Penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB diikuti dengan perpindahan produksi sampah, dari kawasan publik ke rumah tangga. Namun, sejauh ini belum banyak rumah tangga memilah dan mengolah sampah yang mereka hasilkan.
Kecenderungan masyarakat belum banyak melihat peluang pemanfaatan sampah terekam dalam hasil Jajak pendapat Kompas melalui media daring yang dilakukan pekan lalu. Sejak awal, lebih dari separuh responden mengungkapkan mereka terbiasa membuang sampah dengan cara hanya meletakkannya di pagar atau halaman rumah, untuk kemudian diangkut oleh petugas. Adapun sekitar sepertiga responden lain membuang sampah begitu saja ke tempat pembuangan sampah di sekitar rumah.
Hanya sebagian kecil masyarakat (5,7 persen responden) yang menunjukkan indikasi memilah sampah sebelum dibuang. Kelompok kecil responden ini membuang sampah yang masih bisa dimanfaatkan melalui bank sampah.
Baca juga: Janjikan Bebas Sampah Plastik 2040, Indonesia Didesak Serius
Pada sisi lain, sebagian sampah yang dihasilkan rumah tangga sebenarnya mempunyai banyak potensi untuk dimanfaatkan kembali. Hal ini mengingat produksi sampah dari rumah tangga sebenarnya terbilang besar.
Jauh sebelum pemberlakuan PSBB, sampah yang dihasilkan rumah tangga menempati proporsi cukup besar di antara timbulan sampah yang dihasilkan dari berbagai kawasan publik. Merujuk pada data dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional, sepanjang tahun 2017-2018 ada 38,36 persen sampah yang bersumber dari aktivitas di rumah tangga.
Pada saat pemberlakuan PSBB saat ini, produksi sampah rumah tangga cenderung meningkat, sedangkan di kawasan publik terjadi sebaliknya. Salah satu contoh menarik untuk menggambarkan hal tersebut adalah kawasan Megapolitan Jabodetabek.
Sebelum mewabahnya Covid-19, volume sampah yang dari DKI Jakarta yang dikirim ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantargebang, Bekasi, rata-rata bisa mencapai 6.500-7.000 ton per hari. Besaran tonase sampah tersebut kemudian turun rata-rata 620 ton per hari setelah mewabahnya Covid-19 (Kompas, 13/5/2020).
Menurunnya produksi sampah dari DKI Jakarta, antara lain disebabkan terhentinya aktivitas hampir semua perkantoran, pusat perbelanjaan, rumah makan, perhotelan, dan fasilitas publik lainnya. Sekitar 25 persen sumber sampah di Ibu Kota berasal dari tempat-tempat tersebut.
Sementara itu, tidak sedikit masyarakat yang bekerja di wilayah DKI Jakarta bertempat tinggal di wilayah sekitar Jakarta seperti Depok, Bogor, Tangerang dan Bekasi. Adanya PSBB memindahkan sebagian besar aktivitas keseharian masyarakat, sekaligus timbulan sampah, ke wilayah-wilayah penyangga DKI Jakarta tersebut.
Diperkirakan, produksi sampah di Kota Tangerang Selatan meningkat 10 persen sejak pemberlakuan PSBB. Produksi sampah di Kota Tangsel yang berkisar 70 ton per hari sebelum pelaksanaan PSBB, naik menjadi lebih kurang 80 ton sejak pemberlakuan kebijakan tersebut.
Kondisi serupa terjadi di Kota Depok. Sebelum penerapan PSBB untuk mencegah penyebaran Covid-19, produksi sampah di kota tersebut lebih kurang sebanyak 750 ton per hari. Sementara, produksi sampah sesudah berlakunya PSBB bisa mencapai 800 ton setiap hari.
Baca juga: Sampahku, Tanggung Jawabku!
Memilah dan memanfaatkan
Hasil jajak pendapat Kompas juga menunjukkan belum banyak masyarakat yang memilah sampah sebelum dibuang ataupun memanfaatkan kembali sampah yang masih bernilai guna. Separuh responden mengaku, mereka memilah sampah sebelum dibuang hanya pada saat mereka mempunyai waktu luang atau teringat untuk melakukannya.
