Samar-samar Data Bantuan Pemulung
Data yang bergerak “dinamis” dalam satu lembaga yang sama maupun antarlembaga, mengakibatkan akurasi samar-samar pada bantuan sosial pemulung yang mengalami dampak sosial-ekonomi wabah Covid-19.
Sejak awal, pemahaman atas definisi dan kriteria pemulung menjadi kunci akurasi data pemulung. Definisi dan kriteria yang belum sepenuhnya dipahami seragam di berbagai lini pemerintahan, berujung pada persoalan bantuan sosial bagi pemulung yang sangat mereka butuhkan di tengah kondisi wabah Covid-19.
Pemerintah telah berupaya membantu kondisi sebagian masyarakat yang terpuruk secara sosial-ekonomi akibat pandemi Covid-19. Pemerintah mengucurkan sejumlah anggaran melalui Kementerian Sosial (Kemensos) untuk memberikan bantuan sosial (bansos) pada warga miskin dan rentan terdampak. Salah satu kategori penerima bantuan tersebut adalah pemulung.
Sumber data yang digunakan sebagai basis bantuan adalah data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS). Pemutakhiran data tersebut berada di level kabupaten/kota. Adapun sumber utama DTKS adalah hasil kegiatan pemutakhiran basis data terpadu (PBDT) yang dilaksanakan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2015.
DTKS merupakan data yang diolah pusat data Kementerian Sosial. Data tersebut mencakup data keluarga fakir miskin, miskin, dan rentan yang dihimpun berkala.
Sistem data elektronik Program Perlindungan Sosial ini memuat informasi sosial, ekonomi, dan demografi dari sekitar 99 juta individu dengan status kesejahteraan 40 persen terendah di Indonesia, termasuk secara khusus mendata pemulung.
DTKS termutahkir yang dipublikasikan oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) menyebutkan, terdapat 109.919 KK pemulung atau 154.249 individu pemulung yang tersebar di 34 provinsi di seluruh Tanah Air.
Data tersebut berdasarkan Keputusan Menteri Sosial Nomor 8/HUK/2019. Dari angka tersebut, dua pertiga pemulung yang terdata berada di tiga provinsi Pulau Jawa, yakni Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah, secara berurutan.
Tidak akurat
Sayangnya, basis data elektronik yang menjadi rujukan ditambah dengan pemutakhiran data di tingkat kabupaten/kota agaknya belum cukup akurat menjangkau masyarakat bawah ini, khususnya pada kelompok masyarakat pemulung.
Salah satu contohnya dialami Widodo (54) dari Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Pria yang sudah 10 tahun menjadi pemulung di Semarang, Jawa Tengah, tersebut, luput dari jangkauan bansos pemerintah (Kompas, 12/5/2020).
Kasus lain juga terjadi di Serang, Provinsi Banten. Seorang ibu dari keluarga pemulung sempat kelaparan bersama keluarganya.
Bantuan bagi keluarga pemulung ini baru tiba ketika kelaparan yang dialami keluarga pemulung ini diwarnai peristiwa meninggalnya sang ibu. Meskipun penyebab kematian diduga bukan karena kelaparan, bantuan untuk mereka baru datang setelah keluarga pemulung ini sempat dua hari hanya mengganjal perut dengan minum air (Kompas, 21/4/2020).
Kasus sebaliknya terjadi di DKI Jakarta. Salah seorang anggota DPRD justru terdaftar sebagai penerima bansos pemerintah (Kompas, 22/4/2020). Terlepas dari penolakan bantuan yang kemudian dilakukan anggota DPRD tersebut, akurasi data bansos menjadi layak dipertanyakan.
Baca juga : Sebagian Pemulung Tak Terjangkau Bansos
Beragam data
Sebelum penyaluran bansos, data pemulung memang sudah muncul dari beragam versi. Terdapat jumlah pemulung yang lebih besar dari pendataan TNP2K.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui siaran pers 24 Mei 2018 memublikasikan angka pemulung dalam jumlah lebih besar, yakni mencapai 5 juta orang di 25 provinsi.
