Mengejar Target Cakupan Imunisasi di Tengah Pandemi
Penyebaran penyakit Covid-19 yang begitu cepat dan masif di seluruh dunia menggambarkan besarnya dampak yang ditimbulkan jika suatu penyakit menular belum ditemukan vaksinnya.
Oleh
MB Dewi Pancawati
·6 menit baca
Peringatan Pekan Imunisasi Dunia di tengah pandemi Covid-19 menjadi pengingat bahwa vaksin sangat penting untuk melindungi anak-anak dan masyarakat dari penyakit berbahaya. Penyebaran penyakit Covid-19 yang begitu cepat dan masif di seluruh dunia menggambarkan besarnya dampak yang ditimbulkan jika suatu penyakit menular belum ditemukan vaksinnya.
Tahun 2020, Pekan Imunisasi Dunia yang selalu diperingati selama sepekan di minggu keempat April mengambil tema ”Imunisasi untuk Semua”. Mendapatkan imunisasi adalah hak tiap anak seperti diamanatkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Orangtua, masyarakat, dan negara wajib memelihara kesehatan anak, salah satunya diwujudkan dengan memberikan imunisasi lengkap dan rutin.
Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2018, sebanyak 20 juta anak di seluruh dunia belum mendapatkan imunisasi lengkap. Sekitar 60 persen di antaranya terkonsentrasi di 10 negara, yakni Angola, Brasil, Kongo, Etiopia, India, Vietnam, Nigeria, Pakistan, Filipina, dan Indonesia.
Berbagai tantangan masih dialami sejumlah negara dalam pelaksanaan imunisasi sehingga cakupan program untuk imunisasi dasar belum mencapai 95 persen agar kekebalan komunitas terbentuk sesuai ketentuan WHO. Cakupan imunisasi di beberapa daerah berpotensi turun dan semakin jauh dari target.
Penurunan cakupan imunisasi bakal berimbas pada turunnya kekebalan komunitas dan berpotensi meretas jalan menuju wabah lain pada masa depan. Karena itu, program imunisasi disarankan terus dijalankan dengan tetap menjalankan protokol kesehatan. Imunisasi tak boleh dihentikan sekalipun tengah terjadi wabah. Jika dihentikan, kejadian luar biasa penyakit lain yang juga mematikan bisa mengancam.
Pentingnya imunisasi
Hingga kini, imunisasi atau vaksinasi masih menjadi cara terbaik untuk mencegah penularan dan mengurangi tingkat keparahan paparan sejumlah penyakit infeksi. Vaksin yang ditemukan pertama kali pada akhir abad ke-18 dibuat untuk menyelamatkan manusia dari berbagai penyakit menular, menimbulkan kecacatan bahkan mematikan, seperti tuberkulosis, hepatitis B, difteri, pertusis, tetanus, polio, campak, pneumonia, rubela, dan kanker serviks.
Pemberian vaksin juga telah melindungi miliaran manusia di bumi dan secara luas diakui sebagai salah satu intervensi kesehatan paling berhasil dan efektif di dunia. WHO mencatat, pada 2018, imunisasi diperkirakan telah mencegah 2 juta hingga 3 juta kematian tiap tahun.
Vaksin yang ditemukan pertama kali pada akhir abad ke-18 dibuat untuk menyelamatkan manusia dari berbagai penyakit menular.
Maka, imunisasi sebagai upaya untuk memberi kekebalan atau imunitas yang spesifik terhadap penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi pada anak tak boleh berhenti. Saat ini, ada sembilan antigen vaksin yang telah masuk program imunisasi nasional yang harus diselesaikan sebelum anak berusia 12 bulan. Vaksin ini meliputi hepatitis B, tuberkulosis, polio, difteri, tetanus, meningitis, pneumonia, BCG, serta campak.
Program imunisasi awalnya dikenal sebagai imunisasi dasar lengkap, kemudian diperkuat konsepnya menjadi imunisasi rutin lengkap yang terdiri dari imunisasi dasar dan lanjutan. Mengingat imunisasi dasar saja tidak cukup, diperlukan imunisasi lanjutan untuk mempertahankan tingkat kekebalan yang optimal.
Cakupan imunisasi
Yang terpenting dalam program imunisasi adalah paling tidak cakupannya bisa memenuhi target sehingga terbentuk kekebalan kelompok atau komunitas. Berdasarkan data Profil Kesehatan Kementerian Kesehatan, dalam lima tahun terakhir, cakupan imunisasi dasar lengkap di Indonesia selalu di atas 85 persen, tetapi tidak optimal karena belum mencapai target Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Kesehatan.
