Pandemi Covid-19 tak cuma berdampak terhadap aktivitas ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Kekerasan dalam rumah tangga ternyata juga meningkat setelah penerapan pembatasan sosial.
Oleh
Susanti Agustina S
·5 menit baca
Pandemi Covid-19 tak cuma berdampak terhadap aktivitas ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Kekerasan dalam rumah tangga ternyata juga meningkat setelah penerapan pembatasan sosial maupun isolasi wilayah di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Pemerintah perlu mengantisipasinya dengan ketegasan penegakan hukum.
Laporan Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perempuan (United Nations Women) menyebutkan, pengaduan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di banyak negara meningkat dibandingkan sebelum pandemi Covid-19, terlebih saat pemberlakuan isolasi wilayah ataupun pembatasan sosial.
Perempuan dan anak-anak tercatat sebagai korban terbanyak dalam kasus kekerasan dalam rumah ini. Sekretaris Jenderal PBB António Guterres meminta pemerintah di negara-negara untuk mengupayakan berbagai hal menghadapi peningkatan kasus KDRT.
Tempat perlindungan dan saluran pengaduan untuk korban KDRT, yang biasanya perempuan dan anak-anak, harus menjadi layanan penting bagi setiap negara dengan menyediakan dana khusus. Sekjen PBB juga mendesak kepolisian dan layanan peradilan negara-negara dimobilisasi guna memastikan bahwa insiden kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak juga menjadi prioritas penanganan.
Saluran bantuan dan pengaduan, dukungan psikososial, dan konseling daring harus ditingkatkan lewat pemanfaatan teknologi. Pada saat bersamaan, perlu juga memperluas dukungan untuk menjangkau korban yang tak punya akses telepon ataupun internet. Kasus kekerasan dalam rumah tangga selama masa pandemi memang tak bisa diremehkan. Di Perancis, misalnya, laporan kekerasan dalam rumah tangga telah meningkat 30 persen sejak isolasi wilayah dimulai 17 Maret 2020.
Di Siprus dan Singapura, saluran pengaduan kasus KDRT di setiap negara mencatat kenaikan panggilan masing-masing 30 persen dan 33 persen. Sementara di Argentina, panggilan darurat untuk kasus-kasus KDRT meningkat 25 persen sejak isolasi wilayah diberlakukan 20 Maret 2020. Peningkatan kasus KDRT juga terjadi di Kanada, Jerman, Spanyol, Inggris, dan Amerika Serikat.
Negara-negara melakukan berbagai upaya demi menangani dan menekan kasus KDRT saat pandemi Covid-19. Kanada, misalnya, memberikan tempat perlindungan bagi korban KDRT, yang tetap terbuka saat isolasi wilayah diterapkan. Kanada juga meluncurkan paket bantuan 50 juta dollar AS (sekitar Rp 740 miliar) guna mendukung tempat penampungan bagi mereka yang mengalami kekerasan seksual dan bentuk kekerasan berbasis jender lainnya.
Kasus kekerasan dalam rumah tangga selama masa pandemi tak bisa diremehkan.
Di Italia, jaksa bahkan memutuskan pelaku kekerasan domestiklah yang harus meninggalkan rumahnya, bukan korban. Sementara Perancis menyediakan akomodasi alternatif bagi para penyintas KDRT di hotel jika tempat penampungan kelebihan penghuni. Pemerintah Perancis juga mengalokasikan dana khusus tambahan untuk mendukung perempuan korban kekerasan dan organisasi yang membantu.
Sementara Pemerintah China menyebarkan tagar #AntiDomesticViolenceDuringEpidemic yang menjadi bagian advokasi berupa pengaduan daring untuk membantu mengekspos kekerasan sebagai risiko penerapan isolasi wilayah. Afrika Selatan, Australia, dan Inggris mengupayakan berbagai hal senada, mulai dari mengalokasikan dana khusus, mempercepat layanan bagi para penyintas, hingga menyediakan layanan bantuan bagi korban.
Penanganan di Indonesia
Di Indonesia, pengaduan kasus KDRT juga meningkat. Berdasarkan data SIMFONI PPA yang dikelola oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak per 2 Maret-25 April 2020, tercatat 275 kasus kekerasan yang dialami perempuan dewasa, dengan total korban 277 orang, serta 368 kasus kekerasan yang dialami anak, dengan korban 407 anak.
Sementara itu, di Jakarta, data Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) Jakarta, dari 97 kasus pengaduan sepanjang 16 Maret hingga 19 April 2020, jumlah yang terbesar dilaporkan adalah kasus KDRT (33 kasus), diikuti kekerasan jender berbasis online (KBGO) 30 kasus, pelecehan seksual (8 kasus), kekerasan dalam pacaran (7 kasus), kasus pidana umum (6 kasus), pemerkosaan (3 kasus), sisanya adalah kasus di luar kekerasan berbasis jender, perdata keluarga, dan lain-lain.
Pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang diterapkan di sejumlah wilayah di Indonesia agaknya menjadi mimpi buruk bagi mereka yang terjebak dalam rumah tangga yang diwarnai kekerasan. Kombinasi antara rasa bosan, menurunnya pendapatan akibat lesunya ekonomi, dan tuntutan pekerjaan yang harus diselesaikan juga dapat menjadi faktor pemicu terjadinya KDRT.
Terlebih, jumlah kasus PHK dan dirumahkan akibat Covid-19 di Indonesia sudah mencapai 2,08 juta pekerja per 20 April 2020 dan diprediksi masih terus meningkat. Menurut Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2016 yang dimuat di laman Kemen-PPPA, perempuan dengan suami menganggur berisiko 1,36 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual ketimbang yang pasangannya bekerja/tidak menganggur.
Beban ganda harus ditanggung perempuan yang ternyata juga menjadi tulang punggung ekonomi keluarga, tetapi harus mengalami PHK atau dirumahkan. Sebetulnya, sudah ada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga menyikapi maraknya fenomena KDRT di masyarakat. Dasar pertimbangannya, setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan.
Selain itu, korban kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan adalah perempuan, harus mendapat perlindungan dari negara dan masyarakat. Undang-undang tersebut memerinci lingkup kekerasan yang dapat dilaporkan oleh korban, berikut sanksi pidana dan denda yang dapat dikenakan kepada pelaku KDRT.
Namun, keadaan di lapangan saat ini membuat pelaporan menjadi lebih sulit. Pemberlakuan pembatasan sosial membuat akses korban KDRT, yang biasanya perempuan dan anak-anak, makin sulit mencapai saluran bantuan/pengaduan, apalagi pelaporan terhadap aparat kepolisian. Penanganan dampak Covid-19 terhadap peningkatan KDRT sepatutnya dilakukan secara serius dan tepat.
Sanksi tegas harus ditegakkan bagi pelaku KDRT sesuai yang telah diatur dalam undang-undang. Meremehkan peningkatan kasus KDRT berarti memberi celah terjadinya ledakan kekerasan dalam rumah tangga setelah pandemi Covid-19. (LITBANG KOMPAS)