Lebaran di Era Kolonial: Dari Beduk hingga Ketupat Dadakan
Idul Fitri tak hanya menjadi momen keagamaan bagi masyarakat Indonesia. Di baliknya, terselip nilai-nilai persatuan dan keberagaman yang telah bertahan selama berabad-abad.
”Kalau kita sudah berpuasa 29 hari, dengan hati berdebar-debar, kita menunggu bunyi beduk. Apakah esok hari kita sudah berlebaran, atau harus mencukupkan puasa 30 hari.” (Mohamad Roem)
Mohamad Roem, Menteri Luar Negeri pada era pemerintahan Soekarno, masih merawat dengan baik kenangan Idul Fitri pada dekade 1930-an. Saat itu, Indonesia masih berada di bawah pemerintahan Hindia Belanda. Momen ibadah puasa dan Lebaran praktis tak terpisahkan dari sejumlah kebijakan pemerintah kolonial.
Masyarakat pada perkampungan di sekitar Batavia saat itu sangat bergantung dengan beduk selama menjalani ibadah puasa. Penetapan awal bulan Ramadhan hingga masuknya waktu berbuka puasa diumumkan melalui beduk. Pukulan beduk menjadi hal yang sangat dinantikan sebagai sumber informasi.
”Kemudian tiap hari di waktu sore, bunyi beduk itu pada titik yang tepat membawa berita gembira bahwa kita sudah boleh makan dan minum lagi. Serta rasa puas bahwa kita sudah beribadah puasa satu hari lagi,” kenang Roem seperti yang ia tulis dalam buku Bunga Rampai dari Sejarah II (1977).
Namun, beduk tak hanya berperan sebagai pemberi informasi saat menjalankan ibadah puasa. Saat akhir Ramadhan, beduk memberikan informasi bagi masyarakat di sekitar Batavia untuk melaksanakan Idul Fitri.
Di tengah keterbatasan informasi pada saat itu, suara beduk jadi sumber informasi penting pada malam pengujung bulan Ramadhan. Penduduk pada perkampungan di sekitar Batavia sangat mengandalkan suara beduk pada malam ke-30 Ramadhan. Jika beduk tidak berbunyi, artinya puasa harus digenapkan menjadi 30 hari.
Beduk memberikan informasi bagi masyarakat di sekitar Batavia untuk melaksanakan Idul Fitri.
Walakin, tak jarang beduk penanda Idul Fitri yang dinanti baru terdengar pada malam hari saat penduduk sudah mulai bersiap untuk tidur. Penduduk yang telah memadamkan penerangan di rumah, ibu-ibu yang sudah meninggalkan dapur, hingga pemilik warung yang telah menutup kedainya, dikejutkan oleh suara beduk yang menandakan Ramadhan telah berakhir.
Suara beduk itu bak alarm yang membangunkan kembali aktivitas warga perkampungan di sekitar Batavia. Sunyi senyap suasana perkampungan berubah menjadi keramaian seketika. Ibu-ibu kembali sibuk di dapur mempersiapkan makanan untuk disantap setelah shalat Id.
Sementara warung-warung kembali buka untuk melayani orang-orang yang berbelanja berbagai kebutuhan. Begitulah keajaiban bunyi beduk di pengujung bulan Ramadhan. Sukacita amat dirasakan oleh segenap warga di perkampungan.
Momen ini bahkan juga turut dikenang oleh istri Mohamad Roem yang harus membuat ketupat secara dadakan karena beduk pengumuman Idul Fitri yang baru terdengar jelang larut malam. Sebuah kesibukan yang menjadi ciri khas pada zamannya, namun menjadi momen tak terlupakan di tengah segala keterbatasan.
Penentuan Idul Fitri
Momen membuat ketupat dadakan yang dialami oleh istri Mohamad Roem, serta keramaian kampung yang mempersiapkan Idul Fitri pada malam hari selepas beduk, tidak terlepas dari metode penentuan akhir Ramadhan yang digunakan. Saat itu, masyarakat yang menanti beduk praktis mengandalkan metode rukyat, yakni penentuan Syawal dengan cara mengamati hilal atau bulan sabit tipis.
Melalui metode rukyat, para pemuka agama saat itu melakukan pengamatan dengan saksama. Jika hilal telah terlihat, hasil pengamatan harus disampaikan secara bertahap hingga ke perkampungan di sekitar Batavia. Inilah yang menyebabkan keterlambatan bunyi beduk hingga jelang larut malam. Kondisi itu amat berbeda dengan saat ini ketika hasil pengamatan hilal dapat disiarkan secara langsung melalui medium teknologi yang ada.