Hasil yang tidak optimal terlihat pada 2014 dan 2015. Angka cakupan imunisasi berada di kisaran 80 persen, sementara target renstra berada di kisaran 90 persen. Hanya pada tahun 2016 dan 2019, cakupan imunisasi dasar lengkap sedikit lebih dari target.
Setelah pada tahun 2018 cakupannya turun dibandingkan tahun sebelumnya, cakupan imunisasi dasar lengkap menunjukkan peningkatan 3,1 persen pada tahun 2019, yaitu dari 90,6 persen menjadi 93,7 persen, atau melampaui target di angka 93 persen. Sementara itu, menurut hasil Riset Kesehatan Dasar 2018 Kementerian Kesehatan, cakupan status imunisasi dasar lengkap anak usia 12-23 bulan justru turun dari 59,2 persen pada 2013 menjadi 57,9 persen pada 2018.
Angka capaian nasional yang tinggi tidak lantas membuat capaian suatu imunisasi merata di seluruh Indonesia. Jika dilihat data per provinsi, pada tahun 2018 hanya ada 14 dari 34 provinsi yang memiliki cakupan imunisasi dasar lengkap melebihi target 92,5 persen. Artinya, masih ada 18 provinsi lagi yang belum mencapai target. Tiga provinsi dengan cakupan imunisasi dasar terendah adalah Papua, Nusa Tenggara Timur, serta Aceh.
Hanya 30 persen bayi di Papua yang terlindungi imunisasi, sementara di NTT dan Aceh hanya pada kisaran 50 persen. Sebanyak 21.577 anak di Papua belum mendapatkan imunisasi dasar lengkap hingga akhir tahun 2019. Rendahnya cakupan imunisasi di Aceh berdampak pada tingginya kasus penyakit menular difteri. Sejak 2017 hingga 2019, penderita difteri di provinsi itu 442 orang, dan 15 penderita di antaranya meninggal (Kompas, 31/1/2020).
Saat ini masih ada sekitar 300.000 anak di Indonesia yang belum mendapat imunisasi dasar lengkap ataupun tidak mendapatkan imunisasi sama sekali. Padahal, imunisasi tidak hanya menjaga anak pada masa kini dan masa depannya, tetapi juga keluarga serta orang di sekitarnya. Dengan semakin banyak bayi dan anak balita yang mendapat vaksin, akan semakin sedikit orang yang berisiko terinfeksi penyakit menular.
Sebaliknya, semakin banyak bayi dan anak balita yang tidak diimunisasi, semakin besar peluang terjadinya wabah, sakit berat, kecacatan, atau kematian. Menurut catatan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), di Indonesia terjadi wabah penyakit polio pada 2005-2006 sehingga 385 anak lumpuh permanen.
Wabah campak terjadi tahun 2009-2010 sehingga sebanyak 5.818 anak dirawat di rumah sakit, dengan 16 di antaranya meninggal. Ada pula wabah difteri tahun 2010-2011 yang mengakibatkan 816 anak dirawat di rumah sakit, sementara 56 penderita lainnya meninggal.
Tantangan
Ada banyak faktor yang menjadi penyebab tingkat cakupan imunisasi di beberapa daerah masih rendah. Faktor-faktor itu antara lain informasi yang salah, minimnya pengetahuan akan manfaat vaksinasi, ketersediaan fasilitas kesehatan, takut akan efek samping atau kejadian ikutan pasca-imunisasi, dan isu terkait halal tidaknya kandungan vaksin. Penolakan sebagian orang terhadap vaksinasi akan memengaruhi kekebalan komunitas.
Masalah yang paling umum dijumpai dalam praktik sehari-hari adalah imunisasi yang tak sesuai jadwal, terlambat, atau tidak lengkap. Hal ini menyebabkan tidak tercapainya kadar perlindungan yang optimal.
Masalah yang paling umum dijumpai dalam praktik sehari-hari adalah imunisasi yang tak sesuai jadwal, terlambat, atau tidak lengkap.
Padahal, dalam masa pandemi saat ini, jadwal imunisasi semakin terganggu. Orangtua khawatir membawa anaknya ke rumah sakit atau fasilitas kesehatan lainnya untuk menjalani imunisasi. Penyebabnya antara lain keterbatasan akses di daerah-daerah yang memberlakukan pembatasan sosial berskala besar.
Sebagai contoh Provinsi Sumatera Barat yang sudah menerapkan pembatasan sosial berskala besar di seluruh wilayahnya. Cakupan imunisasi dasar lengkapnya pada tahun 2018 tergolong masih rendah, yakni di kisaran 70 persen.
Potensi penurunan pencapaian target cakupan imunisasi tentu tak terelakkan di masa pandemi seperti sekarang. Namun, imunisasi harus diupayakan tetap berjalan dengan menerapkan protokol kesehatan guna mencegah penularan Covid-19. (LITBANG KOMPAS)