Sementara itu, Ikatan Pemulung Indonesia (IPI) menyatakan punya 3,7 juta anggota. Mereka belum termasuk atau beririsan dengan APPI dan Asosiasi Pengusaha Daur Ulang Plastik Indonesia (APDUPI) (Kompas, 12/5/2020).
Terkait dampak Covid-19, berdasarkan data Ikatan Pemulung Indonesia, terdapat lebih kurang 4 juta pemulung yang terdampak. Jika data yang disebutkan lembaga pemerintah dan lembaga lain yang bergerak di bidang persampahan tersebut dirata-rata, populasi pemulung di Indonesia paling tidak lebih dari 4,2 juta orang.
Sementara itu, populasi pemulung dari DTKS Kementerian Sosial menunjukkan jumlah yang jauh di bawah angka tersebut. Jawa Timur, misalnya, tercatat sebagai provinsi dengan jumlah pemulung terbanyak di Indonesia menurut DTKS tahun 2019. Jumlahnya, berdasarkan DTKS, hampir sepertiga pemulung di Indonesia ada di Jawa Timur. Namun, jumlah pemulung di Jatim hanya 44.890 orang.
Hal serupa terjadi di Provinsi Jawa Barat, provinsi ke-2 dengan jumlah pemulung terbanyak versi DTKS. Jumlah pemulung di Jabar hanya 32.033 orang.
Di urutan ketiga teratas ada Jawa Tengah, yang mencatat jumlah pemulung hanya sekitar 27.000 orang. Secara keseluruhan, total pemulung di Indonesia tahun lalu, menurut DTKS, hanya 154.249 orang atau sekitar 4 persen dari dari angka rata-rata jumlah pemulung menurut KLHK dan IPI.
Data daerah
Di daerah, data dari lembaga yang menangani bidang kesejahteraan sosial pun menunjukkan gambaran yang meragukan. Setahun sebelum munculnya DTKS, pendataan dari Dinas Sosial (Dinsos) Jawa Timur menunjukkan hanya ada 4.920 pemulung di provinsi tersebut.
Dalam kurun waktu setahun, terdapat lonjakan jumlah pemulung sebanyak 39.970 orang, naik hampir menyentuh 10 kali lipat. Jika dirata-rata, setiap hari ada penambahan 110 pemulung baru jika membandingkan data Dinsos Jatim tahun 2018 dengan data Kemensos tahun 2019.
Hal yang sama terjadi di Jawa Barat dan Provinsi Sumatera Utara. Data Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jabar tahun 2018 mendata hanya ada 18.527 pemulung. Di Sumatera Utara terdapat 8.151 pemulung menurut catatan DTKS, tetapi menurut catatan Dinsos Sumatera Utara hanya ada 944 pemulung tahun 2018.
Perbedaan serupa juga terjadi di Provinsi Jawa Tengah, walaupun masih pada kisaran angka yang tidak terpaut jauh. Menurut DTKS tahun 2019, ada 27.009 pemulung di Jateng. Sementara menurut catatan Pemprov Jawa Tengah, terdapat 29.670 pemulung tahun 2018.
Kendala pendataan
Persoalan dalam memperoleh data yang pasti terkait jumlah pemulung di Indonesia diakui sejumlah penelitian. Salah satunya dialami oleh Lembaga Penelitian Smeru pada tahun 2009 dalam penelitian terkait manusia gerobak, nama lain pemulung. Dalam penelitian tersebut, dikatakan bahwa terdapat tiga alasan sulitnya memperoleh data pemulung.
Pertama, kehadiran pemulung tidak dianggap ada sehingga pemerintah tidak perlu mencatatnya. Kedua, mobilitas pemulung yang cukup tinggi, berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Ketiga, kompleksnya kategori yang digunakan berkaitan dengan pemulung.
Kompleksitas kategori ini dapat ditelusuri mulai dari definisi resmi terkait pemulung tercantum dalam Peraturan Menteri Sosial (Permensos) Republik Indonesia Nomor 08 Tahun 2012 tentang Pedoman Pendataan dan Pengelolaan Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) dan Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS).