Namun, persis seperti kondisi saat ini, perbedaan perayaan Lebaran juga terjadi semasa pemerintah kolonial karena perbedaan metodologi yang digunakan. Selain rukyat, juga terdapat metode hisab yang digunakan oleh Muhammadiyah, yaitu dengan menghitung secara astronomis untuk menentukan posisi bulan.
Meski berbeda, kondisi ini tidak menimbulkan perdebatan. Menurut Roem, pemerintah kolonial justru mengambil jalan tengah, yakni memberikan libur selama dua hari saat Idul Fitri. Tanggal 1 Ramadhan dan 1 Syawal yang sebelumnya hari libur berubah menjadi libur selama dua hari saat awal bulan Syawal. Dengan demikian, baik pengikut metode rukyat maupun hisab dapat merasakan khidmatnya momen Idul Fitri bersama keluarga.
Hingga kini, Indonesia masih menerapkan kebijakan libur dua hari selama Idul Fitri. Namun, kebijakan ini pernah dikritik oleh Roem karena tanggal libur yang ditetapkan oleh pemerintah tidak sesuai dengan penetapan Lebaran sesuai metode rukyat maupun hisab. Kondisi ini memang mungkin saja terjadi mengingat adanya selisih waktu antara penetapan bulan Ramadhan dan Syawal dengan kalender libur tahunan dari pemerintah yang dibuat beberapa bulan sebelumnya.
Lebaran di Aceh
Penantian Idul Fitri dengan mengandalkan bunyi atau suara khusus juga dialami masyarakat Aceh pada dekade 1890-an. Momen ini terekam dalam catatan Snouck Hurgronje saat bertugas di Aceh pada 16 Juli 1891 hingga 4 Februari 1892.
Snouck Hurgronje adalah kaki tangan Pemerintah Hindia Belanda yang bertugas melakukan penelitian di Aceh demi kepentingan politik pemerintah kolonial. Penelitian ini sebagai jalan pemerintah kolonial menduduki Aceh yang sebelumnya gagal dilakukan.
Menurut pengamatan Hurgronje, pengumuman telah berakhirnya bulan Ramadhan dilakukan dengan mengandalkan suara dari tembakan senjata oleh kesultanan. Suara ini sekaligus jadi penanda bagi masyarakat Aceh untuk mempersiapkan perayaan Idul Fitri.
”Sejumlah senjata dari dalam ditembakkan saat matahari terbenam pada hari terakhir puasa, yang digunakan sebagai waktu sultan untuk menyampaikan pengumuman penting bahwa hari pertama dari bulan Syawal telah tiba,” tulis Hurgronje dalam laporannya yang kembali diterbitkan dalam bentuk buku berjudul Orang Aceh: Budaya, Masyarakat, dan Politik Kolonial (2019).
Perayaan Idul Fitri praktis dimulai pada malam yang sama setelah terdengarnya suara tembakan dari kesultanan. Anak-anak bersukacita dengan memainkan kembang api yang saat itu dikenal dengan sebutan ”senjata kecil China”.
Sementara kaum perempuan disibukkan dengan kegiatan membuat jeumphan, yakni makanan yang terbuat dari tepung beras ketan dan pisang raja. Kini, makanan itu dikenal dengan sebutan timphan. Sama seperti di Batavia pada dekade 1930-an, keramaian juga dirasakan di Aceh pada malam 1 Syawal.
Pada saat Idul Fitri, sejumlah kegiatan turut dilakukan masyarakat Aceh pada saat itu. Salah satunya adalah kunjungan atau silaturahmi pada masing-masing kepala desa. Dalam kunjungan ini, tuan rumah biasanya menyediakan sirih, jeumphan, hingga manisan lainnya. Kopi juga turut menjadi minuman yang saat itu mulai disuguhkan karena dianggap sebagai gaya hidup modern pada zamannya.
Beragam tradisi yang dilakukan di Aceh maupun perkampungan sekitar Batavia menunjukkan bahwa hari raya Idul Fitri tak hanya menjadi momen keagamaan bagi masyarakat Indonesia pada berbagai penjuru negeri. Di baliknya terselip nilai-nilai persatuan dan keberagaman yang telah bertahan selama berabad-abad lamanya dan terus terawat hingga saat ini.
(Litbang Kompas)