Sisi Terang Pengungkapan Kasus Covid-19 Mulai Tersingkap?
Di saat data penderita pandemi Covid 19 makin meningkat, sentimen perbincangan di berbagai platform media mengarah lebih bersifat makin positif. Hal ini berpeluang memberi harapan publik ketimbang kekhawatiran.
Hingga hari ini, arus peningkatan jumlah penderita Covid-19 tetap masif terjadi. Korban meninggal pun membengkak. Namun, bagi media, ancaman pandemi tidak melulu disambut pemberitaan bernada negatif. Belakangan, arus perbincangan media mulai beralih positif.
Sejak awal Maret 2020 Presiden Joko Widodo mengumumkan kasus Covid-19, hingga saat ini segenap perhatian bangsa masih terkuras dalam penanganan pandemi. Bagaimana tidak, pandemi belum juga surut. Dari hari ke hari, peningkatan jumlah penderita kasus ini justru semakin membesar.
Dalam kurun waktu dua bulan sudah menyentuh 10 ribuan kasus. Bahkan, banyak diyakini, jika pendeteksian ataupun skrining terhadap masyarakat lebih masif dilakukan, peningkatan jumlah penderita semakin berlipat.
Merujuk pada data yang dipublikasikan Kementerian Kesehatan, tidak hanya peningkatan jumlah penderita yang dirasakan mengkhawatirkan. Hingga pengujung April 2020 belum tampak indikasi laju peningkatan yang teredam (Grafik).
Artinya, jangankan berharap terjadinya penurunan jumlah penderita, perlambatan saja sejauh ini belum tecermin. Padahal, dalam catatan kasus di negara-negara lain, sebagian sudah menuju pada perlambatan, atau bahkan terdapat pula sebagian negara yang telah mengalami penurunan jumlah penderita.
Selain peningkatan jumlah penderita, jumlah kematian akibat Covid-19 pun bertambah. Hingga 4 Mei 2020, 864 jiwa tidak dapat terselamatkan. Namun, menariknya, di balik membengkaknya data kematian, terindikasi pula peningkatannya cenderung mulai terkendali.
Belum tampak stabil memang. Sejak pertengahan April lalu, misalnya, masih terjadi beberapa momen lonjakan kematian (Grafik). Hanya jika dicermati, sejak itu lonjakan jumlah kematian relatif tidak lagi sebesar pada beberapa minggu sebelumnya.
Di sisi sebaliknya, kabar baik dari penderita yang tersembuhkan pun mulai terkuak. Peningkatan jumlah penderita yang tersembuhkan mulai jauh meninggalkan peningkatan jumlah kematian.
Artinya, sejalan dengan semakin besarnya jumlah penderita yang dinyatakan sembuh, bayangan suram Covid-19 mulai tergerus. Harapan di balik rasa khawatir semakin merekah. Apabila kondisi-kondisi positif semacam itu mampu terjaga, ujung dari pandemi mulai diyakini bakal terjadi.
Besaran rasa khawatir ataupun sebaliknya derajat harapan yang muncul, keduanya merupakan implikasi dari interpretasi terhadap deretan angka (data) pandemi Covid-19 di negeri ini. Berbeda dengan data, interpretasi terhadap data bersifat relatif.
Unsur subyektivitas turut berperan, hingga kadang kala dapat melahirkan beragam pemaknaan. Itulah mengapa interpretasi terhadap data pertumbuhan Covid-19 bagi sebagian kalangan bisa saja semakin meninggikan kekhawatiran. Namun, bagi kalangan lainnya dapat pula membangkitkan harapan.
Pemberitaan media tidak terlepas dari situasi semacam ini. Posisi sebagai agen pemroduksi ataupun penyebar informasi menghadapkan media pada beragam data, fakta, yang harus diinterpretasikan dan selanjutnya dikonstruksikan ulang hingga dikemas menjadi informasi yang diberitakan.
Pada posisi semacam itu, media telah berperan sebagai encoder terhadap data. Dalam peran semacam itu pula, keragaman informasi sangat dapat diciptakan dan terberitakan oleh media walaupun berasal dari sumber data yang sama.
Kasus pandemi Covid-19 menjadi medan paling tepat dalam mengurai proses pewacanaan informasi. Deretan angka pertumbuhan penderita, sebaran wilayah penularan, hingga jumlah kematian menjadi materi dasar pemberitaan.
Di luar itu, terdapat pula bermacam materi pemberitaan lainnya hasil perluasan pemberitaan. Semuanya dirangkum dari sumber-sumber data primer maupun sekunder yang mereka olah, analisis, interpretasi, hingga terkemas menjadi informasi.
Keragaman jelas menjadi keniscayaan. Sekalipun media tertentu sudah menganggap sepenuhnya bersandar pada kaidah jurnalistik dalam pemberitaannya, tampak mustahil jika subyektivitas sepenuhnya tereliminasikan.