Menurut permensos tersebut, pemulung adalah orang-orang yang melakukan pekerjaan dengan cara memungut dan mengumpulkan barang-barang bekas yang berada di berbagai tempat permukiman penduduk, pertokoan dan/atau pasar-pasar yang bermaksud untuk didaur ulang atau dijual kembali sehingga memiliki nilai ekonomis.
Definisi permensos terkait pemulung ini tidak menjabarkan lebih detil karakteristik sosial demografi pemulung yang berpindah-pindah atau memiliki mobilitas tinggi. Perbedaan antara definisi dan kenyataan lapangan sangat mungkin berujung pada kendala pendataan.
Kasus yang dialami pemulung Widodo di Semarang, Jawa Tengah, yang sudah dijelaskan sebelumnya, boleh jadi merupakan salah satu contoh dampak dari kesenjangan antara definisi fakta lapangan. Widodo berasal dari Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, sedangkan dia memulung sampah di Semarang, Jawa Tengah.
Pemulung dan pekerjaan
Jika merujuk definisi permensos, boleh dikatakan bahwa pemulung merupakan salah satu jenis pekerjaan. Hal ini dikuatkan dalam verifikasi dan validasi data rumah tangga dalam mekanisme pemutakhiran mandiri data terpadu program penanganan fakir miskin tahun 2017. Dalam publikasi tersebut, dituliskan bahwa pemulung masuk dalam salah satu kategori lapangan usaha dari pekerjaan utama.
Dalam konsep dan definisi Susenas 2018 juga disebutkan bahwa status/kedudukan pekerjaan utama pemulung masuk dalam kategori pekerja bebas nonpertanian. Pekerja bebas adalah kelompok rumah tangga atau anggota rumah tangga yang bekerja pada orang lain/majikan/institusi yang tidak tetap, lebih dari satu majikan dalam satu bulan terakhir dengan upah berupa uang ataupun barang yang diberikan harian maupun borongan. Dalam hal ini, majikan bagi pemulung adalah lapak atau pengepul dari barang bekas yang dikumpulkan pemulung.
Lebih jauh, jika pemulung adalah salah satu kategori pekerjaan, pemulung sejatinya juga berhak mendapatkan mendapatkan jaminan sosial terkait bidang ketenagakerjaan. Namun, jaminan sosial bagi pekerjaan pemulung juga masih berada pada ranah abu-abu. Salah satu contohnya adalah pengalaman pemberian BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan di DKI Jakarta.
Sejak November 2016, Pemprov DKI Jakarta telah memberikan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan bagi pemulung TPST Bantargebang. BPJS untuk pemulung bahkan selalu dianggarkan oleh Pemprov DKI Jakarta dan masuk dalam rencana strategis Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta tahun 2017-2022.
Baca juga : Pemberdayaan Pemulung Mendesak
Namun, sempat terjadi hambatan dalam penyaluran BPJS bagi pemulung TPST Bantargebang tahun 2019. Kementerian Dalam Negeri tidak menyetujui anggaran bagi BPJS untuk pemulung walaupun anggaran tersebut sudah direalisasikan oleh Pemprov DKI Jakarta.
Ketidakjelasan posisi pemulung, pada akhirnya berujung pada data yang samar dan kian menepikan keberadaan mereka. Bagaimanapun, keberadaan pemulung tidak semestinya luput dari pandangan.
Adanya pemulung membuat ekosistem lingkungan menjadi lebih baik. Bagong Suyoto dalam bukunya Potret Kehidupan Pemulung (2015) mengatakan, pengelolaan sampah oleh pemulung lebih bermanfaat daripada penggunaan mesin pembakar massal. Di sisi lain, memungut dan memilah sampah juga bisa menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat yang bernilai ekonomi, sejalan dengan definisi permensos.
Kejelasan mengenai definisi dan kriteria pemulung pada akhirnya menentukan kejelasan aparat di tingkat terbawah dalam melakukan pendataan. Penghimpunan data juga membutuhkan keterlibatan pihak terkait, dari daerah hingga pusat. Ketersediaan data akurat secara nasional dapat memudahkan berbagai pihak yang membutuhkannya, terutama bagi kesejahteraan pemulung, yang bernafkah dari sampah. (LITBANG KOMPAS)