Sementara itu, 3 dari 10 responden lainnya bahkan sama sekali tidak pernah memilah sampah yang akan dibuang. Baru 2 dari 10 responden yang selalu memilah sampah sebelum dibuang.
Pemanfaatan kembali sampah yang masih bernilai guna juga belum pernah dilakukan oleh sekitar sepertiga responden. Sementara lebih kurang 6 dari 10 responden lainnya baru sesekali atau beberapa kali saja memanfaatkan kembali sampah yang masih bernilai guna.
Padahal, gerakan pengelolaan sampah sudah cukup lama digaungkan pemerintah. Indonesia menerapkan pengelolaan sampah dengan konsep 3R berbasis masyarakat sejak 2012. Hal tersebut tercantum dalam Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2012.
Konsep 3R merupakan upaya pengelolaan sampah yang dilakukan dengan mengurangi penggunaan sampah (reduce), menggunakan kembali sampah yang masih layak pakai (reuse), dan mengolah sampah untuk dijadikan produk baru (recycle). Pengelolaan sampah 3R secara konkret dilakukan dengan memilah sampah yang masih bisa diolah untuk dimanfaatkan kembali.
Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga aktif mengampanyekan kegiatan memilah sampah. Dalam salah satu siaran persnya tanggal 15 September 2019, KLHK meluncurkan program Gerakan Nasional Pilah Sampah dari Rumah. Kegiatan tersebut dilakukan di Gelora Bung Karno Jakarta dan diikuti lebih kurang 1.000 peserta dari berbagai kalangan.
Baca juga: Berdikari lewat Sampah, Mengapa Tidak?
Membantu pemulung
Pada sisi lain, minimnya rumah tangga yang memanfaatkan kembali sampah mereka juga menjadi peluang bagi sandaran hidup para pemulung. Hasil jajak pendapat Kompas juga menunjukkan ada sebagian kecil masyarakat (sekitar 2 persen responden) yang membuang sampah dengan cara menaruhnya di pagar atau halaman untuk kemudian diambil pemulung.
Tiga dari 10 responden menggunakan jasa pemulung untuk membuang sampah, dengan frekuensi bervariasi. Ada yang menggunakan jasa pemulung beberapa kali dalam sebulan, beberapa kali dalam seminggu, dan setiap hari menggunakan jasa pemulung.
Bentuk konkret lain dukungan masyarakat terhadap para pemulung juga tecermin dari pilihan mereka ketika sampah dari rumah dibuang melalui pemulung. Mayoritas responden mengaku bersedia memberikan sampah dari rumah mereka secara gratis kepada para pemulung.
Baca juga: Pengembara Jalanan, Penjaga Kebersihan Kota
Para pemulung dapat melihat nilai ekonomis sampah, di mana bagi sebagian orang sampah dinilai sebagai sesuatu yang harus segera disingkirkan atau dimusnahkan. Hal ini menunjukkan adanya interaksi saling menguntungkan antara masyarakat yang tidak atau belum memilah sampah dengan pemulung.
Masyarakat yang terbiasa membuang sampah melalui petugas, membuang sampah secara mandiri, dan tidak pernah memberikan sampah kepada pemulung sebenarnya juga melakukan interaksi dengan mereka. Interaksi tersebut dilakukan secara tak langsung lewat ”pergerakan sampah”.
Menurut publikasi Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pekerjaan Umum, sampah yang dikumpulkan oleh petugas kebersihan ataupun dibuang secara mandiri mandiri oleh masyarakat ke tempat pembuangan sampah sementara, pada akhirnya bermuara pada satu lokasi. Sampah tersebut akhirnya dikumpulkan di tempat pembuangan akhir (TPA) atau tempat pembuangan sampah terpadu (TPST).
Sementara dalam keseharian, sebenarnya pemulung juga mendatangi berbagai tempat pembuangan sampah, mulai dari rumah ke rumah sampai dengan TPA atapun TPST tersebut. Hal itu berarti bahwa pemulung memang entitas tak terpisahkan dari kebersihan lingkungan, sejak dari kawasan hunian. Ke mana pun sampah dibuang, pemulung menjadi bagian tak terpisahkan dari ekosistem yang mendukung pengelolaan sampah sampai ke lingkungan permukiman. (LITBANG KOMPAS)