Berdasarkan kondisi semacam itu pula keragaman perbincangan media terhadap Covid-19 berlangsung. Persoalannya, di tengah keragaman informasi yang terberitakan, bagaimana sentimen nada (tone) dari pemberitaan media yang terbentuk sepanjang pandemi?
Terhadap praktik pemberitaan media konvensional arus utama, seperti media cetak dan televisi, belum banyak tersingkap. Hanya, dalam mencermati konten informasi yang berasal dari media sosial, menarik jika mencermati kajian Lembaga Penelitian, Publikasi, dan Pengabdian Masyarakat LSPR. Kajian yang bertajuk ”Perbincangan Isu Corona Covid-19 di Media Daring dan Media Sosial di Indonesia” itu dilakukan pada 2 Maret-7 April 2020.
Dalam laporan tertera, pada kurun waktu penelitian, sebanyak 23.229 pembicaraan dengan kata kunci ”Corona Indonesia” berhasil dihimpun dan dianalisis para penelitinya (Dr Lestari Nurhajati, dkk) dari situs web, Facebook, Youtube, hingga Twitter.
Pada dua minggu pertama (2-14 Maret 2020) sejak kasus Covid-19 diumumkan, hasil kajian menunjukkan sentimen perbincangan media cenderung negatif. Penilaian tersebut dari hasil elaborasi pada 821 perbincangan dan 37.600.765 total impression yang terhimpun dari situs web, Facebook, dan Youtube.
Rasio sentimen perbincangan menunjukkan 47 persen negatif, 36 persen netral, dan hanya 17 persen yang bersifat positif (Grafik).
Salah satu wujudnya, reaksi terhadap pola komunikasi aparat negara dalam kasus ini, yang lebih banyak disikapi secara negatif. Dalam laporan, para peneliti LSPR merujuk pada kajian komunikasi kesehatan yang dilakukan Abraham (2011, p.3) bahwa selama situasi darurat kesehatan, berlangsungnya krisis komunikasi yang mengaitkan isu dengan kesalahan pihak komunikator cenderung terjadi.
Periode pencermatan selanjutnya, kondisi mulai berubah. Indikasi perbincangan Covid-19 mulai menyebar. Jika diakumulasikan dari seluruh sumber yang tergolong big data ini, sudah terdapat lebih dari 23.000 perbincangan dengan hampir 450 juta total impression. Besaran peningkatan tersebut menunjukkan betapa semakin masifnya perbincangan Covid-19 yang terjadi dalam berbagai media yang dikaji.
Perubahan juga terjadi dari sisi sentimen konten perbincangan. Hasil kajian menginterpretasikan, sejak minggu ketiga dan keempat (15-30 Maret 2020) telah terjadi perubahan kecenderungan tone perbincangan. Saat itu sudah 28 persen bersifat positif dan 30 persen masih cenderung negatif. Sebagian besar (42 persen) tergolong netral.
Peningkatan sentimen positif terus berlangsung. Pada periode akhir Maret hingga awal April, sudah sebanyak 38 persen positif dan yang negatif menjadi tinggal 20 persen. Dari hasil kajian ini terlihat bahwa setiap medium punya kecenderungan berbeda dalam nada perbincangannya.
Sentimen perbincangan periode 15 Maret hingga 7 April 2020 justru lebih positif di saat peningkatan jumlah penderita hingga kematian semakin meninggi.
Twitter lebih banyak membawa sentimen positif, terutama terkait dengan beberapa gerakan dan tagar yang diusung. Beberapa situs web, termasuk situs yang dikelola media arus utama, cenderung memberikan sentimen netral. Sementara pada kanal Youtube masih cenderung negatif.
Dengan menyandingkan pada data penderita pandemi Covid-19 yang dipublikasikan pemerintah, temuan kajian ini menjadi semakin menarik. Pasalnya, perubahan sentimen perbincangan yang mengarah lebih bersifat positif (periode 15 Maret hingga 7 April) terjadi justru di saat peningkatan jumlah penderita hingga kematian semakin meninggi.
Dengan perkataan lain, di saat kondisi pandemi semakin memburuk, respons perbincangan media justru semakin positif. Suatu situasi yang agak paradoks, terutama jika dikaitkan dengan orientasi media dalam pemroduksian pesan.
Akan tetapi, dalam konteks pandemi, fakta demikian dapat menjadi suatu keuntungan sosial tersendiri.
Semakin positifnya respons media terhadap persoalan yang dihadapi setidaknya dapat menjadi modal dalam meninggikan harapan ketimbang kekhawatiran. Momentum semacam inilah yang layak digandakan, hingga terang sesungguhnya benar-benar tersingkap. (LITBANG KOMPAS)