Seberapa Akuntabel Rating Program Televisi?
Tayangan televisi kita masih banyak dipengaruhi rating yang sebagian besar didominasi tontonan yang jauh dari tuntutan, belum mengedepankan aspek budaya yang lebih penting untuk membangun mental generasi masa depan.
Selama Ramadhan, tayangan menjelang buka puasa dan sahur menjadi program yang paling banyak ditonton pemirsa. Ukuran kepemirsaan salah satunya menggunakan rating dan share. Meskipun demikian, angka rating dan share belum tentu menggambarkan kualitas tontonan.
Rilis terkini Nielsen (12/5/2020) menyebutkan, terjadi perubahan perilaku masyarakat dalam hal mengonsumsi media. Sejak diberlakukannya kebijakan work from home (WFH) akibat pandemi Covid-19 dan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), kepemirsaan TV naik lebih tinggi dengan rata-rata 12 persen dari periode normal sebelum pandemi virus korona.
Menariknya, segmen kelas atas mengalami kenaikan lebih tinggi yaitu 14 persen dengan durasi menonton TV yang juga meningkat menjadi 5 jam 46 menit. Hal ini menepis anggapan selama ini jika segmen kelas atas sudah meninggalkan televisi dan beralih ke medium digital.
Data kepemirsaan TV Nielsen menunjukkan tren yang lebih tinggi pada Ramadhan tahun ini dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini dipicu beberapa faktor, di antaranya meningkatnya jumlah pemirsa yang mencapai empat kali lipat (+372 persen) saat santap sahur hingga pagi (02:00-05:59) dan menjelang buka puasa (16.00–19.00). Peningkatan terjadi di semua segmen usia dan yang cukup signifikan justru di kalangan anak dan remaja (10 – 14 tahun).
Dari sisi kategori program yang ditonton, terlihat adanya perubahan pola yang terjadi selama WFH dan Ramadhan. Sejak dimulainya WFH, pemirsa TV lebih banyak menonton program serial dan berita, sementara selama periode bulan puasa pemirsa tak hanya lebih banyak menonton program serial, tetapi juga program hiburan, religi, dan edukasi.
Akuntabilitas
Angka rating program tayangan televisi seharusnya akuntabel atau dapat dipertanggungjawabkan, baik kepada industri penyiaran maupun kepada publik. Selama ini, publik tidak tahu siapa yang menjadi responden panel dari lembaga pemeringkat rating televisi. Alasan klasik yang muncul dari lembaga penyedia data rating adalah untuk menjaga identitas responden panel.
Pada 14 Agustus 2015 untuk pertama kalinya kata ”rating” disebut spesifik dalam sebuah Pidato Kenegaraan Presiden Indonesia di Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat di Jakarta. Kala itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) membaca pidato kenegaraan pada peringatan Hari Ulang Tahun Ke-70 Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.
Presiden Jokowi menegaskan kritik tersebut dalam pertemuan dengan pemimpin media televisi di Istana Merdeka pada 21 Agustus 2015. Jokowi mengatakan, kritik tersebut ditujukan pada banyaknya program televisi yang tidak mendidik dan tidak layak ditonton anak-anak.
Yang dikritik oleh Jokowi bukan program pemberitaan atau news, tetapi program sinetron dan hiburan. Pernyataan Presiden tersebut mengangkat keprihatinan terhadap isi media penyiaran, terutama televisi, dan bahwa rating menjadi salah satu hal yang memengaruhi isi media tersebut.
Di Indonesia, selama ini hanya Nielsen yang menyediakan data kepemirsaan televisi. Mereka mendapatkan data itu dari penonton yang tersebar di 11 kota (Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surakarta, Surabaya, Denpasar, Medan, Palembang, Makassar dan Banjarmasin).
Perilaku menonton di rumah yang menjadi sampel direkam oleh alat peoplemeter. Penonton harus menekan tombol yang mewakili diri mereka (ayah, ibu, atau anak) pada alat semacam remote control.
Peoplemeter akan merekam informasi siapa yang menonton acara apa dari pukul 02.00 malam sampai pukul 02.00 malam hari berikutnya, lalu dikirim menggunakan jaringan Global System for Mobile Communications (GSM) ke server Nielsen untuk diolah dan dianalisis.
Data kepemirsaan tersebut lalu dikirim ke stasiun televisi setiap pukul 10.00 pagi dan 13.00, atau dikirim per minggu, tergantung paket langganan yang dibeli oleh stasiun televisi, rumah produksi, atau pemasang iklan.
Permasalahan rating
Riset yang dilakukan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta pada 2015-2016 menghasilkan temuan menarik soal rating. Selama ini ada pandangan keliru, bahwa masalah rating di Indonesia akibat monopoli penyedia data rating (Nielsen).
Akibat pandangan ini, solusi yang kerap muncul untuk menyelesaikan masalah rating di Indonesia adalah dengan ”memperbanyak” data rating sehingga pengguna mempunyai banyak alternatif data.
