan informasi dan pelaku tak paham apakah informasi yang diterima serta disebarkan merupakan hoaks atau bukan.
Literasi lemah
Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menyebutkan, pada 2018, jumlah pengguna internet di Indonesia 171,17 juta jiwa. Angka ini setara dengan 64,8 persen dari total penduduk Indonesia yang berjumlah 264,16 juta orang. Apabila dibadingkan survei tahun 2017, pengguna internet di Indonesia meningkat 10,2 persen.
Sementara itu, menurut hasil survei CIGI-Ipsos Global Survey 2019, sebanyak 49 persen pengguna internet di Indonesia yang disurvei menyatakan percaya dengan konten hoaks.
Menurut survei yang dilakukan oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) tahun 2019, Indonesia menduduki peringkat sangat rendah, yaitu 60 dari 61 negara di dunia, dalam hal literasi. Situasi ini terkait dengan kebiasaan membaca buku di Indonesia yang rendah dibandingkan dengan negara lain.
Peningkatan jumlah pengakses internet di Indonesia ternyata tak dibarengi dengan tingginya literasi atau kemampuan individu dalam mengolah informasi. Rendahnya kebiasaan membaca buku dan referensi pengetahuan yang dapat menambah ilmu, pengetahuan, dan wawasan menjadi salah satu faktor penyebabnya. Orang pun cenderung mencari ”gampangnya” melalui internet.
Di tengah situasi pandemi Covid-19, penindakan secara hukum terhadap penyebar hoaks harus terus dilakukan. Di saat situasi masyarakat sedang genting, dibutuhkan kesadaran masyarakat agar tak menambah keruh situasi dengan menyebarkan hoaks.
Kerja sama menciptakan situasi kondusif dengan tidak menyebar hoaks mutlak dilakukan. Situasi psikis masyarakat yang jenuh, ditambah maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) pekerja formal, harus diimbangi dengan semangat dan rasa optimistis supaya mampu melewati masa pandemi ini. (LITBANG KOMPAS)