Pandangan ini keliru karena dua hal. Pertama, fenomena monopoli terjadi di banyak negara, bukan hanya Indonesia. Monopoli terjadi karena pasar pengguna data relatif kecil sehingga hanya memungkinkan munculnya satu perusahaan penyedia data. Kedua, pihak pengguna data (televisi, pengiklan dan biro iklan) memang menginginkan adanya data tunggal sehingga tidak membingungkan.
Data rating ibarat mata uang yang dipakai oleh pihak yang berbeda dan agar mereka punya ”bahasa” yang sama, diperlukan data tunggal. Adanya data dari penyedia data rating tunggal dipandang tidak membingungkan pengguna.
Letak masalah rating pemirsa bukan pada monopoli, tetapi pada transparansi dan akuntabilitas. Penyedia data rating harus menginformasikan secara terbuka bagaimana pengukuran rating dilakukan (transparan).
Metode yang dipakai juga harus bisa dipertanggungjawabkan (akuntabel). Dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas, pengguna data dan publik menjadi percaya dengan data rating.
Berbagai kecurigaan mengenai metode dan penggunaan data bisa diminimalkan. Permasalahannya, sistem rating owns services yang dipakai di Indonesia saat ini mempunyai kelemahan. Sistem own services (OS) adalah sistem penyelenggaraan rating yang paling tua, dipergunakan awal penyelenggaraan rating.
Data rating disediakan oleh perusahaan riset profesional atau lembaga yang secara khusus menyediakan data rating. Perusahaan ini membuat rating televisi dan kemudian menjual data tersebut kepada pihak yang membutuhkan data, seperti televisi, pengiklan, biro iklan, rumah produksi (production house) dan sebagainya
Sistem ini mengandaikan kesadaran penyedia data rating sendiri untuk menjamin prinsip transparansi dan akuntabilitas. Bagaimana mungkin publik bisa yakin dengan data rating jika selama ini tidak tahu siapa responden panelnya, lokasinya di mana, kelas sosial dan ekonomi seperti apa, dan profesinya apa.
Upaya agar menjamin penyedia data memenuhi prinsip transparan dan akuntabel adalah melalui audit eksternal. Hal ini untuk memastikan penyedia data rating telah menjalankan rating secara benar, ada pemeriksaan dari pihak luar.
Karena dilakukan oleh pihak eksternal (di luar penyedia data rating), hasil audit tersebut akan lebih terpercaya. Pihak yang melakukan audit eksternal tersebut adalah dewan rating (rating council). Lembaga ini melakukan audit mewakili pengguna sehingga hasil audit nantinya akan mengikat, baik kepada penyedia data rating ataupun pengguna data.
Dewan rating di banyak negara lahir dari inisiatif industri atau pengguna data rating. Dewan rating di Amerika dan Inggris memang pada awalnya dibentuk atas inisiatif Kongres atau Senat untuk menjembatani perbedaan kepentingan antara pelaku industri.
Akan tetapi, setelah berdiri, dewan rating, baik di Amerika ataupun Inggris adalah badan yang bebas (otonom) dari pengaruh negara. Keanggotaannya, termasuk kegiatan dan pendanaan badan ini murni berasal dari anggota, yakni industri (pengguna data rating).
Impian agar memiliki tayangan berkualitas yang memiliki rating bagus tampaknya hanya terjadi pada program sepak bola. Hingga kini tayangan sepak bola nasional dan Liga-liga Eropa selalu memiliki rating bagus. Bahkan pertandingan sepak bola antara negara Asean acapkali menempati peringkat rating pertama karena faktor emosional terhadap timnas Indonesia.
Hal ini berbeda dengan tayangan berita yang disiarkan oleh stasiun dengan positioning televisi berita. Rating berita di televisi jika disandingkan dengan program hiburan selalu kalah jauh angkanya. Bisa dikatakan, jika ada 15 stasiun televisi yang diukur ratingnya, peringkat 11-15 dihuni televisi berita. Sementara peringkat 1–10 dihuni televisi hiburan.
Lalu, apakah tidak sepadan membandingkan televisi berita dan televisi hiburan, sementara penonton bisa memindah-mindahkan saluran sesuai selera mereka dalam hitungan detik. Tidak ada pembedaan jalur frekuensi antara televisi hiburan dan berita karena sama-sama operasional dalam rentang frekuensi UHF free to air.
Konten televisi adalah bagian dari budaya, sedangkan budaya adalah identitas bangsa. Dengan demikian, ukuran budaya seharusnya tidak dilakukan dengan mengacu angka statistik demi bisnis semata, tetapi kualitas konten budaya jauh lebih penting untuk membangun mental generasi masa depan bangsa. Sudah saatnya stasiun televisi memproduksi program mendidik dan berkualitas dan tidak mengandalkan angka-angka rating semata. (LITBANG KOMPAS)